BAB 5
Dua bulan berlalu, alhamdulillah kehidupan sudah mulai membaik. Rezeki terus mengalir cukup untuk hidupku dan Bapak. Banyak job jadi badut ulang tahun anak-anak dan banyak pula acara di TK. Aku dan Bapak makin dikenal orang banyak. Mungkin ini jalan rezeki agar aku bisa mengambil ijazah sekolah.
Selama dua bulan ini juga aku sudah menahan diri untuk tidak mencari kabar tentang Salma. Bu Lela juga tidak mengabari tentang musibah yang dialami Salma pada Bapak. Sebenarnya ada apa? Kalau seandainya Bu Lela belum tahu kalau anaknya sudah punya pacar, pasti dia sudah mengabari hal itu. Apa mungkin ... ah, entahlah!
Kami tidak ada beban lagi pada Salma. Aku sudah mulai terbiasa tanpa gadis itu. Ya, walaupun kadang Bapak masih sering bertanya tentang Salma. Mengapa dia sudah lama tidak datang lagi. Aku sekarang fokus pada diri sendiri dan Bapak. Untuk Salma selalu ada dalam doa dan itu sudah lebih daripada cukup.
“Salma mana, ya? Sudah lama tidak muncul, biasanya ada datang.” Bapak lagi-lagi bertanya. Kuambil napas panjang.
“Sibuk, Pak. Banyak tugas kali.”
“Iya, mungkin begitu.”
“Pagi ini aku mau ke sekolah sebentar, Pak. Mau ngambil ijazah, tabunganku sudah lebih daripada cukup,” ucapku mengalihkan pembicaraan.
“Alhamdulillah, kalau tidak salah tunggakan kamu itu satu juta. Iya, kan?” tanya Bapak sambil mengeluarkan baju badut dari lemari.
“Iya, Pak. Dani sudah ada uangnya, semua ini berkat doa Bapak juga.”
Bapak tersenyum senang, aku pun bahagia. Akhirnya, setelah satu tahun lulus sekolah aku bisa melihat bukti kelulusan itu. Hari ini akan kupeluk ijazah sekolah. Semoga ada pekerjaan yang bisa membuat hidup kami lebih baik lagi. Semoga aku bisa mengangkat derajat hidup keluarga.
“Dani pergi dulu, Pak. Assalamualaikum,” pamitku saat sudah selesai memasukkan uang satu juta dalam amplop.
“Waalaikumsalam. Hati-hati, Nak,” sahut Bapak.
Aku kembali mengayuh sepeda tua ini. Saksi bisu semua perjuangan hidupku dan Bapak. Juga saksi atas pengkhianatan Salma. Karena dulu, gadis itu pernah duduk di belakang. Kala masih sekolah.
Pagi ini cerah. Cahaya matahari mulai menghapus embun di dedaunan. Apakah embun akan berhenti muncul? Tidak. Ia akan kembali setiap pagi, walaupun ia tahu matahari akan kembali menghapusnya. Embun tetap menjalankan takdirnya, menyejukkan daun.
Kota kecil ini banyak pepohonan berjejer di pinggiran jalan. Membuat perjalanan ini tidak terlalu melelahkan. Desiran angin menerpa wajah dari arah berlawanan. Ada mobil lewat searah, dari kaca hitam yang terbuka itu dilemparkannya botol minuman. Mengenai kepalaku, rasanya memang tidak sakit.
Hanya saja itu tidak sopan. Apa benar orang kaya itu bebas? Aku menggelengkan kepala. Sejenak kuhentikan laju sepeda untuk membuang botol itu ke dalam tong sampah pinggir jalan. Lalu, kembali melanjutkan perjalanan.
Beberapa menit waktu berlalu. Itu dia sekolahku dulu. Semua kenangan indah terbayang lagi. Ruangan kelas dan taman sekolah. Dulu, di bangku taman itu sering duduk anak perempuan berambut panjang . Entah sedang sambil membaca buku komik kesukaannya atau sambil makan bakso tusuk. Ia duduk di sana menungguku datang.
Bangku taman itu masih sama seperti dulu. Masih lengkap bersama beberapa pot bunga bugenfil tertata rapi. Ingin rasanya kembali ke masa itu. Sekarang, menatap tempat ini terasa hambar. Tanpa rasa, tak seperti dulu. Apa mungkin karena aku sudah tidak sekolah lagi? Atau ada kenangan yang kusesali?
Di sini, di sekolah ini tiga tahun sudah aku belajar. Di belakang sana ada kantin. Temanku banyak yang nakal, makan bakwan empat tapi cuma bayar dua. Ingat itu, aku tak tahan untuk tidak tertawa.
Tak ingin berlama-lama, aku segera mencari Pak Agus. Pria bertubuh tambun dan berkacamata. Untungnya, beliau lewat dari ruangan guru. Agaknya ingin mengambil data siswa sekolah ini.
