Cinta atau Ego?

"Siapa pelakunya, Juna?" Andre mengulangi pertanyaannya. Elena ikut penasaran sampai dia meremas jemari. Jika surat itu memang palsu, berarti mereka telah dijebak. Tega sekali orang yang sengaja ingin memutus ikatan pernikahannya.

Juna menghirup napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. "Tuan besar," terangnya singkat.

Ruangan itu membisu sesaat. Elena menatap tak percaya. Mulutnya sedikit terbuka tapi tak ada kalimat yang keluar.

Tiba-tiba Andre terkekeh pelan. Mengapa papanya yang malah ingin menghancurkan kebahagiaannya. Bukankah selama ini Andre selalu menurut pada lelaki itu?

Elena menatap prihatin pria di sampingnya. Ia belum berani berkomentar. Apakah informasi ini benar, atau hanya kamuflase Andre dan Juna agar Elena mau kembali?

"Oke, kau boleh pergi!" Andre mengibaskan satu tangan masih dengan sisa tawa. Juna mengangguk dan berpamitan. Pemilik pabrik baru itu kemudian menoleh ke istrinya. “Kau sudah mendengarnya, kan? Jadi, aku tidak perlu menjelaskan apa pun lagi. Aku tidak pernah menceraikanmu.”

Wanita itu masih diam di tempat. Ia belum seratus persen percaya. Sejak menikah dengan Andre, ayah mertuanya sama sekali tidak menunjukkan perangai jahat padanya. Lalu, mengapa justru lelaki itu yang ingin memisahkan mereka?

"Mungkin ini cuma akal-akalanmu saja supaya aku kembali padamu." Elena bersedekap.

Andre mendecak. "Bukti apalagi yang harus kutunjukkan biar kau yakin kalau kita belum bercerai?" Tatapannya berubah kesal. "Kenapa, sih, kau tidak mempercayaiku?"

"Kenapa aku harus percaya? Kau saja tidak percaya padaku meskipun beribu-ribu kali kujelaskan bahwa aku tidak pernah selingkuh!"

"Itu beda, Elena. Bukti yang mengarah padamu sangat kuat. Bahkan Vino pun mengakuinya sendiri." 

Elena terdiam. Pikirannya kembali melayang pada masa lalu. Saat ia meminta Vino menjelaskan pada suaminya bahwa di antara mereka tidak punya hubungan apa-apa. Hanya sebagai sahabat saja. Namun, harapan wanita itu pupus ketika Vino malah mengakui adanya hubungan spesial di antara mereka.

Ia bahkan sampai menangis memohon pada lelaki itu agar jangan membuat fitnah, tapi Vino bersikukuh kalau mereka selingkuh. Lengkap sudah.  Wanita itu tak lagi punya senjata untuk membuktikan bahwa dirinya tidak berkhianat.

"Elena, kita bisa mulai dari awal. Oke?" Wanita berambut sebahu yang dikucir kuda itu tidak menjawab. "Kita masih suami istri ..."

Kepala Elena bergerak-gerak ke samping kanan kiri. Ia masih sakit hati atas perlakuan Andre. Mengapa lelaki itu begitu egois, ingin dipercaya tapi tak mau percaya. 

"Selama kau masih menganggapku pernah berkhianat, aku tidak akan kembali, Ndre." Tanpa berkata lagi, Elena bergerak ke pintu, meninggalkan Andre sendirian.

***

Bel berbunyi nyaring. Semua karyawan keluar dari ruang produksi, berdesakan di loker, mengganti sepatu, atau mengambil barang bawaan mereka. Antrean di depan finger print pun mengular begitu satu per satu karyawan tadi keluar dari lorong loker.

Elena termasuk di antara mereka, ikut mengantre. Beberapa orang produksi di antrean sebelah sedang menatapnya sambil berbisik-bisik. Ia tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Karena bukan hanya kedua orang itu saja yang membicarakan dirinya, melainkan hampir semua pegawai pabrik.

