BAB 9
BAB 9


Aku kembali melajukan sepeda ke rumah Kek Udin. Deretan rumah papan dalam gang kecil. Jalannya becek kalau hujan, berlumpur. Untungnya sisa air sudah kering karena cuaca bagus. Panas sempurna. 

Di depan rumahnya, Kek Udin duduk bersama sang istri. Membuat sapu lidi dari lidi batang kelapa. Kakinya ia rentangkan sambil mengikat lidi yang sudah diraut. Ia memaksakan diri untuk tetap bekerja. Di sampingnya Nek Inem menemani dengan setia. 

“Assalamualaikum, Kek, Nek.” Aku menyapa sambil menurunkan standar sepeda. 

Mereka berdua semringah melihatku. Bagaikan melihat anak sendiri. Apa mungkin karena anaknya tak pernah datang? Jadi, akulah sang pelipur lara mereka. Wajah tegar Kek Udin makin banyak kerutan. Termakan usia. 

“Waalaikumsalam. Dani, kamu datang?” ucap Nek Inem riang. 

“Iya, Nek. Ini Dani.” 

“Panjang umur kamu, barusan kami bahas kamu. Nenekmu mau titip belikan ayam goreng di tempat si Iyem. Soalnya, kacamata Nenek lupa di mana dia menyimpannya. Nanti kalau pulang beliin, ya. Ini uangnya,” kata Kek Udin sembari menyodorkan uang sepuluh ribu. 

“Tidak usah, Kek. Uangnya simpan saja buat Kakek. Nanti aku yang beliin ayam gorengnya, alhamdulillah rezeki ada,” tolakku halus. 

Lagian, siapa pula yang tega mengambil uang dari Kek Udin. Mereka sudah renta, wajib dibantu. Hanya sekadar ayam goreng aku masih mampu membelikan. Kakek dan Nenek wajar mendapatkan itu. 

“Ambil, Dan. Kan, kami titip. Nenek malu merepotkan kamu terus.” 

“Tidak, Nek. Hanya ayam goreng, Dani masih mampu.” 

Mata mereka berkaca-kaca. Bukan tentang ayam goreng, tapi kerinduan akan hadirnya anak di tengah-tengah mereka. Entah sudah berapa lama aku tak pernah melihat Mbak Aida dan Mas Ambar datang. Setelah menikah, mereka tak pernah datang lagi. Bagaimana dua anak itu bisa melupakan orang tuanya? 

“Baik, terima kasih. Terima kasih banyak, Dani.” 

“Iya, Nek. Oh, iya ada balon? Nanti mau aku jualkan hari minggu taman ramai sekali. Apalagi nanti sore,” tanyaku sembari tersenyum. 

Kek Udin menghentikan aktivitasnya. Ditatapnya wajahku lamat-lamat. Ia tergelak pelan, sampai menampakkan deretan giginya yang sudah ompong. 

“Ada, Dani. Di dalam, sudah dipompa angin. Ada dua puluh balon terbang, bawa saja. Balikin aja modalnya, satu balon lima ribu. Kaki Kakek sakit, tidak bisa keliling,” ucapnya serius. 

“Sebentar, Nenek ambilkan,” timpal Nenek sambil berjalan masuk ke dalam. 

“Tidak usah, Kek. Dani hanya ingin membantu menjualkan saja, tidak untuk bisnis.” 

“Lah, tidak apa-apa. Kamu sudah mau membantu menjual saja, kami sudah berterima kasih sekali. Karena, modal beli balon belum dibayarkan ke toko. Semoga balonnya laris,” jelas Kek Udin. 

Mendengar penjelasannya, aku jadi makin tidak tega. Mana mungkin tega mengambil keuntungan dari orang yang sedang kesusahan? Aku hanya ingin membantu menjual saja, tidak untuk mengambil keuntungan. Ada rasa bahagia yang berbeda saat bisa bermanfaat untuk orang lain. 

“Ini balonnya, sudah rapi dan terikat. Untung tadi Nenek sudah selesai mengikatnya dengan batu masing-masing.” Nek Inem membawa balon itu di hadapanku. 

“Dani bantu jualkan saja, Nek. Ini balonnya tak bawa dulu, doakan semoga habis,” ucapku berpamitan. 

“Terima kasih sekali, Nak Dani. Semoga laris, hati-hati di jalan.”

“Jangan lupa, Dan. Ayam goreng untuk nenekmu, nanti dia sawan udah pengen makan ayam goreng,” canda Kakek sambil tertawa kecil. 

Nenek jadi tampak malu, dilemparkannya senyum pada kami. Tentu saja, aku tidak akan lupa. Pulang nanti aku akan membelikan ayam goreng untuk mereka dan juga untuk Bapak. 

Kutinggalkan rumah Kek Udin dan istrinya. Kembali kukayuh sepeda tua ini, walaupun sepeda lama tapi awet dan jarang rusak. Salah satu hal yang patut disyukuri. 

