Rahasia Elena

Setelah sekian lama Elena kembali merasakan nyamannya berkendara dengan mobil mewah. Namun, saat ini kenyamanannya bukan menjadi hal penting, pikirannya sedang menebak-nebak suatu kemungkinan. Ke mana Andre akan membawanya pergi?

Elena merasa tak asing dengan jalan yang sedang dilewati. Toko-toko di pinggiran, persimpangan, juga perkampungan penduduk sekitar. Ini seperti menuju rumahnya. Tapi, bagaimana Andre tahu tempat tinggalnya?

Wanita itu menegakkan duduk, memandang keluar. Tak salah lagi, sedan yang ditumpanginya berbelok di pertigaan yang menuju kampung Zaya. Sontak jantung Elena berdetak lebih cepat, apalagi ketika mobil mewah itu berhenti tepat di depan warung Zaya lima menit kemudian.

Rumah Zaya cukup jauh dari para tetangga, jadi kemunculan dua mobil mewah itu tidak akan mengundang penasaran warga.

"Kau tau di mana aku tinggal?!" Elena mengernyit, menoleh ke Andre yang sedang sibuk dengan laptop. Ia terbiasa bekerja sambil melakukan perjalanan.

"Ya, aku tau." Lelaki itu menjawab santai, matanya masih terfokus pada layar sedangkan jemarinya bergerak lincah di keyboard.

"Jadi, selama ini kau menguntitku?" Kening Elena semakin berkerut dalam. Perasaannya berubah gelisah. Ia tak igin Andre tahu tentang Kenzie.

"Aku tidak pernah menguntitmu."

"Trus, dari mana kau tau aku tinggal di sini?!"

Andre menutup laptopnya dan memangku benda itu. "Aku kira kau sangat cerdas, Elena ... tapi kutarik lagi pemikiranku itu ..." Senyum tipisnya muncul. "Tentu saja aku tau di mana kau tinggal, bahkan sebelum kita bertemu di pabrik aku sudah tau alamatmu. Apa kau lupa, aku pemilik pabrik yang baru? Kalau hanya ingin mendapatkan alamatmu, itu sangat mudah bagiku."

Elena mendesah kesal, merutuki diri sendiri. Rona merah muncul di kedua pipinya. Usahanya beberapa hari ini sia-sia saja. Setiap pulang dari pabrik, ia harus mengendap-endap untuk menyamarkan diri, berganti angkutan dua kali agar tidak diketahui anak buah Andre. Namun, Elena melupakan sesuatu, kalau Andre sudah jadi bosnya, yang berarti memegang semua data karyawan. Dasar bodooooh ...

Wanita dengan mata cokelat itu mengigit bibir. Ia harus memberitahu Zaya secepatnya sebelum Andre tahu tentang Kenzie. Elena membuka pintu, turun dari mobil tanpa berpamitan.

Ia berharap Zaya tidak keluar menyambutnya seperti biasa, atau ... "Hai, El ... Baru pulang?" 

Terlambat, sahabatnya itu muncul dari pintu warung.   Kenzie di gendongannya, merengek minta pindah pelukan. 

"Ada apa?" tanya Zaya ketika Elena mendelik, seraya memberikan kode agar wanita itu cepat masuk lagi. Sayang sekali, Zaya tak paham dengan bahasa isyarat itu karena ia malah menampakkan diri.

"Kau tidak ingin berterima kasih padaku?"

Elena hampir menjerit frustasi ketika Andre tiba-tiba berada di belakangnya. Ia menoleh dan berusaha berkata santai. "Buat apa? Kau sendiri yang ingin mengantarku pulang, kan?"

Zaya langsung paham siapa lelaki itu. Meskipun baru sekali melihat di pesta pernikahannya dengan Elena, Zaya tak akan lupa bagaimana wajah Andre. "Ka-kau?"

"Andre. Suami Elena, dan terima kasih kau sudah menjaga istriku selama ini!" ujar Andre ringan. Ia kemudian memerhatikan Kenzie di gendongan Zaya. Anak itu membalas tatapannya dengan pandangan berbinar-binar. "Itu anakmu?"

"Ya, dia putra Zaya." Elena yang menjawab. Hampir saja jantungnya copot ketika Andre bertanya demikian. Ia was-was memerhatikan suaminya yang terus mengamati Kenzie.

"Zay ... Lebih baik kau bawa anakmu masuk. Ini sudah sore. Cuaca makin dingin," tambah Elena lagi. Zaya paham apa maksudnya dan bergegas membawa Kenzie ke dalam. Kenzie merengek, seolah tahu ayahnya datang dan tak ingin jauh-jauh dari Andre.

"Kau tidak memintaku masuk juga?"

"Kami tidak menerima tamu, terutama kau!" Elena bersedekap, berdiri di ambang pintu.

Andre menyeringai kecil. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. "Jangan galak-galak, nanti kau rindu," godanya yang disambut dengan decihan istrinya. "Aku hanya ingin memeriksa rumahmu sebentar, memastikan tempat tinggalmu ini aman dan nyaman. Aku nggak ingin istriku kelaparan dan menderita ..."

"Bisa kau liat, kan ... Bahkan tanpamu pun hidupku baik-baik saja. Jadi, nggak usah sok perhatian!"

"Baiklah, baiklah ... Sampai bertemu besok! Salam buat anak sahabatmu itu, sepertinya dia menyukaiku. Tapi, dia mirip sekali denganmu."

