03
Apapun aku lakukan agar tetap hidup bersamanya. Termasuk menyakiti wanita pertamanya. Dalam hal ini aku tidak sepenuhnya salah bukan?

❤❤❤

POV SONIA

Kupikir dengan tidak adanya Bunga juga ibunya itu hidupku jadi semakin enak. Tahunya tiap hari cape. Harus bangun pagi, beres-beres, masak, kerja pula. Mana Mas Erwin gak pernah ngasih uang. Yang ada minta terus, kalau bukan karena cinta tidak sudi aku menjadi pendampingnya. Awas saja kalau dia sampai berani selingkuhin aku kayak Bunga. Kusunat dia.

Bukannya rumah ini cepat laku saja sih. ‘Kan enak bisa dapet uang banyak.

“Sonia! Sarapannya mana, masa jam segini meja makan masih kosong.” Mas Erwin teriak dari dapur. Jangankan masak, mandi aja aku telat.

“Au uah keiangan Mas.” Aku teriak dari kamar mandi seraya menggosok gigi. Parah. Rempong tiap pagi. Biasanya kalau ada Bunga aku tidak pernah ngurus yang lain-lain. Biasanya aku sibuk dandan. Ya ‘kan aku kerja jadi seles parfum jadinya harus dandan cantik. Sekarang buat dandan aja gak ada waktu.

“Kamu itu gimana, sih. Kalau mau berangkat kerja minimalnya di rumah itu sudah ada makanan. Jangan biarkan suami kelaparan. Kalau Bunga--”

Hup, kututup mulutnya dengan telapak tanganku. Tiap hari yang dibahasnya Bunga terus. Sampai panas kupingku. Kalau bukan karena Bunga kalah cantik juga seksi dibandingkan aku, mungkin aku tidak akan ada artinya buat dia.

“Aku udah kesiangan, mau berangkat kerja,” ucapku seraya membetulkan rambut yang masih tergulung oleh handuk.

.
“Nih, makan di luar!” Kusimpan selembar uang limapuluh ribu di hadapannya. Langsung disambutnya dengan senyuman. Aku mungkin wanita terbodoh yang ada di dunia ini. Mau-maunya mendanai laki-laki, jadi istri kedua pula. Tapi aku yakin semua wanita yang ada di posisiku pasti melakukan hal yang sama.

Mas Erwin itu ganteng, badannya tinggi atletis. Otot-otot perutnya tercipta. Selain dia memanjakan mata, dia pandai dalam memberikan nafkah batin. Aku tidak pernah merasa kurang. Dulu, kami bertemu di Mall Karawaci Tanggerang—tempatku bekerja—saat itu dia membeli parfum yang lumayan mahal. Kerlingan nakal matanya membuatku terpaku tidak bisa berkutik, awalnya kami bicara ringan, dia orang yang supel juga asik. Atas perbincangan ringan itu aku memberi diskon 50%, yang bahkan sebenarnya aku yang nombok.

Hubungan kami berlanjut semakin dekat. Dia memang tidak pernah mengatakan cinta, tapi apa yang kami lakukan sudah melewati batas pacaran. Kupikir dia masih sendiri, sehingga aku tenggelam dalam cinta yang semakin dalam. Saat kuminta dia menikahiku Mas Erwin selalu menolak. Dia banyak berkilah. Setelah kudesak baru aku tahu kalau dia sudah punya istri. Aku terluka, tapi karena sudah benar-benar tenggelam dengan cintanya. Apapun aku lakukan agar tetap hidup bersamanya. Termasuk menyakiti wanita pertamanya. Dalam hal ini aku tidak sepenuhnya salah bukan?

Mas Erwin menolak menikahiku, tapi aku mengancamnya dengan alasan hamil. Tentu saja bohong. Tidak tahu kenapa Mas Erwin sepertinya memang tidak ingin memiliki anak, jadi dia punya cara sendiri. Meski begitu dia masuk keperangkapku. Tentu saja karena aku lebih cantik juga bohai dibandingkan perempuan yang sudah lupa mengurus dirinya itu.