Wanita itu sudah dicap sebagai wanita nakal, dan kali ini ia digosipkan sedang menggoda Andre. Bos baru di perusahaan itu, sekaligus menjadi idola para karyawan wanita.

Sejak masih Abiyaksa yang memimpin, tak jarang Elena dibuli. Pernah dimasukkan ke toilet, dikunci, dan terpaksa pulang dengan pakaian basah karena disiram dari atas pintu. Zaya meledak-ledak melihatnya, bilang Elena terlalu lemah karena tidak mau melawan.

Di lain waktu, banyak pegawai wanita yang sengaja menginjak-injak lantai dengan sepatu penuh lumpur ketika Elena mengepel, membuatnya kembali mengulang kerjaan. Namun, Elena tidak menanggapi. Ia membiarkan dirinya dijadikan bual-bualan. Ia hanya tidak ingin membuat masalah dengan tingkah orang-orang itu yang terlalu kekanak-kanakan.

Tiba di depan finger print, telunjuk Elena mengarah ke depan. Sidik jarinya terdeksi. Ia pun lekas berbalik pergi, berlari kecil ke arah pintu utama.

"Stop!" Elena dihadang satu kaki yang melintang di depannya. Itu Wati, karyawan bagian QC. Wanita berambut merah menyala itu sedang menatap Elena dengan tajam. "Kuingatkan padamu, ya ... Jangan sekali-kali kau ngerayu Parman. Dia pacarku!"

"Siapa pula yang merayu Parman, kenal aja enggak!" tukas Elena jutek. Gara-gara gerombolan Wati yang menghadangnya, jalan utama menjadi terhambat. Tapi orang-orang tak peduli, mereka malah asyik menyaksikan pertengkaran itu.

"Terus, ini apa?!" Wati menunjukkan sebuah foto yang menampilkan Elena sedang tersenyum pada seorang pemuda di sampingnya. Mereka duduk bersebelahan di kantin.

Elena mendesah. Parman, Parmin, atau siapalah pemuda itu kemarin memang sempat menolongnya, mengambilkan sendok Elena yang terjatuh. Jadi, sudah sewajarnya Elena berterima kasih dengan ekspresi yang ramah, bukan?

Sayangnya, ada yang mengsalahartikan kejadian itu. Memfotonya, lalu melaporkannya pada Wati, pacar si Parman. Dan sekarang, Wati sedang melabraknya.

"Aku hanya sedang berterima kasih sama pemuda itu, bukan menggodanya."

"Alaaah, mana ada copet mau ngaku." Wati mencolek kasar pipi Elena hingga wajahnya menoleh ke samping. "Kamu itu jadi cewek jangan rakus … Semuanya diembat. Rasakan ini!" Tangan Wati terangkat, hendak menampar pipi Elena tapi seseorang berhasil menahannya.

Kedua karyawan pabrik itu pun kompak menoleh. 

“Ini tempat kerja, bukan tempat untuk membuli, ngerti?!” Juna mencengkeram erat pergelangan Wati sambil memelotot. Ia kemudian mengempas kasar tangan itu ke arah sembarang, membuat Wati berteriak dan menabrak tembok.

Semua orang tahu Juna pengawal pribadi Andre. Dan karena tak ingin mendapat masalah, satu per satu kerumunan itu mulai membubarkan diri, termasuk dua teman Wati yang ikut melabrak tadi.

Wati meringis kesakitan, menatap Juna takut-takut seraya meminta maaf. Ia terpaksa menunduk patah-patah ke arah Elena sebelum pergi. “Awas kau!” ucapnya lirih sambil menyenggol bahu Elena.

"Saya pastikan besok orang itu tidak kerja di sini lagi, Nyonya." Elena melambaikan tangan dan berlalu pergi. "Tuan menunggu Anda di mobil." 

"Aku tidak ingin pulang bersamanya," ujar Elena tanpa menghiraukan Juna yang terus mengikuti.

