BAB 11
BAB 11



Otakku sangat kacau. Bapak pergi ke mana? Berbagai pikiran buruk pun menghampiri diri. Jantung berdebar tak karuan. Akhirnya, aku pergi ke rumah para tetangga untuk menanyai keberadaan Bapak. Mana tahu mereka ada yang di mana Bapak. 

“Permisi, apakah ada melihat bapakku?”

“Tidak, Dani. Hanya saja tadi saya lihat beliau masih ada di rumah. Mungkin barusan pergi,” jawab Bu Entin. 

“Makasih, Bu. Kalau begitu aku permisi dulu,” pamitku. 

Duh, Bapak mana. Aku kembali terus mencari di sekeliling lingkungan rumah. Jawabannya tetap sama, tidak ada yang lihat Bapak. Dalam kebingungan, dari jauh sana kulihat seseorang berjalan tertatih-tatih. Bapak turun dari becak. Alhamdulillah, jiwaku lega. 

Bapak tersenyum dari sana sambil melambaikan tangannya. Wajahnya tampak sangat bahagia. 

“Dani, itu bapakmu,” tegur seseorang. 

“Iya Bi. Itu Bapak, dia sudah pulang,” sahutku senang. 

“Bapak dari mana? Dani khawatir.”

“Bapak ada urusan sebentar tadi, Dan.” 

Kami pun berjalan beriringan pulang. Memangnya urusan apa? Aku jadi penasaran.

“Pak, Dani dapat job jadi badut pesta ulang tahun malam ini,” ucapku ceria. 

“Benarkah? Alhamdulillah kalau begitu. Cepat kita pulang dan makan. Kamu, kan mau pergi kerja lagi nanti,” ajak Bapak bersemangat. Wajahnya meneduhkan. 

Aku mengangguk sambil berkata, “Iya, Pak. Dani tadi juga membelikan ayam goreng untuk Bapak. Kita makan sama-sama, ya.”

“Wah, ada ayam goreng rupanya. Bapak suka sekali. Ayo, percepat langkah kita.”

Bapak memang sangat suka sekali ayam goreng. Senyumku mengembang melihat binar dari matanya itu. Mata itu yang selalu membuatku bahagia. Menghapus lelah mendera tubuh. 

Kami pun masuk rumah. Setelah selesai mandi, aku makan bersama Bapak. Satu porsi isinya dua ayam goreng dan sambal. Kami dapat jatah makan masing-masing satu ayam goreng. 

“Ini, Pak. Ayam gorengnya untuk Bapak saja, Dani sedang tidak berselera.” Kuletakkan ayam goreng itu dalam piring beliau. 

“Tidak usah, Nak. Makanlah, kita makan bersama,” tolaknya halus. 

“Ambillah, Pak. Dani nanti juga pasti makan di pesta ulang tahun. Ayam ini untuk Bapak saja,” ucapku yakin. 

Bapak menatapku lamat-lamat. Ada keharuan di dalam sana. Diambilnya ayam goreng itu. 

“Baiklah kalau begitu,” sahutnya. 

***

Setelah magrib, aku sudah bersiap untuk menuju rumah ponakan Mbak Ayu. Dengan baju badut khusus pesta ulang tahun, aku tampak benar-benar lucu dan konyol. Pasti semua anak-anak akan menyukaiku malam ini. 

“Pak, Dani berangkat,” pamitku sambil mencium punggung tangannya. 

“Hati-hati, Nak.” Bapak pun melepaskan kepergianku. 

Kukayuh sepeda tua ini. Malam ini terang karena disinari cahaya bulan. Malam yang indah. Kunikmati angin yang mendesau di setiap kayuhan sepeda. Pemandangan kerlip lampu jalanan tampak hangat. Pepohonan bergoyang tertiup angin. 

Apa pun itu, hanya satu harapanku. Semoga tidak turun hujan. Meskipun tubuh ini sudah kebal dengan cuaca alam. Akan tetapi, tetap saja aku hanyalah manusia biasa. Bisa sakit fisik dan juga bisa sakit hati. 

Alhamdulillah, tak terasa waktu berlalu. Akhirnya, aku sudah sampai di tempat tujuan. Di depan sudah terlihat pesta ini akan meriah. Ulang tahun anak kelas satu SMP. Sudah naik remaja, tapi masih tetap anak-anak. Wajar saja, masih suka badut. Orang dewasa saja kadang masih suka berfoto ria bersamaku. 

“Abang! Abang!” panggil Ica. 

“Iya, Ca. Abang datang.”

“Mama! Kakak! Abang badut sudah datang,” teriak Ica memanggil. 

Keluarlah mamanya Ica dan seorang anak yang sedang berulang tahun. Aku tahu dari baju yang ia kenakan. Mewah. 

“Abang, sini. Bantu pindahkan kue aku,” ajak anak perempuan yang aku belum tahu siapa namanya. 

“Eh, sudah datang. Selamat datang, Bang. Itu anak yang ulang tahun, namanya Tata.” Mamanya Ica memberitahu siapa nama gadis ini. 

Aku pun mengangguk. Jadi, namanya Tata. Nama yang lucu. Aku mengenal semua anak, tapi kadang tidak tahu namanya. Karena banyak sekali anak yang menyukaiku. 

Acara belum mulai, aku langsung membantu apa-apa saja yang belum siap. Setelah membantu memindahkan kue, aku menyusun balon yang tampak kurang selaras dipandang. 

Setengah jam kemudian, sudah ramai yang datang. Tamu anak-anak sudah memenuhi kursi yang sudah disediakan. Acara pun dimulai dan aku mengiringi acara dengan berbagai macam hiburan. Sorak sorai dari anak-anak membuatku merasa berharga di tempat ini. 

