BAB 4
BAB 4



Subuh ini, aku merasa tidak enak badan. Tangan kiri bekas tusukan jarum berwarna biru kehijauan. Membengkak dan ngilu. Aku harus kuat demi Bapak. Kuambil semangkuk kecil air hangat, dengan kain kecil kukompres tangan ini agar tidak terlalu membengkak. Rasanya lebih enakan, ngilunya agak berkurang.

Aku beruntung, kami punya stok baju badut lumayan banyak. Jadi, tidak pusing jika mau pergi setiap hari. Baju badut adalah modal awal agar bisa mencari nafkah, walaupun terkena hujan dan keringat masih ada baju badut yang lain. 

“Tangan kamu kenapa, kok dikompres?” tanya Bapak heran. 

“Tidak apa-apa, Pak. Kayaknya ada digigit serangga atau kumbang tadi malam,” jawabku berbohong. Jangan sampai Bapak tahu kejadian sebenarnya. Ini semua terlalu cepat. 

“Makanya kalau sebelum tidur pakai autan dulu, kasihan kamu.”

“Enggak, Pak. Ini sebentar lagi sembuh.”

“Kamu agak pucat, Dan. Istirahat saja, ya? Bapak sudah sehat, mau kerja lagi.”

Bapak menyiapkan baju badut untuk ia pakai. Aku menarik baju itu dari tangannya. Keinginanku Bapak tidak usah bekerja lagi, cukup aku saja. 

“Bapak di rumah aja, Dani yang kerja.”

“Bapak sudah terbiasa kerja. Biarkan, ya? Tidak jauh, hanya ke TK mumpung masih pagi. Biasanya anak-anak senang jika Bapak ajarkan bernyanyi,” ucap Bapak meyakinkan. 

Memang TK yang tak jauh dari rumah kami sering meminta Bapak datang untuk menemani anak-anak belajar. Kedatangan Bapak disambut antusias dan mereka akhirnya jadi rajin menulis. 

“Baiklah, Pak.” Aku tak punya alasan untuk melarangnya, Bapak memang sangat mencintai anak-anak. Para bocah adalah hiburan terbaiknya. 

Maafkan aku, Pak. Nanti ada masanya di mana Bapak tidak perlu lagi bekerja. Aku yang akan berubah profesi dan berjanji untuk membahagiakan Bapak. Maafkan selama ini anakmu hanya jadi beban, seorang manusia bodoh. Ya, abang badut yang bodoh itulah aku. 

***

Sudah jam tiga, taman masih sepi. Tidak ada anak-anak yang main, biasanya ramai mereka datang. Saat itulah aku menghibur mereka dan jadi pusat perhatian. Suara gelak tawa anak-anak kecil itu menggemaskan. Seorang badut penghibur sepertiku kadang juga butuh hiburan untuk diri sendiri. 

Inilah indahnya hidup. Bahagiaku cukup sederhana sekali. Saat mampu membuat orang lain tertawa, itulah hiburan untuk hatiku. Tak perlu sesuatu yang mewah, sederhana asal bermakna. Bahagia mereka adalah bahagiaku juga. Abang badut, itu panggilan familiar untukku. 

“Abang badut, kok melamun?” tegur seorang pria paruh baya. 

“Taman sepi, Om.”

“Kalau cari barang bekas mau? Nanti barangnya setor ke gudang saya. Tahu, kan gudang penampungan sampah besar di ujung sana?” jelasnya sambil menunjuk arah. 

Jadi abang barbek? Hm, baiklah. Setelah jadi abang badut, sekarang merangkap jadi abang barbek. Cara mencari uang dengan jalan apa saja yang penting halal dan berkah. Dari dulu lelaki ini sering menawarkan, tapi kutolak halus. Kebetulan taman sepi. Apa salahnya mencoba? 

“Baiklah, jika taman sepi aku bisa mulung. Kalau ramai, aku lebih suka jadi badut,” ungkapku jujur. Karena tak mau terikat jadi tukang mulung sampah setiap hari. 

