BAB 7
BAB 7




Perlahan kubuka mata. Ini adalah kamarku. Rasa sakit di sekujur badan tak terperi. Ngilu. Di sampingku ada Bapak dan Ica. Mengapa gadis kecil ini ada di rumah? 

“Kamu sadar, Dan? Alhamdulillah,” ucap Bapak senang. 

“Bang badut, makasih udah nolongin kucing Ica. Bentar, Ica panggil Mama di luar,” ujar Ica sambil keluar kamarku. 

Siapa yang membawaku pulang ke rumah? Seingatku tadi masih berbaring di hutan kecil itu sambil mendekap abu ijazah. 

“Tadi, kamu pingsan di hutan kecil gang rumah Ica. Warga di sana yang membawa kamu pulang. Ambil ijazah, kok lama sekali.” 

“Iya, Pak. Tadinya aku menolong kucing anak itu.” Aku menyentuh kepala yang ngilu. 

“Ya sudah istirahat dulu. Nanti sore jangan lupa minum obat, tadi mamanya Ica yang membawa bidan ke rumah untuk memeriksa keadaanmu,” ucap Bapak sambil mengompres wajahku yang terasa memar. 

Aku hanya diam. Sedang tak ingin banyak berbicara dulu. Bayangan kejadian nahas itu terulang kembali. Apa hendak dikata, semua sudah terjadi. Apa pun itu, aku tetap bersyukur. Setidaknya jiwa ini masih selamat. Pun nyawa kucing milik Ica. 

“Sudah sadar, Bang badut?” Mamanya Ica menanyai. 

Aku hanya mengangguk pelan. 

“Terima kasih banyak sudah membantu kucing Ica, ya. Memang akhir ini marak sekali kehilangan kucing,” sambungnya. 

“Terima kasih sudah mengobatiku, mamanya Ica.”

“Seharusnya saya yang minta maaf, karena sudah merepotkan. Saya kaget tiba-tiba Ica datang ke dapur dan menceritakan semuanya. Syukurlah kamu selamat.” 

“Iya, alhamdulillah anak saya selamat,” sahut Bapak. 

“Maaf tidak bisa lama, kami harus pulang. Papanya Ica sebentar lagi pulang kantor. Ini ada sedikit uang untuk lanjutan pengobatan anaknya, Pak. Mohon diterima dan terima kasih sekali.” Mamanya Ica mengeluarkan uang ratusan ribu beberapa lembar dan diletakkannya di atas meja. 

“Baiklah, kami terima. Minta doanya agar Dani bisa segera sembuh,” pinta Bapak penuh harap.

“Tentu saja, Pak. Selalu akan saya doakan. Kalau seandainya nanti ada kabar tentang siapa yang menganiaya Dani, kabarkan segera. Akan kita laporkan ke polisi.”

“Tentu, akan kami kabarkan.”

“Kalau begitu kami permisi. Assalamualaikum,” pamit mamanya Ica. 

“Ica pulang. Dadah, Bang badut.” Gadis kecil itu melambaikan tangannya. 

Bapak ikut keluar untuk mengantarkan mereka sampai pintu. Kuambil napas berat dan panjang. Mungkin sudah takdirnya begini. Tak mengapa, aku akan tetap menjalani hidup seperti biasanya. Jadi badut bukan sesuatu yang buruk. Bahkan, semua orang mengenaliku dan Bapak karena profesi itu. 

Kuambil foto yang terpajang di dinding. Foto lama bersama teman-teman sekolah. Setiap kali menatap, selalu ada kerinduan yang menjalar hingga rongga dada. Waktu memang tak bisa dikembalikan. Kenangan tidak bisa dipaksa terulang, tapi ingatan itu tak akan pernah hilang. 

Menikmati sakitnya kerinduan, tak sesakit luka di badan. Pernah, kusesali jalan hidup ini. Namun, tidak ada gunanya. Tuhan memercayakan takdir ini untukku. Karena Ia tahu aku kuat, aku bisa. Entah sudah berapa lama diri ini masuk dalam kenangan. 

Suara rintik hujan terdengar dari atap. Hujan turun dengan derasnya. Dari jendela tanpa gorden ini dapat terlihat jelas bagaimana rinai-nya basahi dedaunan. Kutatap lamat-lamat, sejuk. Meskipun tak mampu meredam kesedihan jiwa. 

Dulu, di bawah pohon jambu itu ada anak kecil duduk bermain ayunan. Bocah lelaki yang masih SD. Ya, itu adalah aku. Saat sore hari ditemani main oleh Bapak. Lelaki itu masih muda kala itu, belum jelas kerutan di wajahnya. 