“Assalamualaikum, Pak. Apa kabar?” Aku menyapanya sambil mengulur tangan.
“Waalaikumsalam, Dani. Alhamdulillah sehat.” Disambutnya tanganku.
“Saya mau melunasi pembayaran tunggakan sekolah dulu, sekalian ambil ijazah, Pak.”
“Iya, bisa. Ayo, ke ruangan.” Aku berjalan mengekori Pak Agus.
Sesampainya di ruangan, aku segera membayar lunas tunggakan uang sekolah. Pak Agus memberikan tanda bukti pelunasan.
“Ini ijazahmu, Dani. Kamu mau lanjut kuliah?” tanyanya sambil menyerahkan sebuah map.
“Insyaallah, Pak. Minta doanya,” jawabku sambil tersenyum.
Aku lekas pamit pada Pak Agus untuk segera pulang. Sekolah ini dulunya indah, tempat paling istimewa. Namun, sekarang hambar dan aku terjebak kenangan lama. Tak sanggup rasanya berlama-lama. Semakin diingat makin sakit. Walau bagaimanapun aku hanyalah manusia biasa. Adakah cara cepat melupakan kenangan? Tidak ada. Selain dari mengikhlaskan semua yang sudah terjadi.
Kubuka map biru dari Pak Agus. Betapa senangnya saat melihat namaku tertulis di sana. Kudekap ijazah di dada sambil mengucap kata syukur. Tak ada perjuangan yang sia-sia. Map itu kumasukkan dalam baju, karena lupa membawa tas. Ya, sesuatu yang dilakukan buru-buru akan merepotkan diri sendiri.
Kembali kukayuh sepeda ini. Melewati pepohonan berdaun merah. Suara musik dari penjual kaset pinggir jalan terdengar menenangkan. Kulambatkan laju sepeda karena suka lagunya.
Datang akan pergi
Lewat ‘kan berlalu
Ada ‘kan tiada
Bertemu akan berpisah
Awal ‘kan berakhir
Terbit ‘kan tenggelam
Ada kan tiada
Bertemu akan berpisah
Hei sampai jumpa dilain hari
Untuk kita bertemu lagi
Kurelakan dirimu pergi
Meskipun ku ‘tak siap untuk merindu
Ku ‘tak siap tanpa dirimu
Kuharap terbaik untukmu
Makin jauh laju sepeda, tak terdengar lagi suara lagunya. Aku melewati jalan pintas agar cepat sampai. Melintasi gang-gang sempit. Tak sabar rasanya untuk memperlihatkan ijazah ini pada Bapak.
Di sebuah gang kecil yang sepi. Duduk berjongkok seorang anak kecil depan rumahnya. Tentu saja aku mengenalinya, wajah anak-anak familiar bagiku walaupun kadang tak tahu namanya. Tampaknya dia sedang menangis. Ada apa?
“Hai, mengapa kamu menangis? Mana ibumu?” tanyaku pada bocah perempuan ini.
“Ibu lagi nyuci. Bang, tolong kucing Ica.”
“Kucingnya kenapa?” Aku berjongkok di depannya.
“Kucingnya dibawa orang pergi di belakang pohon besar itu. Ica minta gak dikasih,” ucapnya sambil menyeka mata.
“Tunggu sini, biar Abang ambilkan kucingnya, ya Adik kecil.”
Kutinggalkan sepeda di depan rumah Ica. Segera kudatangi pohon besar yang ditunjuknya. Di gang kecil ini memang ada pohon besar sebelah rumah kosong. Betapa kagetnya saat kulihat apa yang terjadi. Di tempat ini sepi.
Dua lelaki sedang menguliti kucing. Ada dua kucing, satu sedang dikuliti dan satu lagi masih diikat pada kayu agar tidak pergi. Kucing itu bersuara lirih memohon belas kasih agar dilepaskan. Namun dua lelaki itu tidak peduli. Sibuk menguliti kucing yang sedang dieksekusi. Tajam sekali pisau yang mereka gunakan. Tubuhku ngilu membayangkan penderitaan kucing itu sebelum mati tadi.
Aku mengenali salah satu lelaki itu. Itu pacarnya Salma. Berkali-kali kupastikan agar tidak salah orang. Tetap saja tidak keliru, benar-benar lelaki itu. Tidak punya hati, teganya menyiksa binatang.
Saat mereka fokus menguliti kucing berbulu hitam. Aku berlari kencang mengambil kucing berbulu cokelat putih yang sedang mengeong meminta dilepaskan. Untungnya kayu tambatan itu sudah agak rapuh, sekali injak langsung patah.
“Hei, mau dibawa ke mana kucing itu?!” ancam pacar Salma sambil mengacungkan pisaunya yang berlumuran darah ke arahku.
Bersambung...
Jangan lupa subscribe yaa biar dapat pemberitahuan setiap up bab baru.