“Tak masalah. Kapanpun kamu ada barang bekas dan sampah yang bisa didaur ulang datang saja. Mumpung harga lagi naik.” Lelaki berkumis ini tampak antusias. Tak lama kemudian, ia pamit undur diri. 

Tanpa pikir panjang, aku membuka baju badut dalam WC taman. Baju itu disimpan dalam plastik dan aku pergi kembali bersepeda. Mengitari setiap sudut kota ini mencari barang bekas. Kota dengan seribu kenangan. 

Aku memunguti koran dan kardus bekas yang berserakan di pinggir trotoar. Lumayan banyak, juga ada botol plastik dan beberapa paku berkarat. Inilah nasibku sekarang, pemulung sampah. Bukan pemulung cinta. 

“Bang badut! Abang.” Ada suara memanggil. 

Dari logatnya aku tahu itu suara Oki. Padahal aku tak sedang memakai baju badut, hanya saja orang sudah hafal denganku. Apa mungkin karena riasan wajah badut ini yang lupa kuhapus? 

“Hai, Oki! Mau ke mana kamu?” sapaku ramah. Rupanya ia dan mamanya sengaja menghentikan motornya saat melihatku. 

“Baru pulang beli jajan,” jawabnya sambil menunjuk aneka jajanan yang ia dan mamanya bawa. 

“Ikut kami ke rumah, Bang. Saya banyak barang bekas. Ambil saja buat Abang badut, ya,” tawar mamanya Oki yang kuketahui bernama Mbak Ayu. Tentu saja aku tahu, apa yang tidak diketahui seorang badut keliling? 

“Alhamdulillah, terima kasih. Aku mau, Mbak.”

“Ayo, Bang. Kejar Oki dan Mama,” canda Oki. Anak kelas satu SD yang imut. 

Aku pun ikut Oki pulang ke rumahnya. Mereka naik motor dan aku dengan sepeda tua ini. Tentu saja mereka sampai duluan. 

“Itu ambil saja, Bang. Di belakang rumah banyak sekali kardus bekas, tidak usah dibayar. Gratis,” kata Mbak Ayu. 

Mataku berbinar mendengarkan ucapannya. Semoga keluarga Oki diberkahi dan selalu sehat. Doa yang diucapkan diam-diam biasanya terkabul. Oki mengekor saat melihatku mulai memunguti kardus bekas. Bocah cilik ini membantu dengan senang. Sesekali ia mengejar kumbang yang terbang. 

“Aku pulang, Mbak. Ini sudah banyak kardusnya, dibantu Oki juga tadi.” Aku pamit karena sudah merasa cukup. 

Beberapa menit aku menunggu, akhirnya Mbak Ayu pun keluar dari pintu dapur. Di tangannya ada bungkusan putih yang entah apa isinya. 

“Ini ada ayam goreng untuk di rumah nanti, tolong diterima,” ucap Mbak Ayu sambil menyodorkan plastik padaku. 

Aku masih diam mematung. Tidak semua orang itu jahat, tidak semua orang menghinaku. Rupanya masih ada orang-orang baik bertebaran di muka bumi, walaupun jumlahnya tak sebanyak para penghina. 

“Abang badut, kok bengong?” Oki yang melihatku diam pun langsung menyambar plastik dari tangan mamanya. 

“Ini ayam goreng buatan Mama, Bang. Enak banget, cobain!” ucapnya sambil menyodorkan plastik itu. Oki dengan girangnya menatapku. 

Untungnya kami tadi sudah mencuci tangan setelah memilah kardus bekas. Di belakang rumah Oki ada selang air. Tanganku sudah bersih. 

“Aku tidak bisa berkata apa-apa, Mbak. Terima kasih banyak atas kebaikannya.”

“Tak masalah, Bang badut. Semua manusia itu sama di mata Tuhan. Manusia paling baik adalah yang paling banyak amalnya, bukankah begitu?” Mbak Ayu mengembangkan senyum. 

Aku tak menjawab, hanya mengangguk pertanda setuju. Aku pun undur diri dan langsung menuju gudang penampungan sampah. Banyak sekali aneka macam sampah yang dipisahkan sesuai jenisnya. Hasil mulung tadi ditimbang oleh penjaga gudang. Alhamdulillah, uangnya cukup banyak untuk hari ini. 