Di suatu senja yang indah. Langit bermandikan cahaya jingga. Senja yang kini kurindukan setelah sekian purnama. Kala Bapak masih sempurna fisiknya. 

“Pak, kalau sudah besar nanti aku mau kuliah. Mau jadi orang kaya, biar Bapak senang.” 

“Iya, Nak. Bapak selalu mendoakan kamu sukses dan jadi orang kaya. Jangan kayak Bapak, cuma jadi badut,” ucapnya sambil terus mendorong ayunan. 

“Dani mau sekolah tinggi. Biar Bapak bisa naik haji kayak Pak Ustaz Zain.” 

Ustaz Zain adalah guru mengaji kami. Beliau mengajar di mesjid. Dia sudah naik haji, orangnya baik sekali. Namun, sayang seribu sayang umurnya tidak panjang. Ketika aku masuk sekolah SMP beliau meninggal. 

Ada istilah, orang baik cepat meninggal. Mengapa begitu? Mungkin, karena Tuhan tidak sabar untuk memeluknya dalam surga. Sekarang, Ustaz Zain sudah duduk manis di tepi telaga surga. 

Seandainya, aku punya mesin waktu. Ingin sekali rasanya kembali jadi anak kecil. Saat di mana Bapak masih muda dan kekar. Dewasa bukan pilihan, tapi hukum alam. Selayaknya sebatang pohon, makin tahun makin membesar. Lalu, menemui takdirnya, mati sendiri atau ditebang manusia. 

Bapak kini sudah kian menua. Mata yang dulu terang, kini mulai memudar. Tubuhnya yang dulu tegap, sudah mulai membungkuk. Keriput wajahnya tampak jelas. Rambut hitamnya kini sudah mulai memutih. Bukti nyata kalau beliau sudah berhasil membuatku dewasa. 

Bapak adalah seseorang yang rela menebas separuh umurnya untuk menafkahi anaknya. Tak perduli hujan dan panas. Bahkan petir sekalipun, ia tetap tak pernah berhenti memperjuangkan hidupku. Sedari dulu sampai saat ini, Bapak adalah malaikatku. 

Hatiku hancur saat mengingat kembali kejadian itu. Di saat aku dikejar anjing saat masih kecil. Bapak menggendong dan menyuruhku naik ke atas pohon. Akhirnya, anjing itu menggigit kaki Bapak. Diri ini yang masih kecil selamat di atas pohon. 

Di tempat Bapak berdiri banyak bebatuan licin. Dapat kulihat jelas ekspresi Bapak saat digigit anjing. Tak ada teriakan sedikitpun. Hanya saja mata indah itu sempat terpejam menahan sakit. Saat anjing itu sudah dipukuli warga, Bapak terpeleset dan di saat bersamaan ranting kayu dari pohon yang setengah mati pun jatuh. 

Kakinya tertimpa patahan kayu. Itulah sejarah mengapa kaki Bapak jadi agak cacat. Beliau berjalan kesusahan, kakinya pincang sampai sekarang. Seringkali dulu, anak-anak menghina beliau. Mengatakan kalau Bapak adalah badut pincang. 

Aku yang tidak terima langsung berontak dan melawan. Saat di sekolah sering berantem sama teman demi membela Bapak. Tak jarang, pulang dengan keadaan bonyok. Sudah terbiasa. 

Bapak datang masuk kamar dengan kaki pincangnya. Senyumnya mengembang sempurna, lambang menguatkan jiwaku yang rapuh. Tubuhnya makin ringkih termakan usia. Namun, semangatnya tetap membara. Seseorang yang selalu berpikir positif dan jarang bisa disakiti hatinya oleh orang. 

“Bapaaaaak,” panggilku sambil bangkit memeluknya dengan sisa tenaga yang ada. Air mata langsung tertumpah ruah. 

“Ada apa, Nak? Jangan nangis. Bapak ada buat kamu,” sahutnya sambil membalas pelukanku. 

Kutumpahkan semua kesedihan di bahunya. Bahu ternyaman sedunia. Menghangatkan jiwa. 

“Maafkan Dani, Pak. Belum bisa membahagiakan Bapak.”

“Apalagi yang kita cari? Bapak sudah sangat bahagia.” Ucapan Bapak membuat air mata kembali turun. 

Di tengah derasnya hujan kupeluk Bapak. Hujan kali ini terasa berbeda. Penuh keheningan dalam masa lalu. 




Bersambung... 

Jangan lupa klik tombol subscribe ya. Makasih.