Saat Si Kembar Tukar Posisi (Adiknya boleh mengalah kakaknya belum tentu)
Jangan lupa sub, love and koment biar cerita ini up, ya, teman-teman 😘.
❤❤❤
"Please ... tolong pura-pura jadi Bunga. Dia sekarang sakit, suaminya mau menjual satu-satunya rumah pemberian orang tuanya." Laki-laki berkacamata tebal itu berlutut di hadapanku. Setelah aku menolak mentah-mentah permintaannya.
Ish, siapanya Bunga sih dia. Aku pun yang sedarah dengannya masih pikir-pikir untuk membantu.
Ah, kenapa juga aku harus membantu. Ikatan kami hanya menjadi sejarah, bahkan dalam dua puluh sembilan tahun baru sekali aku bertemu dengannya. Dulu bertemu pun karena tidak sengaja. Ya, tidak sengaja menemukan surat adopsi anak di dalam lemari Mama.
Saat itu aku masih duduk di kelas tiga SMP, Sekolah meminta ijazah SD. Karena Mama tidak ada di rumah, akhirnya kucari sendiri di lemarinya.
Tanganku menemukan sebuah surat yang membuatku bagai tersambar petir. Tangan bergetar membaca huruf-huruf itu. Saat itu aku tahu ternyata aku hanya anak angkat Mama. Sungguh hati bagai diiris sembilu.
Akhirnya aku memaksa untuk bertemu Ibu kandungku. Disana barulah aku bertemu dengan Bunga, saat melihatnya aku merasa sedang berada di depan cermin. Kami sama. Hanya pakaiannya saja yang berbeda dia kampungan sedangkan aku modis.
Disanalah aku tahu kalau punya saudara kembar. Saat melahirkan, Ibu kandungku tidak sanggup membayar biaya persalinan, akhirnya dijual'lah salah satu anaknya yaitu ... aku. Miris bukan.
Walaupun aku tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang dari Mama, tetap saja mengetahui semuanya itu menyakitkan. Akhirnya aku lupakan saja mereka, menganggap bahwa mereka tidak pernah ada di dunia ini.
Lalu tiba-tiba laki-laki ini datang, memintaku berpura-pura menjadi Bunga. Karena Bunga sedang sakit, sementara rumah satu-satunya akan dijual suaminya.
Tapi kenapa aku sekarang harus membantunya. Apa karena hubungan darah? Dulu Ibu menjualku demi menebus Bunga, lalu aku sekarang harus menolong Bunga, dunia macam apa ini?
"Tolong, ini demi kehidupan Bunga. Aku akan bersujud di kakimu jika kamu mau," lanjutnya seraya memeluk kakiku. Aku terbelalak karena ulahnya yang terlalu berani itu.
"Jangan, ih!"
Sontak aku mundur menjauh darinya, tapi dia menarik kakiku tidak mau lepas. Beberapa orang yang lewat di dekat kami mendelik. Ada juga yang melotot bahkan merekam.
Ini car free day, ditengah banyaknya orang dia bersujud di kakiku. Apa kami tidak seperti pasangan yang bertepuk sebelah tangan. Kalau dia keren sih gak masalah. Nah ini, udah pake kacamata tebal, pake celana jeans yang bajunya dikedalemin lagi. Cupu.
"Please, gue malu. Jangan gini." Aku terus menarik kaki, tapi percuma karena dia memeluk kakiku erat. Kurang ajar memang.
"Gue gak akan biarin sebelum kamu bilang iya," ucapnya semakin keras memeluk kakiku.
"Lepasin apaan sih." Semakin banyak orang yang berkumpul merekam kami.
"Janji dulu baru gue lepasin, sekali aja. Please."
"Oke, sekali," seruku. Dia mengacungkan jari kelingking tanda setuju. Aku meraihnya cepat sebelum semakin banyak orang berkumpul. Barulah si cupu mau berdiri.
"Ngapain lu pake rekam-rekam. Berani upload gue gibeng di pengadilan lu." tantangku pada mereka yang berani mengacungkan kamera handphone.
"Wwwuuuu," seru mereka yang berkumpul. Lalu aku dan si cupu pergi meninggalkan tempat itu. Mencari angkringan yang tempatnya enak buat ngobrol. Dipilihlah sebuah stand jus.
