Kepastian Hubungan

"Biar aku yang menemui, kau bersembunyi saja, jangan sampe Kenzie terlihat. Aku takut kalo itu anak buah Andre." Zaya berkata dengan nada lirih, buru-buru mendorong Elena masuk kamar. Tak lupa gadis itu menyuruh sahabatnya mengunci pintu, atau lari keluar jendela jika terjadi sesuatu. Zaya menghirup napas panjang, merapikan pakaian dan jilbab sebelum berjalan menemui tamunya.

"Selamat, Sore, Mbak ..." sapa lelaki dengan penampilan rapi ketika pintu ruang tamu terbuka lebar.

Zaya tersenyum ramah. "Sore, Mas. Ada yang bisa dibantu?" 

Samar-samar Elena mencuri dengar percakapan sahabatnya. "Sayang, tenang dulu, ya ..." lirihnya seraya mengelus-elus kepala Kenzie agar anak itu tetap tidur.

"Begini, Mbak. Saya mau nawarin pinjaman, kali aja Mbak mau ambil. Bunga tiap bulannya kecil kok!"

Elena mengembuskan napas lega. Ternyata hanya pegawai bank. Mungkin bank plecit yang baru buka kantor di ujung kampungnya seminggu lalu.

Tak ada sahutan dari Zaya sesaat, lalu, "Maaf, Mas. Jujur aja, saya nggak suka sama pinjem-pinjeman kayak gitu, apalagi berbunga. Riba tuh namanya." 

Bibir Elena langsung tertarik kecil. Tentu saja Zaya blak-blakan menolak. Meskipun hijabnya masih lepas-pakai, bukan seperti dirinya yang sama sekali belum berhijab, Zaya paham akan hukum transaksi tersebut. Ilmu agamanya lebih luas karena Zaya lulusan Madrasah. 

"Mbak, kalo sedikit bunganya itu nggak masalah, bukan riba. Lagian Mbak juga untung, uangnya bisa buat tambah modal dagangan warung." Si pegawai bank itu menunjuk kios di samping Zaya.

"Mau sedikit ato banyak, ya, tetap aja Riba. Haram. Coba aja kalo Mas lagi makan bakso, terus ada tai cicak dikiiiit aja masuk ke kuahnya, Mas masih mau makan tu bakso? Kan, sama aja kena ..." Zaya berkata tegas dan pria itu diam seribu kata.

Awal-awalnya para pegawai bank seperti itu akan selalu bersikap manis saat merayu incarannya, tapi kalau orang yang meminjam tidak bisa membayar, sikap mereka jadi garang kayak macan. 

Telat kena denda, bayar kena bunga, mau nglunasin cepat kena pinaltinya. Ngeri banget, kan? Pokoknya, riba itu nggak ada untung-untungnya.

"Dicoba dulu aja, Mbak. Sapa tau nanti bisnis Mbak jadi lebih berkembang. Lumayan bisa bangun toko lebih besar ..." 

Pria itu masih mencoba merayuya. Namun, wanita itu sama sekali tak terpengaruh. Selain karena ia menjaga diri dari barang haram, Zaya juga pernah terjerat hutang berbunga karena terpaksa meminjam uang di rentenir. Ia kapok dan tidak akan mengulangi kesalahan sama.

"Sekali lagi maaf, Mas. Saya nggak minat." Zaya tersenyum masam dan menutup pintu. Ia masih mendengar lelaki tadi sempat mengumpat padanya.

Bodo amat!

***

Pagi kembali menyapa. Rutinitas di rumah mungil berukuran 10 x 15 meter itu berjalan seperti biasa. Zaya sibuk di warungnya sejak pukul enam pagi sedangkan Elena menyelesaikan tugas memasaknya, mencuci peralatan dapur, lalu mengurus keperluan anaknya sebelum berangkat kerja.

"Zay, aku duluan, nitip Kenzie, masih bobo!" teriak Elena dari ruang tengah. Terdengar sahutan Zaya dari warung dan menyuruhnya hati-hati.

Elena bergegas ke jalan utama sambil berlari-lari kecil. Ia menyetop angkutan umum yang melintas, duduk tepat di belakang supir. Ia mengangguk pada orang-orang di dekatnya, termasuk dua orang yang berseragam sama dengannya.

Mobil umum itu dipenuhi orang-orang yang baru pulang dari pasar, atau hendak bekerja. Obrolan para ibu yang jengkel karena harga minyak goreng naik mengiringi perjalanan mereka. Sesekali angkutan berhenti, mencari penumpang. Dan inilah yang paling tidak disukai Elena. Ia bisa telat kalau angkot ngetem terlalu lama.

Beruntungnya, saat tiba di pabrik, bel masuk belum berbunyi. Elena bisa bernapas lega. Pagi ini ia terbebas dari omelan Rita. Namun, wajahnya yang sempat cerah seperti cuaca hari ini mendadak muram ketika matanya menangkap sosok Andre yang sedang melihatnya dari balkon kantor. 

Pria itu seolah sedang mengawasi semua karyawan yang datang namun Elena sangat tahu kalau pandangan Andre hanya terfokus padanya saja.

Elena mengerang di hati, memilih mengabaikan tatapan lelaki itu. Ia berbaur dengan karyawan lain yang berjalan menuju pintu utama.

"El, kamu dipanggil ke ruang Bos. Cepetan!" Sari nyeletuk dari belakangnya ketika Elena baru saja mengganti sepatu.

"Ini, kan, belum masuk jam kerja?" Elena mengelak. Buat apa Andre memintanya cepat datang? Ini pasti akal-akalan lelaki itu saja.

"Kamu tuh nggak usah banyak protes. Dari tadi Pak Andre udah mondar-mandir di depan dapur, ngingetin kami buat nyuruh kamu datang ke sana. Katanya, kamu nggak boleh kerja di sini lagi, tapi jadi sekretarisnya."