“Sulap, Bang. Sulap,” pinta Ica. 

Aku pun memulainya dengan senang hati. Seusai acara potong kue, memang masuk acara hiburan. Inti dari acara ini adalah aku sebagai badut penghibur. 

“Lagi, Bang. Lagi-lagi,” pinta anak-anak lain karena ketagihan dengan atraksiku. 

Di tengah kebahagiaan, aku terkejut. Karena tiba-tiba datang sepasang kekasih yang amat kukenali. Ya, Salma dan Refan. Mengapa bisa mereka datang di tempat ini? Ini acara anak-anak, bukan orang dewasa. 

“Bang, bolanya jatuh,” ucap Tata sambil mengembalikan bola plastik mini padaku. 

“Eh, iya. Makasih, Ta.” Kedatangan mereka membuat fokusku berkurang. 

Salma dan Refan tertawa sinis menatapku. Aku tak peduli, harus fokus dan profesional dalam mengemban tugas sebagai penghibur di tempat ini. Aku harus tetap pada profesiku, walaupun mereka melihat seolah mengejek dan menghina. 

Aku kembali menghibur anak-anak. Waktu pun berlalu, alhamdulillah untuk sementara waktu istirahat sebentar kata mamanya Tata. Aku disuguhi aneka makanan dan minuman. Aku memilih duduk di sudut, ada sebuah meja di sisinya. Tak jauh dari Salma dan Refan. 

“Kalian kenapa datang terlambat?”  tanya mamanya Tata. 

“Iya, Tante. Tadi hampir kelupaan, Refan kira malam besok, eh malam ini.”

“Iya, Tan. Si Bang Refan kelupaan, untung tadi Salma ingatkan. Kami terlambat tadi karena mencari kado dulu untuk Tata,” sahut Salma. Aku membuang muka saat gadis itu menoleh. 

Oh, rupanya Salma masih ada hubungan keluarga dengan Tata. Aku baru mengetahuinya sekarang. 

“Mana kadonya, Mbak?” tanya Tata dengan polosnya. 

Salma menunjuk kado bersampul biru pada tumpukan bingkisan yang banyak di atas meja kado. Besar kadonya, entah isinya apa. Aku yakin isinya adalah mainan mahal. 

Masuk acara hiburan lagi. Anak-anak sudah selesai menikmati hidangan yang tersedia. Kini giliranku kembali menghibur. Banyak sekali anak-anak minta foto bareng. Anak SMP sudah mulai punya HP sendiri. Bahkan, mereka berebutan lebih intens daripada anak TK dan SD. Gawainya penuh dengan foto bersamaku. 

“Sudah selesai fotonya anak-anak?” tanya Salma. 

Anak-anak mengangguk sambil menunjukkan foto hasil jepretan mereka. 

“Kalau begitu, kita nonton Abang badut joget aja, yuk! Kan seru, pantatnya gede. Pipinya merah, hidungnya gede juga.”

Salma, mengapa dirimu sangat tega berbuat begini? Kau meracuni anak-anak agar aku berjoget bak orang bodoh di depanmu dan Refan. Apa salahku selama ini padamu? 

“Enggak, ah. Bang badut lebih seru main sulap,” tolak Tata. 

“Enggak apa-apa, Ta. Bang badut joget aja, kita pasti ketawa liatnya. Lucu.” Refan membela ucapan Salma dengan sesekali menatapku sinis. 

Refan berdiri dan menghidupkan musik kencang. Anak-anak tetaplah gampang dipengaruhi. Masih bodoh. Mamanya Tata dan Mbak Ayu juga masih sibuk di belakang. Membungkus makanan ringan untuk dibawa anak-anak pulang nanti. Mereka tidak salah, toh sekarang hanya acara hiburan. Tugasku sebagai badut. 

“Musiknya asik, pengen joget sama Bang badut,” ucap anak-anak. 

“Ayo, kita joget,” sahutku. 

Kubuang rasa malu sejenak. Di depan Refan dan Salma aku hanyalah orang bodoh. Anggapan mereka itu salah, karena aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang badut di atas panggung. Hanya itu saja. Profesional demi pekerjaan ini. 

Semua orang dalam ruangan menertawakanku. Salma dan Refan yang paling terbahak-bahak. Sesekali Salma membisikkan sesuatu pada Tata. 

“Bang, goyangnya lebih asik lagi. Pantatnya goyang kayak goyangan itik, dong!” pinta Tata. 

Aku tidak bisa menolak, karena Tata yang memintanya. Malam ini aku benar-benar merasa bahagia bisa menghibur anak-anak. Juga merasa amat sakit hati atas pelecehan yang sengaja Salma dan Refan lakukan. 

Hati ini sakit melihat Salma duduk bersebelahan dengan Refan. Merek menertawakanku di atas sini. Seandainya, Salma sadar tak ada yang lebih peduli padanya selain aku. Mungkin ia akan sadar suatu hari nanti. Saat aku sudah benar-benar pergi. 

Nanti pasti kau sesali keputusan dirimu meninggalkan aku

Demi dia yang kau pikir sempurna dan punya segalanya 

Hingga kau pun berpaling dan meninggalkanku

Mungkin sekarang kau masih berbahagia 

Dengan dirinya dengan cintanya

Tapi kuyakin suatu saat nanti, kau kan memohon tuk kembali 

Nanti pasti kau sesali setelah dirimu kehilangan aku

Cuma aku yang paling sempurna mencintai kamu walau hanya dengan cara yang sederhana 




Bersambung... 

Big thanks sudah membaca