Aku kembali ke taman. Duduk di bawah pohon. Menunggu hari sore, biasanya anak-anak datang lagi. Pagi tadi, mereka hanya maraton bersama orang tuanya. Sekarang mereka sudah kembali pulang. 

Tengah hari, kubuka bekal nasi yang dibawa dari rumah tadi. Ya, setiap hari selalu membawa bekal agar tidak lapar. Nasi dan tempe goreng. Ada juga sambal kemangi. Nikmat sekali rasanya. 

Seusai makan, aku ke kamar mandi taman untuk mencuci tangan. Jaraknya dari pohon ini agak jauh memang, karena taman ini cukup luas. Kuharap, seluas hatiku dalam menjalani cobaan hidup. 

Saat kembali ke pohon, aku kaget bukan kepalang. Semua balon sudah hilang, tinggal benangnya lagi yang tersisa. Ke mana perginya semua balon itu? Seketika panik menyergap. Ada rasa bersalah pada Kek Udin dan Nek Inem. Bagaimana aku bisa membeli ayam goreng? 

Kutengadahkan kepala ke atas langit. Wah! Balonnya terbang semua. Siapa yang tega berbuat jahat begini? Darahku mendidih sambil membayangkan wajah Kek Udin. Taman ini masih sepi, nanti akan mulai ramai lagi dari jam dua siang. Siapa pelakunya? 

“Baaa!” ucap seseorang mengagetkanku dari belakang. Itu Refan. 

“Hahaha, balon kamu hilang, iya? Rasain!” kata Refan sambil mencebik. 

“Jangan-jangan ini semua ulah kamu!” tuduhku yakin. Siapa yang tega selain dia? 

“Sabar, Bro! Bukan gue. Jangan asal nuduh lu badut jelek. Semua ini salah gunting hitam ini. Pelakunya adalah ....” 

Refan bertepuk tangan tiga kali. Lalu, dari balik pohon keluar seorang gadis yang amat kukenali. Dia Salma. Penampilannya tampak kian vulgar, tidak seperti dulu lagi. 

“Sa—salma!” ucapku terbata-bata karena tidak percaya. 

Apakah mungkin dia yang melakukan ini semua? Balon terbang Kek Udin makin jauh tinggi terbawa angin. Aku takkan bisa menggapainya, bahkan jika kunaiki pohon akasia ini. 

“Iya, aku yang sengaja gunting benang balon itu. Hahaha,” aku Salma padaku. 

Wajahnya sangat menampakkan kebencian yang nyata. Entah apa yang ada dalam pikirannya, sampai tega melakukan ini padaku. Salma sudah berubah, hatinya keras bak batu karang. 

“Tega kamu, tidak cukupkah semua yang kamu lakukan? Menyakiti hatiku dan Bapak? Sadar, Salma.” 

“Kamu yang sadar! Mana mungkin seorang gadis sepertiku pantas bersanding dengan orang miskin sepertimu. Bahkan, kamu sekarang tidak pantas untuk sekadar menatap wajahku!” Salma berkata angkuh. Tangannya dilipat di depan dada. 

Aku menelan ludah. Antara menahan sedih dan bahagia melihatnya sudah sembuh. Setidaknya, dia sudah baik-baik saja sekarang. Aku tak menjawab lagi ucapannya. Terlalu menyakitkan untuk sekadar dibalas. 

“Gak usah lihat Salma lama-lama bego!” bentak Refan tiba-tiba mengejutkan. 

“Kamu kurang ajar! Keterlaluan! Setelah apa yang sudah kamu lakukan padaku dua minggu yang lalu.” Aku maju beberapa langkah penuh emosi. 

Aku tak peduli lagi apa yang akan terjadi nanti. Rasa kesal ini sudah sangat tak bisa dipendam lagi. Refan tidak pantas disebut seorang mahasiswa dengan kelakuannya yang bejat itu. Menyiksa kucing dan menjual bulunya demi miras. Otaknya sudah rusak oleh aliran setan. 

“Lu yang salah! Siapa suruh ganggu gue dan Geri,” ucapnya sambil melangkah maju. Tangannya mengacung angkuh. 

Kuhadiahkan sebuah bogem mentah di wajahnya. Ia beringsut mundur dan terjerembab. Rasa sakit yang dirasakannya tidaklah sebanding dengan kejahatannya selama ini. Salma membantunya berdiri. Aku memalingkan wajah. Darah terasa mendidih. 

“Awas lu! Gue akan balas lain waktu!” ancam Refan sambil memegang pipinya. 

“Udah miskin, belagu! Awas kamu. Tunggu pembalasan dari pacarku,” sambung Salma. 

Mereka pun pergi tanpa melakukan perlawanan yang berarti. Akan tetapi, aku kepikiran tentang ancaman Refan. Lelaki itu jahat dan nekat. 



Bersambung... 

Ayoo siapa yang rajin baca tapi lupa subscribe? Yuk klik dulu tombol sub nya. Biar dapat notif setiap kali saya up bab baru. Kita kawal Dani sampai sukses yaaa.