PUJIAN MENGGETARKAN
'Rasanya hatiku sakit sekali, Rahmi, seperti kulit yang tersayat dan lama menutup kembali.' Itu ucapan Yayuk --anak tetanggaku-- mengungkapkan kepedihannya.

Terngiang kembali kata-kata Yayuk, dia ceritakan ketika baru ditinggalkan suaminya menikah lagi. Saat itu aku berpikir betapa jahatnya wanita yang telah tega merebut suami yayuk. Lalu, bagaimana bisa aku ingin menjadi jahat seperti wanita itu?

"Kalau belum sarapan kita bisa berhenti untuk makan dulu." Suara Pak Rudi membuyarkan ingatanku akan Yayuk dan ceritanya.

Aku menoleh pada emak, menunggu emak menjawab pernyataan Pak Rudi. Emak diam saja, sepertinya ada yang telah mengganggu pikiran emak.

"Kami sudah sarapan tadi, Pak. Emak harus makan dulu sebelum minum obat," jawabku saat kulihat emak diam saja. 

Kusentuh tangan emak, dipandangnya aku sebentar lantas membuang pandangan ke samping jalan. Kenapa emak? 

"Mak, ibunya Pak Rudi itu luar biasa lho, bisa membesarkan Pak Rudi sendirian hingga menjadi laki-laki hebat." Aku mencoba membawa emak dalam perbincangan.

"Bi Tonah juga luar biasa, sanggup sendirian membanting tulang untukmu, Rahmi. Bedanya bapakmu meninggal karena sakit sedangkan papaku meninggalkan kami untuk menikah lagi." lirih Pak Rudi.

Aku seperti tertampar, jika aku mencoba merebut Pak Rudi dari Bu Rita maka Niken akan kehilangan papanya. Bagaimana bisa aku setega itu? Bahkan aku begitu merasakan lara saat bapak berpulang.

Tapi dimana salahku? Aku hanya ingin mengambil kebahagiaan dari orang yang tak mensyukuri kebahagiaannya. Iya, kulihat selama ini Bu Rita tak memperlakukan Pak Rudi dengan baik, tak menghargainya sebagai suami. Niken pun lebih sering diurus keperluannya oleh Pak Rudi.

Tak mengapa jika aku mengambil sedikit kebahagiaan milik Bu Rita, bukankah Pak Rudi tak berharga baginya dibanding harta dan gila hormatnya itu? Aku juga tak salah, karena aku ingin memberikan kebahagiaan pada Pak Rudi.

Aku tahu Pak Rudi bukan pemuja wanita cantik, dia membutuhkan wanita yang bisa memberi kasih sayang dan perhatian, hal yang tidak pernah diberikan istrinya. 

Tak salah bukan? nanti Pak Rudi mungkin bisa lebih bahagia bersamaku. Memang diriku tak secantik Bu Rita, tapi aku lebih muda dan bisa lebih menarik dengan badanku yang padat berisi. Aku juga memperlakukannya dengan lembut.

Pak Rudi pernah merasakan sakitnya masa kecil tanpa sosok papanya, tidak mungkin akan tega meninggalkan Niken. Kecuali Niken turut bersamaku dan Pak Rudi.

Tiba-tiba aku merasa seperti orang yang salah  arah, belum tentu juga Pak Rudi bisa berhasil kurebut hatinya. Aku merasa malu sendiri, ternyata aku hampir menjatuhkan harga diriku demi ingin membalas sakit hati pada Bu Rita.

Sudah ... Cukup Rahmi! Pak Rudi bertanggung jawab hingga emak pulih itu sudah cukup. Berhentilah merencanakan merebut hati Pak Rudi. Aku kembali merasakan ketenangan dalam pikiran dan hatiku.

"Rahmi, dulu waktu sekolah ilmu berhitungnya bagus gak?" Suara Pak Rudi memecah semua perdebatan dalam hatiku.

"Lumayan lah Pak, waktu SMP saya juara kelas kok. Ya kan, Mak?" Emak hanya menganggukkan kepala.

"Kamu mau jadi kasir di minimarket kami? Nanti bisa kusuruh Riko mengajarimu." tawar Pak Rudi. 

