BAB 8
Dua minggu sudah berlalu, aku merasa sudah baikan. Ingin rasanya pergi ke luar rumah untuk menghirup udara segar. Sembari menyembuhkan luka hati dari kejadian tersebut. Sementara waktu, aku ingin hidup normal dulu tanpa banyak beban pikiran. Pada Bapak pun belum kuceritakan yang sebenarnya.
“Pak, Dani pagi ini mau keluar. Berkeliling sebentar.”
“Silakan, Dani.” Bapak berkata sambil menata lolipop dalam toples.
“Sekalian langsung mau kerja, Pak. Udah lama gak main ke taman juga.”
“Kalau kamu sudah merasa sehat betul, ya silakan saja. Bapak tidak melarang dan memang kamu butuh hiburan. Jalan-jalan saja,” pesannya.
“Iya, Pak. Dani paham.”
Pagi ini, kuawali hari dengan menikmati getirnya segelas kopi hitam. Ya, segelas kopi tanpa gula. Sama seperti hidupku yang hambar. Walau begitu tetap saja kunikmati setiap teguknya yang menghangatkan rongga perut. Apa yang salah dari segelas kopi tanpa gula? Tidak ada yang tahu rasanya selain pemilik kopi itu.
Dicampurkan dua sendok gula atau tidak, rupanya tetap sama. Hitam. Bukankah, lebih baik begitu? Terlihat manis walaupun pahit. Terlihat ceria walau hati terkoyak. Lebih sakit dari sekadar tertusuk sembilu.
Aku segera bersiap untuk pergi. Kebetulan ini hari minggu, jalanan lumayan ramai. Kupilih baju badut berwarna merah dengan motif bulatan-bulatan kecil putih. Tangan ini menggapai sebuah wig rambut badut berwarna-warni. Merah, kuning, hijau, dan ungu. Sempurna untuk hari weekend.
Lama kutatap wajah di cermin kamar. Cermin ini memang besar, bisa memantulkan visual diri dari ujung kaki sampai kepala. Seharusnya, cermin ini lebih pantas dipakai oleh para model majalah. Bukan badut sepertiku. Seandainya cermin ini bisa berbicara, pasti ia sudah mengumpat nasibnya setiap hari.
Setelah berpamitan pada Bapak. Segera kukayuh sepeda tua ini. Menghirup udara pagi yang segar. Melewati pinggiran jalan kota ini yang banyak ditumbuhi pepohonan yang terawat. Ya, di kota kecil inilah aku dilahirkan dan dibesarkan.
Terlihat jelas bagaimana seorang anak kecil digendong ibunya. Aku jadi penasaran apa rasanya dimanjakan oleh seorang ibu? Aku tak pernah berjumpa ibu. Hanya melihatnya dalam selembar foto usang hitam putih. Menatapnya penuh kerinduan. Semoga ibu tenang di alam sana.
Tadi malam hujan deras disertai angin menderu-deru. Itulah sebab mengapa banyak lagi daun yang gugur pagi ini. Bukan salah daun tidak mampu mempertahankan dirinya pada ranting. Bukan pula salah angin yang memaksanya gugur. Namun, takdirnya setiap daun akan berpisah dari ranting.
Seberkas cahaya matahari pagi menghangatkan kota kecil ini. Sudah hukum alam, tak akan selalu turun hujan. Hari ini pasti cerah setelah hujan angin semalaman. Perlahan, bias cahaya mentari akan menghapus sisa-sisa genangan air pada jalanan. Lalu, apa kabar dengan kenangan?
Di taman sudah mulai ramai. Anak-anak kecil bermain bersama orang tuanya. Rambutnya tampak halus dibelai angin pagi yang ramah. Aku duduk di bangku sendirian. Menatapi kebahagiaan anak-anak berlarian sambil sesekali mendekatiku.
Seorang bocah perempuan yang kutaksir berumur lima tahun datang. Gelak tawanya begitu menghibur.
“Bang badut sudah lama tidak datang. Ke mana saja?” tanyanya sambil memegang tali balon terbang.
“Abang sakit, tapi sekarang sudah sembuh.”
“Oh. Bang, minta permen,” pintanya.
Anak-anak selalu tahu kalau ada permen dalam kantong baju seorang badut. Menggemaskan. Kukeluarkan sebuah lolipop untuknya. Diterimanya dengan riang, sebelum fokus gadis kecil ini beralih ke sebelah kanan bangku. Ada beberapa kuntum bunga matahari yang mekar indah.
Diletakkannya balon terbang dan lolipop itu di atas bangku. Tepat di samping tubuhku. Ia lantas menggoyangkan batang bunga matahari. Nampaknya ia hendak mengambil bunga itu untuk mainannya.
“Hai, Adik kecil. Apa yang kamu lakukan?”
