BAB 13
BAB 13



Karena tak punya banyak waktu untuk menonton drama ini, polisi pun pamit undur diri. Mereka membawa Refan. 

“Bang, tolong gadis ini. Angkat ke kamar,” pinta Mbak Yuni.

Tanpa menyahut lagi, segera kulakukan apa yang diperintahkan barusan. Kuangkat tubuh Salma dan meletakkannya di atas ranjang. Tak lama kemudian pembantu datang untuk mengurus Salma. 

Semoga kamu segera sadar dan bisa menerima kenyataan ini. Itulah harapan sederhanaku untuk Salma. Terkadang otakku kacau tak terima. Mengapa ia berubah begitu saja. Bahkan, sekarang aku tak lagi mengenalnya seperti yang dulu lagi. 

“Makasih buat malam ini, Bang. Maaf buat semuanya, ya.”

“Gak pa-pa, Mbak.”

“Kami benar-benar tidak menyangka kalau Refan pelakunya. Bahkan, ia juga menganiaya Abang dan membakar ijazah SMA itu bersama Geri,” sesal Mbak Ayu sedih. 

Aku tahu ia pasti merasa sedih, karena posisinya saat itu aku sedang menolong kucing milik putrinya. Kehilangan ijazah itu berat. Walaupun bisa diurus, tetap saja rasanya tidak sama lagi. Bukan ijazah cetakan ulang yang kuinginkan sebenarnya. 

“Hari sudah malam, Mbak. Aku pamit mau pulang kasihan bapak kalau kelamaan sendirian di rumah,” ucapku berpamitan pada Mbak Ayu dan Mbak Yuni. 

“Abang, nginap aja,” rengek Ica. 

“Mana mungkin Abang bisa nginap, Adik kecil. Lain kali saja, ya.” 

Anak-anak memang lucu. Mana mungkin badut sepertiku mau menginap. Masih ada hari esok yang lebih keras untuk dijalani bersama Bapak. 

“Ini sisa upahnya plus uang permohonan maaf kami. Abang sangat baik, bahkan terlalu baik,” seru mamanya Tata sambil memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu. 

“Eh, jangan sebanyak ini. Cukup berikan saja upahku jadi badut. Untuk semua kejadian lalu, biarlah jadi resiko untukku. Lagian, sekarang Refan sudah mendapat ganjarannya,” tolakku secara halus. 

“Jangan nolak, Bang Dani. Itu ambil untuk membantu mengurus ulang ijazah yang rusak. Mana tahu bisa melamar pekerjaan yang lebih baik,” ucap Mbak Ayu. 

Sebenarnya, aku hanya ingin menerima upah sebagai badut pesta saja. Namun kali ini berbeda. Mereka tulus membantu pengurusan ijazahku. Akhirnya, uang itu pun kuterima dengan penuh haru. Jumlahnya entah berapa, tapi baru kali ini kulihat uang lumayan banyak di depanku langsung. 

“Baiklah, kalau memang niatnya begitu. Terima kasih banyak, Mbak. Uangnya kuterima untuk urus ijazah.” 

“Memang itu tujuannya, Bang. Jika Abang berkenan, di kantor suami saya sedang mencari OB. Maaf bukannya melecehkan dengan menawarkan pekerjaan itu, tapi ini jika Abang berkenan. Soalnya hanya itu lowongan kerja yang ada saat ini,” papar Mbak Yuni padaku. 

“Wah, benarkah itu? Kalau begitu masuk saja, Bang. Gajinya lumayan walaupun OB. Lagian, kerjanya setengah hari saja. Abang masih bisa melanjutkan hobi sebagai penghibur anak-anak,” sambung Mbak Ayu senang. 

Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Hati ini terus berucap kata syukur tiada henti. Ya Allah, dengan apa kutunjukkan rasa senang ini? Dada ini terasa sejuk sekali. 

“Mau, Mbak. Mau sekali. Akhirnya, aku bisa kerja seperti orang-orang. Kerja apa saja aku siap, Mbak. Prinsipku dan bapak semua pekerjaan itu mulia asalkan halal,” sahutku dengan mata berbinar. 

“Alhamdulillah, kalau begitu. Ini kartu nama saya, simpan. Segera hubungi nomor yang tertera jika ijazahnya sudah ada. Saya akan langsung kabari papanya Tata agar tidak memberikan pekerjaan itu pada orang lain.”

“Terima kasih banyak, Mbak. Terima kasih banyak,” ucapku penuh syukur. 

“Selamat, Bang Dani.” Mamanya Ica menyahut senang. 

“Kalau begitu aku pamit pulang, secepatnya akan aku hubungi, Mbak,” pamitku penuh hormat. 

“Bang hati-hati. Hari minggu Kak Tata sama Ica mau main ke taman. Mau lihat sulap sama beli balon,” kata Ica sambil nyengir ala anak-anak. Lucu. 

“Iya, Sayang. Minggu akan Abang bawakan balon lagi.” 

“Tapi kamu aja yang beli balon, Kaka udah gede gak main balon lagi, Ca,” protes Tata pada sepupunya. 

“Hehe, iya.”