***
Aku siap naik ke puncak keindahan dunia akhirat saat tiba-tiba terdengar suara kunti tepat di dekat jendela.

“Hiiiiiii Hiiiiiii Hiiiiii Hiiiii.” Suaranya membuat bulu kuduk yang tadinya merinding karena sentuhan, kini berubah jadi merinding takut. Cepat aku beringsut ke pojokan ranjang. Memutus adegan dengan Mas Erwin, seraya mengambil selimut menutup diri. Baru aku sadari kalau lampu juga mati.

“Su-Suara apa itu Mas.” Dalam kegelapan aku ketakutan.

Mas Erwin mendengus kesal. “Alah palingan anak kecil ngerjain.” Dia terdengar grasak-grusuk, entah sedang apa. Tidak lama kemudian dia sudah menyalakan senter HP.

“Nyalain dulu lampu, aku takut.” Setahuku kunti itu bisa menembus dinding, mana tahu tiba-tiba ada di dekatku.

Mas Erwin garasak-grusuk marah. Menggunakan sarung yang biasa digunakan sebagai selimut itu dengan asal.

"Siapa sih malam-malam ganggu aja," grutunya pelan, tampak begitu murka karena hasratnya terputus.

Dengan kasar dia menyibak gorden, lalu mengarahkan senter HP ke sana. Karena penasaran aku ikut mengamati.

"WWWAAA!" Mas Erwin teriak. Membuat jantungku bagai copot. Aku bergetar di pojok dipan. Sedang gawai Mas Erwin terjatuh di lantai terdengar berserakan bersamaan dengan sarungnya yang turun melewati pantat. Aura macho-nya hilang seketika. Tapi aku tidak peduli saking takutnya.

Karena HP sudah mati sontak membuat kamar gelap gulita. Aku mengamati sekeliling, hanya ada gelap dan hening. Aku jadi teringat Bunga si gila itu.

Katanya aku takut setan tapi tidak takut Tuhan. Dia benar, aku memang takut.

"A-a ... ada apa Mas." Seruku mendengar Mas Erwin yang grasak-grusuk sendiri.

"Aku lagi nyari baju dimana sih? Mau keluar nyalain lampu," jawabnya dengan ekspresi yang tidak dapat kulihat.

"Enggak tahu. Cepetan Mas aku takut."

"Ya 'kan aku harus pakai baju dulu masa******begini," serunya terdengar membuka lemari.

Aku mengambil HP-ku yang kupegang sedari tadi. Saking takutnya aku tidak sadar dari tadi memegang hape yang diambil dari bawah bantal.

"Nah, itu kamu ada HP, ngapain gak dinyalain dari tadi," kata Mas Erwin yang sudah mengenakan pakaian lengkap.

"Aku lupa. Apa karena pengaruh setan, ya." Bisa jadi tadi setan yang membuat aku lupa kalau sedang memegang HP.

"Kamu yang gak sadar pake nyalahin setan!" Dia mengambil handphone-ku pergi keluar kamar, berlaga seakan berani. Padahal tadi 'kan dia yang teriak.

.

"Tadi yang ada di luar wajahnya kayak Bunga, ya?" Dia berbicara sendiri tampak sedang berpikir.

"Udah jelas itu setan, orang Bunga ada di rumah sakit jiwa."

Mana ada Bunga yang kuberi obat secara berkala bisa sembuh begitu saja. Seruku dalam hati. 

"Aku takut itu setannya Bunga."

"Hus! emang bisa orang hidup gentayangan?"

"Aku takutnya ini pertanda kalau Bunga udah tiada.
Jangan-jangan ...." Mas Erwin mengernyitkan kening.

Dia gegas bangun dari kursi kecil yang ada di kamar. Membawa HP-nya yang tergeetak di atas meja kayu. Lalu hilir mudik seraya menempelkan gawai di telinga.

“Hallo. Pasien atas nama Bunga masih ada di sana?”
“Bagaimana keadaannya?”
“Tapi tidak terjadi apa-apa sama dia ‘kan Pak?”
“Oke. Tidak. Baik Pak, Terimakasih.”