“Mau ambil bunga itu, Bang. Bagus, buat main masak-masakan nanti.”
“Kamu sayang sama bunganya apa enggak?” tanyaku.
“Sayang, Bang.”
“Kalau sayang, jangan diambil. Biarkan dia hidup, ya? Gantinya ini lolipop satu lagi,” ujarku sambil menyodorkan sebuah permen lagi.
Entah paham atau tidak maksudku, ia langsung mengangguk. Diambilnya permen dan balonnya. Gadis kecil itu pun pergi menghampiri mamanya yang melambaikan tangan di sana.
Kalau kita hanya sekadar suka, ada kemungkinan hasrat untuk memiliki apa yang disukai. Ya, walaupun dengan cara yang menyakiti. Namun, jika memang sayang akan berbeda. Membiarkannya tumbuh sebagaimana seharusnya. Seperti bunga itu. Bukankah begitu?
Kutinggalkan sepeda sebentar. Aku ingin duduk di bawah pohon akasia besar di sana. Sudah lama rasanya tidak menyandarkan kepala pada pohon itu. Aku kaget, ternyata di sana sudah ada seorang gadis duduk di belakang pohon itu. Sambil membaca buku. Aku tidak mengenalnya.
Ia tak kalah kagetnya melihatku. Ia yang sedang konsentrasi membaca, akhirnya buyar. Ekspresi wajahnya lucu, bak kelinci yang terkejut. Rambutnya sebahu tertiup angin.
“Maaf, aku tidak tahu kalau ada orang. Aku akan pergi, Nona.”
Segera kuputar tubuh, berjalan kembali. Aku yang terbiasa sendiri pun merasa aneh, ada sesuatu yang terasa janggal. Ada yang mengikuti dari belakang. Ternyata gadis itu mengikuti langkahku. Mau apa dia?
“Hai, Nona. Apa yang kamu lakukan?”
Ia tak menjawab apa pun. Tangannya masih memeluk dua buah buku yang entah berjudul apa. Beberapa detik membalas tatapan, sejurus kemudian membuang muka ke arah bunga-bunga. Aneh.
Aku kembali melanjutkan berjalan. Kali ini sudah hampir sampai dekat bangku tadi. Aku ingin pergi ke rumah Kek Udin, mana tahu ada balon terbang yang bisa kubantu jualkan. Saat langkah ini terhenti, langkah gadis itu pun juga sama. Ia tepat di belakangku.
“Hai, Nona. Mengapa kamu terus mengikutiku?”
Ia tak menjawab. Lagi-lagi membuatku bingung. Apalagi saat ia kembali memasang wajah bak kelinci yang kaget. Lucu juga kalau diperhatikan.
“Apakah kamu perlu badut untuk pesta adikmu? Katakan saja jika iya. Jangan diam saja, Nona.”
Gadis berambut sebahu ini menengadahkan wajah menatap langit. Pura-pura tak melihat dan mendengarku. Bola matanya yang bulat itu memutar. Gadis ini sudah cukup dewasa untuk bersikap seperti anak-anak seperti ini.
Aku menatapnya heran. Apa untungnya bagi ia mengikuti seorang badut? Kutinggalkan saja wanita berbaju biru ini. Tidak jelas apa maksud dan tujuannya. Tak berkata apa pun juga saat ditanyai.
Sepeda kembali kukayuh. Ada yang berbeda, jadi lebih berat. Aku tahu ada seseorang naik di belakang. Sementara kubiarkan saja dulu. Pura-pura tidak tahu sambil memikirkan cara agar dia mau berbicara.
Ketika kami sudah menempuh perjalanan beberapa menit. Ada hasrat untuk kembali menanyai lagi. Kuhentikan sepeda tepat di seberang jalan. Ada pohon mahoni tua.
“Nona, aku tahu kamu ada di belakang. Mengapa mengikuti? Ada keperluan apa?” tanyaku masih di atas sepeda.
Ia tidak turun, juga tidak berkata sepatah kata pun. Diam. Aku langsung turun dari sepeda, ia pun mengikuti turun.
“Nona, berhentilah mengikutiku!” Ucapanku kali ini memang agak sedikit keras.
Ia kaget. Bahunya sedikit terangkat sambil menaikkan sebelah alis hitamnya yang lebat. Setelah berkali-kali sempat bertatap wajah. Satu hal pun kusadari kalau gadis ini cantik.
Seolah menyiratkan rasa kecewa, ia langsung membalik badan dan pergi meninggalkanku. Apakah ucapanku barusan menyinggungnya? Dengan kepala menggeleng aku teringat suatu istilah tentang bagaimana wanita yang sulit dipahami.
Bersambung...
Jangan lupa subscribe dan baca juga ceritaku yang lain yaa.