Aku langsung membalik tubuh dan pergi meninggalkan mereka. Saat baru beberapa langkah keluar masih sayup-sayup terdengar percakapan dari mereka. 

“Ma, Mbak Salma kapan bangun?” Pemilik suara itu adalah Tata. 

“Nanti, Nak. Mbak Salma gak pa-pa, dia kaget aja tadi.”

“Kami juga kaget, kok Bang Refan dibawa polisi?” 

“Bang Refan mau ikut, katanya sekalian mau pulang. Soalnya rumahnya berdekatan,” ucap Mamanya berbohong pada Ica. 

Tentu saja sulit menjelaskan pada anak-anak tentang kejadian tadi. Ica masih terlalu kecil untuk bisa paham apa yang sedang terjadi. Saat aku baru naik sepeda, tiba-tiba ART mengejarku sambil membawa bungkusan lumayan besar. 

“Tunggu dulu, jangan pergi!” panggilnya sambil setengah berlari menghampiri. Napasnya terengah. 

“Ada apa, Bi?” Aku menoleh ke arahnya. 

“Ini bingkisan khusus untuk kamu dari mamanya Tata. Dia sudah menyiapkan sedari tadi, Bibi hampir kelupaan ngasih. Sibuk ngurusin Neng Salma ponakannya Pak Abid.” Ia menyodorkan satu bungkusan plastik padaku. 

Oh, aku sekarang tahu siapa nama suami Mbak Yuni. Pak Abid, dia calon bosku nanti di kantor. Semoga ijazah bisa segera terselesaikan. 

“Banyak sekali ini, Bi. Berat juga, gak salah ini buat aku?” tanyaku untuk memastikan. 

“Lah, iya. Itu khusus buat Abang, untung aja Bibi ingat.”

“Makasih banyak, Bi. Dani pamit pulang.”

“Iya, hati-hati. Jalanan agak licin,” nasihatnya. 

Aku mengangguk sambil tersenyum. Lalu mulai mengayuh sepeda untuk menempuh perjalanan pulang. Alhamdulillah, untuk semua kejutan hari ini. Dari mulai kesedihan, kehilangan, dan kebahagiaan. Semuanya terstruktur indah. Entah, bagaimana hari esok dan lusa. Entah apa-apa lagi yang akan kujalani. 

Jangan pernah takut berbuat baik. Karena kebaikan itu akan kembali pada pelakunya sendiri. Langit tidak pernah salah memberikan hadiah pada orang yang sabar. Ujian silih berganti menikam hati, aku tetap tak mengeluh. Bertahan dalam segudang harapan dalam doa. 

Jalanan masih ramai. Toko dan warung masih buka dan beraktivitas. Lampu jalanan ikut menerangi jalanku, walaupun sesekali roda sepeda masih menabrak bebatuan jalanan. Dingin, sedingin hatiku saat ini. 

***

“Assalamualaikum, Bapak.” Aku mengetuk pintu pelan. 

Beberapa saat kemudian, Bapak keluar. 

“Waalaikumsalam, Dani. Kamu sudah pulang.”

“Sudah, Pak. Alhamdulillah semuanya lancar. Ini ada bingkisan makanan dari tuan rumah untuk Bapak.” 

“Wah, banyak sekali. Kita bisa makan sepuasnya, Nak. Semoga mereka selalu mendapatkan berkah dalam hidupnya,” ucap Bapak penuh harap. 

“Iya, Pak. Aamiin. Orang baik pasti akan dapat kebaikan pula.”

Bapak tersenyum sambil membawa bungkusan itu ke belakang. Aku mengganti pakaian dan mandi, agar makeup badut ini terhapus sempurna. Kulihat Bapak memandang takjub pada isi bungkusan itu, membuatku penasaran juga. 

“Nak, isinya banyak sekali. Aneka makanan dan kue, juga banyak ayam goreng.” Bapak berkata sambil memindahkan ayam goreng ke mangkuk.

“Alhamdulillah ,Pak. Rezeki buat Bapak yang suka ayam goreng.” 

“Oh, iya, Pak. Tadi, pelaku penganiayaan Dani sudah tertangkap,” ceritaku. 

Bapak tanpa berkata apa-apa langsung sujud syukur. 

“Alhamdulillah, Nak.” Bapak memeluk tubuhku erat. 

“Ada satu berita baik lagi, Pak. Dani besok mau ke sekolah urus ijazah, karena ditawarkan kerja di kantor tempat pesta tadi,” jelasku. 

“Masyaallah. Tapi, mengapa kamu urus ijazah lagi. Bukannya ijazahmu sudah diambil waktu itu?” tanya Bapak heran. Karena memang aku belum memberi tahu yang sebenarnya. 

“Sebenarnya, ijazah Dani dibakar oleh mereka. Saat menganiaya, Dani.” 

“Ya Allah, kejam sekali mereka. Semoga kamu bisa jadi anak yang sukses. Mengapa kamu tidak cerita?” tanya Bapak sedih. 

“Takut, Bapak sedih dan kepikiran.” 

Bapak memelukku makin erat. Entah perasaan apa yang dirasa olehnya setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. 




Bersambung... 

Makasih yaa. Happy weekend