***
"Jadi gimana? coba lu ceritain sejelas jelasnya. Terus kenapa gue harus membantu sodara kembar gue, padahal gue aja udah lupa kalau punya sodara kembar," ucapku memulai pembicaraan
Dia mengaduk-ngaduk jus apel dihadapannya. Kemudian meminumnya perlahan. Ih, aku berdecak kesal. Mau cerita saja lama.
"Dari dulu udah aku peringatkan kalau Erwin itu bukan laki baik-baik," tukasnya seraya memainkan sedotan, sedangkan iris dibalik kacamata tebal itu tampak melihat jauh entah kemana.
"Erwin itu siapa? suaminya," tanyaku sebelum dia berbicara lebih jauh.
Ia mengangguk, lantas melanjutkan kembali.
"Bunga pacaran sama Erwin dari sejak kuliah. Mereka memutuskan menikah setelah lulus. Erwin itu playboy, tapi Bunga sudah tergila-gila. Aku sering lihat Erwin jalan sama perempuan."
"Oke bisa dipercepat enggak ceritanya, mahal waktu gue." Aku melihat jam tangan. Kalau dengerin dia menceritakan dari jaman kuliah bisa jamuran gue. Mana intonasinya lama.
"Oke, singkat cerita mereka nikah. Sayangnya hidup Bunga malah sengsara." Si Cupu mempercepat intonasi bicaranya.
"Ko, bisa abis nikah sengsara, bukannya bahagia."
Aku memotong ucapannya yang bagai kereta api itu. Si Bunga mendingan sudah nikah. Nah aku, bertahan dengan kejombloan ini.
"Jadi Erwin gak pernah menafkahi Bunga. Bunga harus kerja, ngurus ibunya yang sudah sakit-sakitan. Punya anak masih dibiarin kerja juga sama suaminya. Sedangkan Erwin kerjanya ngabisin duit sama selingkuh.
Parahnya setahun yang lalu dia bawa istri keduanya ke rumah Bunga. Sekarang Bunga depresi, ada di rumah sakit jiwa. Dan rumahnya sekarang mau dijual. Itulah sebabnya aku minta kamu pura-pura jadi Bunga agar Erwin gak jadi jual rumah. Kalau rumah sampai kejual dimana Ibu sama anaknya tinggal?"
Dalam hati aku berbisik, "dia juga ibuku bukan cuma ibunya Bunga." Tapi gengsi buat diomongin.
Kalau emang bener, ada cowok jahat kayak gitu parah juga. Hati dan pikiranku mendadak panas denger ada orang yang sebejad itu.
"Terus Ibu sama anaknya tinggal di mana?"
"Sekarang di rumahku karena kemarin diusir. Kasihan tinggal dirumah itu juga karena dijadiin pembantu."
Gila tu orang. Hatiku makin panas kalau begini. Walaupun aku tidak pernah merasakan bau ketek Ibu tetep aja dia yang lahirin.
"Terus apa alasan kenapa gue harus bantu?" ucapku masih keras kepala.
"Kalau kamu tidak merasa punya keterikatan dengan mereka mungkin alasan 'kemanusiaan'." Si cupu menekan kata 'kemanusiaan' membuat keegoisanku sedikit melunak.
"Emang dia gak tahu kalau Bunga punya saudara kembar?" tanyaku memastikan.
"Ibunya Bunga sih bilang gak ada yang tahu. Aku yang bersahabat lama dengan Bunga juga baru tahu." Si cupu meyakinkan.
Bukannya dari dulu dia memang merahasiakan keberadaanku, bahkan Bunga pun sama kagetnya saat bertemu denganku.
"Eh, iya, siapa nama lu?"
"Johan."
"Gue Raini."
"Udah tahu," tukasnya pendek. Menyebalkan.
Aku mempertimbangkan perkataan Johan. Kalau benar tanah dan rumah itu milik Bunga mana bisa orang lain menjualnya. Apa lagi sampai mengusir ibu.
"Yang gue heran kenapa Bunga dan ibunya tidak melawan kalau rumah itu atas nama mereka?" tanyaku merasa rancu atas apa yang Johan katakan.
"Bunga dan ibunya tidak bisa melawan, Rai. Mereka selalu mengalah. Itu juga mungkin yang membuat Bunga hampir gila. Memendam luka tapi tidak bisa melawan," ucapnya kali ini berani menyebut namaku seolah kalau kami sudah akrab.