"Tapi ..."

"Tidak ada tapi-tapian, Juna!" Elena membentak, geram pada pengawal suaminya. 

Untung saja keadaan sekitar sudah sepi, jika tidak, bisa dipastikan akan ada daftar tambahan gosip baru tentangnya. 

"Pergilah dan jangan ikuti aku!"

Ia menjauh dari lelaki itu dan berbaur dengan karyawan lain di halaman pabrik. Andre yang melihat istrinya tidak mendekat ke mobil, segera menelpon Juna. "Kenapa Elena tidak ke sini?!" Jawaban Juna di seberang membuat Andre mendesah. "Paksa saja!"

Setelah mendapat mandat dari bosnya langsung, Juna memerintah dua pengawal mencari Elena yang sudah menghilang di jalanan. 

Elena sendiri tidak menaiki angkot seperti biasa, ia naik bus antar kota. Sengaja melakukan itu agar Andre tidak mengejarnya.

Dua pengawal tadi, termasuk Juna melihat-lihat isi dalam beberapa angkutan yang masih ngetem namun istri tuannya itu tidak ditemukan. 

"Kalo nggak salah Elena naik bus besar tadi, yang warna item, Pak," terang salah satu karyawan. Juna mengangguk dan segera menghubungi Andre.

Dua sedan hitam langsung meluncur di jalanan, mengejar bus yang ditumpangi Elena. Bus itu tidak berjalan terlalu cepat sehingga Andre dan rombongan bisa memotong jalurnya.

Bus mengerem mendadak ketika sebuah sedan berhenti tepat di depannya. "Kurang asem! Dasar orang kaya nggak tau sikon! Pengen mati, po?!" Supir mengomel.

Elena yang tahu itu mobil pengawal Andre, segera beranjak dari kursi. Ia mengendap-endap ke arah pintu belakang. Sayangnya, Elena terlambat. Salah satu pengawal sudah memblokir jalannya. Wanita itu pun memutar balik, tapi langkahnya langsung terhenti. 

Andre terlihat sedang menaiki tangga bus. Menatapnya sambil menyeringai kecil. Semua orang di dalam berseru melihat lelaki itu, lebih kepada para penumpang wanita yang terpesona.

"Maaf, saya terpaksa menganggu perjalanan Anda semua." Andre berkata santai sambil mengedarkan pandangan. "Saya hanya ingin menjemput istri saya. Dia sedang ngambek, nggak mau pulang."

Terdengar sahutan “oooh” panjang dengan semua mata tertuju pada Elena. Wanita itu tak bisa berkutik. Wajahnya sudah memerah.

"Sayang, pulang, yuk! Jangan marah terus ..."

"Cieeeee ...." Seluruh penumpang, termasuk supir yang tadi jengkel berseru girang. Baru kali ini ada adegan romantis di dalam busnya. Ini seperti di drama-drama Korea.

"Aku bisa pulang sendiri!"

"Jangan gitu dong, Mbak. Punya suami cakep kok malah dicuekin." Seorang ibu-ibu nyeletuk, yang lain membenarkannya. "Kalo aku punya suami kayak mas ganteng ini, udah betah di rumah terusss," tambahnya sambil mengerling ke arah Andre.

Elena hanya memutar bola mata. "Minggir!" sentaknya pada Andre.

"Menurutlah, atau ..." Andre memajukan kepalanya dan berbisik. "Kucium sekarang juga. Mau?" Ancaman itu membuat mata Elena melebar. Tentu saja ia tak ingin orang-orang melihat Andre menciumnya di sana, akan memalukan sekali ...

Kali ini pria itu menang. Elena menurut dan bergegas turun. Semua orang di kendaraan itu bersorak mengiringi kepergian mereka.

"Thak you, thank you ..." Andre membalas apresiasi itu dengan melambaikan tangan.


*** 


 


Komentar

Login untuk melihat komentar!