Sebelum pergi, kutatap lagi sampah yang menggunung itu. Sampah jika didaur ulang bisa kembali bermanfaat lagi. Bernilai. Namun, adakah tempat daur ulang hati yang terluka? Agar tak terasa lagi pedihnya. Aku ingin kembali merasakan kenyamanan tanpa beban dan kenangan. 

***

“Assalamualaikum, Bapak.” 

“Waalaikumsalam, alhamdulillah kamu sudah pulang.”

“Pak, ini ada ayam goreng untuk kita. Dani mandi dulu, Bapak tunggu sebentar,” ucapku sambil menyerahkan bungkusan ayam goreng dari mamanya Oki. 

Mata Bapak berbinar menatap bungkusan itu. Senyumnya mengembang sempurna, senyum itu selalu ingin kulihat setiap waktu. Beliau mangut-mangut. Saat mandi aku berharap semoga Bapak tidak bertanya tentang Salma lagi. Gemuruh pecah dalam dada. 

“Ayo, Pak. Kita makan,” ajakku sambil menyiapkan piring. 

Kami jarang membeli nasi di luar, hanya sesekali jika sedang kehabisan beras atau terlalu kelelahan bekerja seharian. Kami terbiasa memasak nasi di rumah, untuk lauknya lebih sering beli di warung Bu Iyem walaupun hanya sayur lima ribuan. Bu Iyem baik, tak jarang ia memberikan kelebihan dari dagangannya. 

“Kamu tadi ketemu Salma? Pasti ayam goreng ini dari dia, kan?” tanya Bapak dengan nada menggoda. 

Deg! Hatiku tersentak. Sakit. 

“Tidak, Pak. Itu dari mamanya Oki. Rumahnya yang bagus itu, di depan sana tak jauh dari perempatan jalan.” 

“Oh, iya tahu. Memang baik keluarga itu. Waktu Oki TK sering ketemu Bapak. Dia pasti hafal wajah tua ini,” ucap Bapak bersemangat. 

Untuk menghindari obrolan lagi, kuletakkan nasi di piring Bapak. Semoga saja beliau tak lagi membahas Salma. Dada ini ngilu setiap kali nama itu disebut Bapak. Berbeda jika aku yang mengingatnya sendiri. Jauh lebih sakit saat melihat Bapak yang belum tahu kejahatan gadis itu. 

“Bapak makan yang banyak, yang kenyang,” ujarku sambil meletakkan ayam goreng di piringnya. Aku berusaha tertawa kecil. 

“Iya, dong. Bapak pasti makan lahap. Ayam goreng adalah makanan favorit. Eh, ayam goreng dari Salma kemarin mana? Kamu habiskan semua, ya? Bapak cari tidak ada lagi.” Setelah bertanya, Bapak langsung makan ayam goreng itu dengan penuh semangat. 

Tanganku sempat terhenti saat menuangkan air minum. Bagaimana harus dijelaskan? Tidak mungkin berkata saat ini. Kenyataan itu pasti akan sangat menyakiti Bapak. Tak terbayang bagaimana hancurnya hati Bapak jika tahu kejadian aslinya. Aku tak sanggup membayangkan.

“Iya, Pak. Aku habiskan semua. Bapak makan duluan, ya? Aku sakit perut mau ke belakang sebentar.”

Aku berdiam diri di belakang dinding kamar. Menempelkan punggung pada semen kasar tanpa diwarnai itu. Mataku terasa panas, napas tercekat. Seandainya Bapak tahu, itu bukan ayam goreng biasa. Itu adalah bangkai ayam goreng. Luka dalam dada kembali terkoyak. Kejadian menyedihkan itu kembali terulang dalam memori. 

Sabarlah, Pak. Aku sedang berpikir bagaimana caranya agar bisa menebus ijazah sekolah. Semoga kehidupan kita bisa berubah. Hanya Bapak yang akan kubahagiakan. Kita lupakan tentang gadis itu. Bukankah selalu ada pelangi sesudah hujan? 



Bersambung...