"Tapi kenapa kamu tahu banyak tentang Bunga, walau sebagai bersahabat tapi 'kan Bunga sudah berumah tangga. Rasanya berlebihan kalau Bunga menceritakan semua masalah rumah tangganya?"
"Aku temennya dari kecil, tapi setelah Bunga menikah aku tidak pernah tahu kabarnya lagi, selain cuap-cuap tetangga karena rumah kami dekat. Hanya saja beberapa hari lalu aku bertemu ibunya Bunga di jalan. Dia diusir karena melarang menjual rumah itu. Aku tahu semua cerita ini dari ibunya Bunga. Dia juga yang meminta tolong untuk menghubungi kamu," ucap laki-laki berambut klimis itu.
"Oke gue bantu, tapi sebelumnya gue mau ketemu Bunga dulu." Aku memutuskan. Aku takut salah membantu orang, siapa tahu ini hanya akal-akalannya saja.
.
Matahari mulai tinggi, udara telah terasa panas. Aku dan Johan berjalan di sepanjang trotoar yang menuju ke parkiran. Laki-laki dengan sepatu berlabel ceklis warna orange hijau menyala itu tidak banyak bicara.
***
Seorang perawat berpakaian putih membukakan pintu. Di sisi kanan-kiri tampak beberapa orang berbicara sendiri, ada juga yang hanya diam bagai patung.
Pintu di buka. Terpampang pemandangan amat miris, Bunga tidur berbaring dengan posisi tangan terikat.
"Kemarin melukai pasien lain, jadi kami ikat," seru perawat tampak mengerti apa yang aku pikirkan.
"Setiap bertemu wanita, kadang emosinya tiba-tiba naik. Mba saudara kembarnya?" Si perawat mengamatiku. Kujawab dengan anggukkan.
.
"Jo, Johan. Kamu disini Jo, Jo tolong katakan sama mereka aku gak gila." Lirih suara Bunga.
"Bunga, kamu bangun?" Johan mendekati Bunga, mereka terlihat akrab.
"Johan tolongin aku, mereka jahat, Jo. Mereka di sini kasar. Padahal aku gak gila. Bilangin sama mas Erwin tolong bawa aku pulang.
Aku tarik kata-kataku, Aku gak apa-apa dia gak ngasih uang, Aku gak apa-apa kalau dia masih suka minum-minuman keras. Tapi aku gak mau dia selingkuh lagi, selingkuh lagi," ucapan Bunga terdengar perih menggetarkan kalbu.
"Kamu harus cepat sembuh, Bunga. Jangan mikir macam-macam dulu. Aku ke sini sama saudara kembar kamu." Johan melihat kearahku yang hanya berdiri dari tadi.
Bunga, wanita dengan rambut acak-acakan itu menoleh, mata sendu dengan lingkar hitam itu terlihat seram.
"Kamu Raini 'kan. Ibu merindukan kamu Raini. Ibu sering menangisi kamu. Kamu kenapa ke sini?" Dia menjeda lalu ekspresinya mulai berubah.
"Apa jangan-jangan kamu selingkuhannya Mas Erwin, HA!?" teriak Bunga membuatku terlonjak. Kaget juga takut.
"Sudah diapapain kamu sama suamiku? Dasar wanita j*lang. Tidak punya perasaan. Kalau suami kamu yang aku ambil bagaimana perasaan kamu, HA?" Bunga semakin histeris, lalu dia mulai berontak mencoba melepas ikatannya.
Kaki dan tanganku terasa bergetar. Jantung berdebar tak karuan. OMG apa yang terjadi dengan Bunga sampai seperti itu.
.
Aku menangis di kursi depan kamar Bunga, bagaimanapun ada ikatan darah antara kami. Melihat wajah orang yang sama denganku itu depresi atas masalahnya membuatku merasakan hal yang ... entahlah.
Ada marah, sedih, kecewa. Aku tidak suka pada Bunga, karena ibu menjualku untuk menebusnya. Tapi melihat dia dalam keadaan yang begitu parah akupun tak suka. Apakah aku harus membantu? Mungkin bisa kuberi pelajaran laki-laki itu?
Bersambung...