Emak terkejut, seketika menjawab tawaran Pak Rudi. "Tidak perlu, Pak. Rahmi biar saja tetap jualan gorengan, saya yakin setelah terapi nanti tangan saya segera sembuh."

Aku bingung dengan jawaban emak. Bukankah kami bisa hidup lebih baik jika aku punya pekerjaan yang lebih bagus? Mungkin emak juga tak perlu lagi bekerja di rumah Nyonya Siska nanti.

"Kesempatan belum tentu ada lagi lho, Bi Tonah. Kasir saya ada yang sebentar lagi mau melahirkan, dia tidak lanjut bekerja lagi nanti. Rahmi bisa latihan dulu, masih ada waktu." Pak Rudi memperjelas lagi tawarannya tadi.

"Kenapa tidak boleh, Mak? Rahmi ingin punya pekerjaan yang layak." Kubisikkan rasa keherananku di telinga emak.

"Jaga batasanmu, Rahmi! Emak tahu apa yang ada dalam pikiranmu sejak kamu membeli lipstik itu." Emak menjawabku tegas dalam bisikannya. 

Aku terdiam, rupanya itu yang mengganggu pikiran emak.

"Waah, ini malah saling berbisik, aku dicuekin." Kata Pak Rudi sambil tertawa kecil.

"Kalau aku memaksa bagaimana, Bi? Kulihat sepertinya Rahmi cukup cerdas," kata Pak Rudi mendesak emak.

"Beri saya waktu untuk memikirkannya, Pak. Rahmi satu-satunya putri saya, maaf kalau saya terlalu mengkhawatirkannya." jelas emak.

Pak Rudi lalu menceritakan bagaimana dulu dia merintis satu-satunya minimarket di kampung kami itu. Susah payah dia mencari suplier dari kota, mengenalkan minimarketnya ke warung-warung kecil hingga meluas ke kampung-kampung sebelah, sampai akhirnya bisa menjadi tempat kulakan harga grosiran.

Pemilik minimarket itu adalah Bu Nunik --mamanya Pak Rudi--. Beliau membangunnya dengan menjual tanah warisan dari kakeknya.

Minimarket itu dibangun di atas tanah Nyonya Siska yang dibeli Bu Nunik. Pernikahan Bu rita dan Pak Rudi berawal dari dijodohkan oleh Nyonya Siska dan Bu Nunik. 

Begitu yang dikisahkan oleh Pak Rudi di tengah perjalanan kami. Tak terasa atap bangunan Rumah sakit sudah terlihat. Pak Rudi menepikan mobil tepat di depan pintu masuk rumah sakit. Dibukakannya pintu untuk kami.

Kupapah emak turun, Pak Rudi membantuku. Tangan kami kembali tak sengaja bersentuhan. Pak Rudi tersenyum menatapku. Bergegas Pak Rudi mengambil kursi roda yang tersedia untuk pasien.

Pak Rudi membantu emak duduk di kursi roda, mendorongnya dan menepikannya di sudut ruang pendaftaran.

"Aku pindahkan mobil dulu ke tempat parkir ya. Tunggu di sini dulu." pamit Pak Rudi.

Aku baru teringat jika tas kecilku masih tertinggal di mobil, di dalamnya terdapat uang gaji emak. Kutitipkan emak pada petugas pendaftaran, aku bergegas menyusul Pak Rudi.

Setengah berlari kulihat Pak Rudi hampir sampai ke mobil. Dengan gugup kupercepat lari kecilku, kakiku tertekuk dan sedikit menabrak punggung Pak Rudi yang tepat di depanku.

Pak Rudi menoleh dan membalikkan badannya, jarak kami berhadapan sangat dekat.

"Maaf, saya buru-buru jadi hampir terjatuh saat mengejar bapak. Tas saya tertinggal di mobil." kataku dengan menahan rasa malu.

"Gak apa-apa kan gak sengaja." kata Pak Rudi sambil memandangku lekat.

"Ternyata kamu lebih cantik kalau dilihat dari dekat. Bola matamu kecoklatan sangat cantik. Rambutmu lebih bagus kalau diurai begini." lirih Pak Rudi.

Aku beristighfar dalam hati ... Kenapa aku diuji saat sudah melenyapkan  rencanaku merebut hati Pak Rudi?

















Komentar

Login untuk melihat komentar!