Entah apa yang mereka bicarakan tetapi satu kesimpulan bahwa Bunga masih ada di sana dalam kondisi hidup. Itu artinya yang tadi Mas Erwin lihat benar-benar hantu. Secepatnya aku menutup tubuhku dengan selimut, takut tiba-tiba suara itu ada lagi.

***
Selepas kejadian hantu malam itu aku semakin tidak betah tinggal di rumah ini. Ingin segera pindah saja. Walaupun hantunya tidak pernah ada lagi tetap saja pada dasarnya aku tidak betah tinggal di rumah ini.

“Mas, kapan rumah ini laku, aku udah bosan tinggal di sini,” ucapku di hari senin pagi.

Setiap hari senin jadwalku untuk libur. Itulah saatnya aku bercengkrama dengan cucian yang sudah seminggu tidak pernah kusentuh. Di rumah ini mesin cuci hanya dijadikan pajangan, udah rusak, tidak mampu beli yang baru lagi.

“Tunggu saja nanti juga ada yang beli. Mas yakin bentar lagi juga laku, asal mau turun harga dikit,” seru Mas Erwin santai.

“Bentar lagi, bentar lagi. Kapan bentar lagi?!” gerutuku kesal. Lalu kuhentikan karena terdengar suara ketukan pintu.

Di depan pintu sudah ada dua orang laki-laki yang tidak aku kenal. Memakai pakaian rapi. Kuprediksi usianya mungkin sekitar 40 tahunan.

“Maaf Mba, benar rumah ini mau dijual?” tanya salah satu orang itu.

Benar Pak, jawabku. Bagai pucuk dicinta ulampun tiba. Ternyata Tuhan mengabulkan inginku meski tidak meminta.

“Benar Pak, tunggu saya panggilkan suami dulu, silahkan duduk,” seruku seraya menunjuk kursi di teras rumah.
.
“Mas bangun! Ada yang mau nanya-nanya rumah.”
Aku membangunkan Mas Erwin yang sedang tertidur. Kalau urusan uang gampang sekali dia dibangunkannya. Tapi kalau disuruh cari uang susah sekali.

“Bener? Siapa?”

“Gak tahu liat aja ke luar, cepetan biar aku buatkan kopi.” Kapan aku baik begini pada tamu, kecuali saat tamu itu membawa keuntungan. Sudah tidak sabar rasanya aku akan memiliki uang banyak.

Kopi selesai. Aku membawanya ke depan. Alangkah kagetnya saat aku melihat Bunga ada di depan rumah sedang mencium tangan Mas Erwin, panas seketika memenuhi dada. Sontak aku menghentikan langkah.

“Bu-Bunga,” ucapku gagap. Bunga terlihat sehat juga segar, bahkan bekas jerawat di wajahnya sudah hilang. Bunga tidak lagi kurus. 

Tiba-tiba dia menghampiriku, lalu mengambil salah satu kopi yang aku bawa. Dia duduk di kursi dengan santainya. Aku begitu terpana dengan apa yang dia lakukan, netraku bahkan tidak beranjak darinya.

“Makasih, ya,” tukasnya seraya mengacungkan segelas kopi ke arahku. Aku terbelalak. Kurang ajar, aku buatkan kopi bukan untuk dia. Rasa kaget juga marah membuatku tidak sadar melepaskan pegangan nampan. Hingga semuanya berserakan di lantai.

“AAWW.” Aku teriak karena panas air kopi mengenai kaki. Mas Erwin segera menghampiriku, menujukan perhatiannya di depan wanita itu. Mampus! Dia pasti cemburu.

Bunga beranjak dari kursi, mungkin dia tidak kuat melihat adegan Mas Erwin yang sedang memeriksa kakiku. Bunga berjalan mengambil sapu dan pengki yang ada di dekat sana. Oh, jadi sekarang dia mau ambil perhatian dengan semua kegaduhan ini. Agar terlihat sebagai istri yang soleha.

“Hati-hati dong, pegang nampan aja gak bisa. Nih bersihkan!” Bunga melempar sapu dan pengki ke arahku membuat aku kaget bukan kepalang.

Bersambung ....

Jangan lupa tinggalkan jejak teman-teman 😍

Komentar

Login untuk melihat komentar!