Sesuatu di dalam dada Elena kembali berlompatan. Meskipun ia berusaha menutupi Andre adalah ayah kandung Kenzie. Tak menutup kemungkinan lelaki itu bisa merasakan sesuatu, karena ikatan di antara mereka.

***

Resmi sudah Elena menyandang jabatan baru sebagai sekretaris Andre. Mereka satu ruangan. Meja kerjanya hanya berjarak lima langkah dari meja kerja sang suami.

"Anda mau kopi atau cokelat hangat pagi ini, Pak?" tanya Elena dengan nada sesopan mungkin.

Andre menatapnya dari balik layar laptop, tersenyum. "Kopi, seperti biasa."

"Baik, saya permisi."

"Eh, mau ke mana?" 

Elena membalikkan badan. "Tentu saja ke dapur," jawabnya ringan.

Andre berdiri, berjalan mendekat, dan berhenti di hadapannya. "Kau tidak perlu ke dapur luar lagi. Di sini sudah ada dapur khusus." Laki-laki itu menunjuk sebuah pintu dengan dagunya. "Sebelahnya kamar tidur, sebelahnya lagi kamar mandi," tambahnya dengan mengarahkan jari telunjuk ke tempat yang dituju.

"Sejak kapan ruangan-ruangan itu dibuat?" Elena menaikkan sebelah alis, menatap Andre tak percaya.

"Itu tidak penting. Yang penting adalah, kau tak perlu lagi kemana-mana selama bekerja. Cukup di ruangan ini bersamaku dari pagi sampai sore. Mengerti?" Bibir Andre pun merekah. "Kamar itu juga akan memudahkan kita bila suatu saat aku menginginkanmu ..."

"Ap-apa?!"

"Kenapa harus terkejut seperti itu? Kau istriku Elena ..." Andre tertawa, puas menggoda Elena sedangkan istrinya itu hanya manyun dengan wajah kemerah-merahan.

Ini menjengkelkan sekali. Kalau seperti ini caranya, Elena tak akan bebas ke mana-mana. Tak akan ada lagi obrolan dengan Sari atau Fikri. Makan siang di kantin, atau pura-pura izin ke toilet jika ia sedang sebal sama suaminya. 

***

Dua hari ini Elena sama sekali tidak ada kerjaan, kecuali membuatkan kopi, dan itu hanya di pagi hari. Andre menyuruhnya duduk sedari pagi sampai sore, tanpa mengerjakan sesuatu yang biasanya dikerjakan oleh seorang sekretaris, dan itu membuat Elena sangat bosan.

Wanita itu mondar-mandir di depan pintu, ingin keluar tapi takut pengawal Andre yang berjaga di luar akan memaksanya masuk lagi. Laki-laki itu benar-benar over protektif. Mudah sekali cemburu.

Seminggu sudah Andre berada di tempat kerjanya, cctv tambahan dipasang hampir di setiap sudut. Tentu bukan demi keamanan pabrik, melainkan hanya untuk mengawasi istrinya.

"Kalo kelamaan di ruangan ini kepalaku bisa meledak," gumam Elena pada diri sendiri. Tiba-tiba ponselnya di meja berbunyi nyaring. Ia segera meraihnya. Nama Zaya tertera di layar. "Wa'alaikumsalam ... Iya, kenapa, Za?"

Suara Zaya di seberang terdengar bergetar.

"Apa, demam?!" Elena meremas jemari. "Oke, aku segera pulang ... Ya, kamu bawa ke sana aja dulu ... Kita ketemu di puskesmas."

Begitu panggilan berakhir, Elena langsung berkemas. Kenzie sakit. Ia harus pulang.

"Mau ke mana?" Andre yang baru keluar dari toilet bertanya. Ia mengamati Elena yang sudah bersiap pergi.

"Aku harus pulang sekarang!"

"Ada perlu apa?" 

"Ehm, itu ... Anak Zaya tiba-tiba panas, aku harus pulang, menemaninya ke dokter."

Alis Andre naik sebelah. "Kenapa kau yang ribut? Bukankah Zaya bisa mengurusnya?"

Elena mengigit bibir. Ini cukup sulit namun ia harus tetap menyembunyikan rahasianya. "Andre, Zaya sudah banyak menolongku, sekarang dia butuh pertolongan, masa' aku nggak mau nolong. Please, izinin aku pulang, ya!"

Suaminya itu tidak menjawab. Hanya menatapnya tanpa kedip. Jantung Elena dibuat berdebar-debar, tapi ia tetap akan pulang meskipun Andre nanti melarang. Wajahnya juga berubah pucat, memikirkan anaknya yang mendadak demam.

"Kenapa kau sampe segitunya pada Zaya dan anaknya?"

"Bukankah tadi kubilang kalau Zaya sudah banyak membantuku ..." jawab Elena dengan sedikit emosi. Ia hampir menggebrak meja.

"Iya, aku tau," sahut lelaki itu santai. "Kau tidak usah pulang, aku akan menyuruh pengawal mengantarnya ke dokter."

"Tidak! Biar aku saja yang mengantar mereka."

Tatapan Andre menyipit ke arahnya. "Sebenarnya, dia anakmu atau anak Zaya, Elena?" tanya lelaki itu kemudian. Elena pun membeku di tempat.









 


Komentar

Login untuk melihat komentar!