Suamimu Tampan, Nyonya
Part 1
"Bi Tonah, kesiangan lagi datangnya hari ini? Masih mau kerja di sini gak sih?" Kudengar Nyonya Siska berteriak kepada emak.
Kupandangi dari pagar rumah Nyonya Siska, punggung emak menghilang masuk lewat pintu dapur. Nyonya Siska yang sedang minum teh di kursi teras memandangku sinis.
Aku menganggukkan kepala, berlalu menjinjing keranjang jualan gorengan yang masih hangat. Bergegas melanjutkan langkah, keliling kampung menjajakan gorengan.
Emak tinggal berdua saja denganku, kami kesiangan berapa hari ini karena lebih lama mengolah gorengan dalam temaram cahaya lilin.
Listrik di rumah kami sudah seminggu ini padam, menunggak membayar tagihan.
Sudah hampir akhir bulan, harus menunggu emak gajian nanti baru listrik bisa terbayar.
Hasil jualan gorengan hanya cukup untuk makan sehari-hari. Gaji emak sudah habis untuk membayar hutang ke rentenir, melunasi biaya berobat bapak, sebelum bapak dipanggil menghadap Allah.
Keranjang jualanku tak terlalu berat, hanya sedikit modal jualan tak bisa membuat lebih banyak gorengan. Menjajakan sambil berteriak, tak terasa langkah semakin jauh dan baru sedikit gorengan terjual.
Pikiranku mulai mengembara tak tentu, merenungkan nestapa yang belum juga berlalu dari kehidupan kami.
Umurku bahkan sudah dua puluh tahun lebih. Belum ada sesiapa melirikku, jauh panggang dari api jika berharap untuk membina sebuah rumah tangga.
"Minggir ...." Sebuah teriakan memekakkan telingaku.
Aku menoleh, melihat mobil Nyonya Siska di belakangku. Mobil berhenti mendadak, menebarkan kepulan debu di jalan desa yang belum diaspal.
"Jalan itu di pinggir, mau tertabrak mobil? Datang ke rumah, bantu emakmu membersihkan gudang. Nanti kami pulang sudah harus bersih." Nyonya Siska berteriak dari jendela mobil. Arman anak nyonya Siska yang di belakang kemudi, dia melengos tak mau melihatku.
"Iya, Nyonya," jawabku sambil mengangguk.
Mobil kembali melaju, aku berbalik arah menuju rumah Nyonya Siska.
Dari pintu dapur yang kubuka sedikit kupanggil emak. Tak ada sahutan, mungkin emak sudah di gudang. Ku taruh keranjang di luar pintu, memberanikan diri masuk ke dapur sambil terus memanggil emak.
Langkahku terhenti di dekat kompor, suara Bu Rita mengagetkanku.
"Eh masuk-masuk saja ke rumah orang, gak punya sopan santun. Kakimu bersih gak, habis keliling jualan kan kamu?" Bu Rita membentakku.
"Maaf, Nyonya yang menyuruh saya membantu emak membersihkan gudang. Emak tidak menyahut panggilan. Boleh saya langsung ke gudang?" Kujelaskan alasan kedatanganku.
"Heh, upik abu, cuci kakimu dulu di kamar mandi situ! Emakmu di gudang." Bu Rita menunjuk kamar mandi di dekat dapur.
Ingin rasanya kubentak ulang anak pertama Nyonya Siska itu, tapi apa lah daya tak mungkin kulakukan. Emak bisa kehilangan pekerjaan, kami masih membutuhkan banyak uang.
Selepas dari kamar mandi kuikuti Bu Rita ke gudang di samping dapur. Kulihat Emak sedang memindahkan tumpukan kotak kardus berisi gerabah yang tak terpakai.
Emak mengusir gerombolan kecoa yang bersarang di kardus, beberapa merayap cepat menuju ke arahku dan Bu Rita.
Kecoa-kecoa itu merambat di tubuh Bu Rita, ia menjerit-jerit dan mencaci emak dengan sumpah serapah.
Diambilnya dengan paksa sapu di tangan emak. Dengan keras dipukulnya punggung belakang emak dengan sapu itu.
Emak limbung dan jatuh ke lantai, aku terkejut melihat pemukulan yang tidak kusangka akan terjadi.
Kupanggil emak yang diam tak bergerak dan mengguncang berulang kali badannya. Aku menangis dan berteriak meminta Bu Rita untuk menolong emak.
Pak Rudi, suami Bu Rita muncul dan menanyakan yang sudah terjadi. Kujelaskan pemukulan yang dilakukan Bu Rita terhadap emak.
Bu Rita mengelak dan menuduhku telah berbohong, dikatakannya jika emak terpeleset sendiri di lantai. Pak Rudi menggeleng seolah kebingungan menerka siapa yang bisa dipercaya kebenaran ceritanya.
"Aku keluarkan mobil, Bi Tonah harus segera mendapat tindakan perawatan." Pak Rudi berlalu cepat menuju garasi.
Suami Bu Rita itu menggotong emak dan membaringkan di jok tengah mobil, menyuruhku naik dan memangku kepala emak.
"Aku ikut." Bu Rita membawa serta Niken anak semata wayangnya.
"Tak perlu ikut, kasihan Niken," cegah Pak Rudi.
Bu Rita bersungut, meski akhirnya menuruti perintah suaminya. Kami pun segera membawa emak ke puskesmas di desa.
Kupijit-pujit tangan emak, berharap emak cepat tersadar. Sesekali Pak Rudi melihatku dari kaca spion. Wajahnya terlihat khawatir dan iba terhadapku.
Di rumah besar Nyonya Siska hanya Pak Rudi yang sikapnya baik. Aku sesekali membantu pekerjaan emak di rumah itu saat banyak yang harus dikerjakan. Biasanya aku diupah dengan sekantung kecil beras.
Nyonya Siska, Bu Rita dan Arman semuanya mudah tersulut marah jika ada pekerjaan kami yang kurang benar menurut mereka.
Nyonya Siska istri simpanan seorang pengusaha di kota. Dia orang yang bergelimang kekayaan dibanding penduduk di desa kami yang kebanyakan kondisi kehidupannya biasa saja.
Emak belum juga tersadar, kuminta Pak Rudi untuk lebih cepat mengemudi. Pak Rudi lebih sering melihatku dari kaca spion, aku sedikit salah tingkah merasa malu ditatap majikan emak yang gagah. Sayang pria tampan itu bersuamikan seorang Bu Rita yang kejam.
Tak kan kumaafkan Bu Rita jika terjadi hal buruk pada kesehatan tubuh emak. Tak habis pikir hanya karena kecoa, emak dipukul sekuat tenaga sampai pingsan. Aku balas memandang Pak Rudi dari kaca spion, sekarang aku tahu cara membalas perlakuan keji Bu Rita.