"Aku akan tetap di sini."

Sari menepuk jidat. "Aduh, El. Kamu itu dikasih kerjaan enak kok nggak mau ... Ini kesempatan baik loh! Itung-itung kamu juga bisa cuci mata liat muka Pak Andre yang gantengnya kebangeten itu ..." Pipi Sari merona merah. 

Elena memutar bola mata. Mengapa hanya dirinya yang muak melihat wajah Andre? "Lebih enakan kerja sama kalian, daripada seruangan sama monster itu. Lagian, aku nggak dikasih SK pindahan, kok ..."

"Jadi itu maumu?" Tiba-tiba Andre muncul di dekat mereka. 

Sari menunduk dan menyapa Andre dengan penuh hormat, wajahnya masih tersipu. Berbeda dengan Elena yang hanya menampakkan raut masam. 

"Nanti kuminta HRD buat surat pindahmu, biar lebih resmi. Dan pastikan setelah kau menandatanganinya, lekas datang ke ruanganku." Andre menarik bibirnya. "Oh, ya ... Jangan lupa, pagi ini di mejaku belum ada kopi," tambahnya kemudian berlalu begitu saja.

Elena menjejakan kaki dan menggerutu tak jelas. Ia masuk dapur diiringi Sari yang masih mengoceh tentang idola barunya. Bukan hanya rekannya itu yang menaruh minat pada pemilik pabrik baru, tapi hampir semua wanita di sini, kecuali Elena tentunya.

***

Ruangan Andre lengang ketika Elena tiba di sana. Ia meletakkan kopi di samping lap top dan buru-buru pergi. “Mau ke mana?” Andre baru saja keluar dari toilet, menyapa wanita itu saat Elena hampir mencapai pintu.

Elena membalikkan badan. "Tugas saya sudah selesai, permisi!" 

“Kau kira bisa keluar tanpa seizinku?” Andre lekas menyusulnya dan menahan tangan Elena yang sudah menyentuh pegangan.

"Apa lagi, sih?" tanya Elena jengkel. "Heiii!" Tanpa meminta izin, Andre tiba-tiba memeluknya. Saking eratnya hingga membuat wanita itu kesulitan bernapas. "Lepas ..."

"Diamlah!" Andre mengertak, memejamkan mata sembari menghirup aroma tubuh yang selalu dirindukannya. "Aku tidak peduli kau pernah menghianatiku, tapi kuakui aku masih sangat mencintaimu." 

Elena mendengar deru napas lelaki itu di balik tengkuknya, membuatnya merinding. "Andre lepaskan! Kalo ada yang liat nanti bisa ..." Belum juga kalimatnya usai, seseorang mengetuk pintu. Elena gugup sendiri, membuat wanita itu bergerak tak menentu. 

BRUK!

Keduanya jatuh ke sofa yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Elena mengerjap-ngerjap dan berusaha bangkit namun Andre menahan tubuhnya.

"Apa kau tidak merindukanku?" Pertanyaan konyol di waktu yang tidak tepat.

Mereka saling menatap sebelum akhirnya terputus karena seseorang sudah membuka pintunya lebar-lebar. 

"Oh, maaf ..." Juna menelengkan kepala. Tangannya masih memegang handel. 

Elena bergegas menjauhkan diri dari Andre dengan muka memerah. Juna pasti sedang berpikir yang tidak-tidak, terutama pada dirinya.

"Ada perlu apa?" Andre merapikan jasnya sambil berpura-pura membenahi kancing. 

Elena membelalak melihat tindakan kecil itu. Meskipun sepele, hal tersebut bisa menjadikan otak Juna membayangkan sesuatu yang tak ingin dibayangkannya. 

"Maaf, Tuan. Saya sudah menganggu waktu kalian."

"Tidak!"

"Ya!"

Andre dan Elena menyeletuk bersama dengan jawaban yang bertolak belakang. Mereka saling tatap lagi. Juna mengangkat kedua alis dan menyeringai. "Oke, jadi mengganggu atau tidak?"

"Tidak sama sekali. Dan perlu kutegaskan, tidak ada yang terjadi di antara kami!"

Andre dan Juna tersengal mendengar pernyataan Elena. "Kenapa kau perlu menjelaskan itu padanya?" tanya lelaki itu spontan.

"Karena ini bisa jadi salah paham. Bagaimana kalo Juna melaporkan kecelakaan tadi pada istrimu, atau kekasihmu bahwa kamu selingkuh dengan mantan istrimu!"

Mendengar itu, Andre tertawa lebih renyah. Juna pun ikut terkikik geli. "Kau istriku, Elena. Sampai kapan pun," ucapnya ringan. 

Harus Elena akui, perasannya menghangat ketika Andre berkata demikian. Namun, hatinya tak akan mudah dipermainkanlagi.

"Benar, Nyonya. Anda masih istri sah Tuan. Saya datang kemari untuk memberikan hasil penyelidikan tentang surat-surat yang pernah Nyonya tanda tangani dulu."

"Surat-surat? Maksudmu, surat pernyataan talak dari Andre itu?"  

Juna mengangguk kecil. "Ya, asal Nyonya tau, itu surat palsu. Tuan tidak pernah membuatnya."

"Apa itu ulah Bianca?" Andre tak sabar ingin tahu siapa pelaku yang membuat istrinya pergi dari sisinya. 

"Nyonya besar hanya perantara. Tuan akan lebih terkejut kalau mendengar siapa dalang di balik itu semua." Juna menatap tuannya prihatin.

"Katakan padaku siapa pelakunya?"

***

Duh, siapa nih pelakunya? 😁


Komentar

Login untuk melihat komentar!