BAB 6
Aku beringsut mundur. Ketika tangan kosong melawan benda tajam. Ada perasaan ngeri saat menatap pisau itu, tapi lebih ngeri lagi jika membiarkan kucing ini mati dikuliti. Kucing gemuk ini masih kupeluk. Matanya terpejam, takut.
“Gila kalian, tega sekali menyiksa binatang!” umpatku kesal.
Dua lelaki itu menatap sinis. Wajahnya menyeringai mengerikan. Aku bak berhadapan dengan drakula. Manusia tak punya hati.
“Diam lu miskin! Balikin sini kucingnya!”
“Tidak! Kalian biad*b. Tak akan kubiarkan kucing ini mati. Dia berhak hidup.”
“Wah, berani lu sama kita!”
“Udah, deh! Jangan berisik. Balikin sini kucingnya. Kita lagi kehabisan uang buat beli mir*s. Kulit kucing ini akan kami jual ke agen penjahit gelap.”
“Sok pahlawan lu! Jangan bengong. Sini kucingnya. Jangan sampai gue nusuk perut lu!” ancam pacar Salma.
“Tusuk aja dah, Refan. Cowok culun ini belagu!” ucap temannya.
Kucing itu kubawa berlari kencang. Rupanya Ica tadi membuntuti dari belakang. Ia sudah berjalan hampir mendekati pohon. Entah, ini kucingnya atau bukan. Karena ada dua kucing yang ditangkap pacar Salma dan temannya. Pastinya aku harus selamatkan dulu kucing ini.
“Ca, bawa kucing ini. Kamu langsung lari pulang sana. Cepat, Ca!” perintahku pada gadis kecil ini.
Ica yang masih kecil, tidak tahu apa-apa. Digendongnya kucing yang kuberikan. Ia tampak takut melihat dua orang yang mengejarku. Segera ia berlari sekuat tenaga menjauhi tempat ini.
“Bangs*t lu!”
“Wah, kucingnya dibawa pergi.”
Kutendang tangan pacar Salma sekuat tenaga. Pisau di tangannya terpelanting jauh masuk semak-semak jurang. Lelaki yang ternyata bernama Refan itu kaget dan terjerembab.
Temannya berlari kencang mengejar Ica tanpa memedulikan keadaan Refan. Lekas kulemparkan potongan kayu besar dan mendarat tepat di punggungnya. Ia tampak meringis dan berhenti berlari.
Aku lengah, lupa kalau ada Refan di belakang. Tiba-tiba ia menendang kakiku dari belakang dan membuat keseimbangan tubuhku oleng. Aku terjerembab jatuh dalam keadaan melungkup.
“Kena kau badut miskin! Hahaha!” ejek Refan sambil memegangi kedua tanganku dari belakang. Rasanya ngilu. Aku tak bisa bergerak.
“Geri! Gak usah kejar kucing itu lagi. Gue udah gak nafsu. Gue malah pengen ngasih pelajaran sama badut jelek ini. Badut keliling yang miskin.”
“Iya, Fan. Gue juga emosi sama nih orang. Punggung gue panas, njir!”
“Lepaskan aku! Lepaskan!” desahku.
Lelaki yang bernama Geri itu berjalan mendekati. Setelah ini, entah apa yang hendak mereka lakukan padaku.
“Kita apain nih bocah? Pisau udah hilang,” tanya Geri.
“Bantuin gue, kita ikat dulu di pohon. Nanti baru eksekusi. Kita hajar gembel ini. Sok pahlawan, hahaha.”
Posisiku melungkup tak berdaya. Jadi, aku tidak tahu siapa pemilik kaki yang menginjak kepalaku. Napas ini tercekat. Injakannya makin lama makin kuat. Ya Allah! Jangan biarkan mereka memecahkan kepalaku.
“Lihat, Ger! Dia menggeliat kesakitan. Lucu kayak ulat bulu, hahaha!”
“Injak aja, bila perlu sampai keluar otaknya, Fan! Cowok ini wajar diinjak palaknya, emang gak ada harga diri. Udah miskin, belagu!”
Kepalaku sakit. Sakit sekali. Ya Allah! Apa ajalku akan tiba sebentar lagi? Apakah aku harus mati dalam keadaan terhina? Kepala ini kugunakan untuk bersujud sepanjang malam. Tolong selamatkan hamba, Tuhan. Aku tak bisa berbuat apa pun selain menggeliat kesakitan.
“Bosan gue, Ger. Ikat, yuk! Kita hajar habis-habisan.” Aku masih bisa jelas mendengar setiap ucapan mereka.
Refan mengangkat kakinya dari kepalaku. Tubuhku diseret dan diikatkan pada batang pohon dengan keadaan berdiri. Kepalaku pening tak terhingga. Urat syaraf rasanya menegang dan berdenyut. Sakit.
Geri meninju perutku dua kali. Hantamannya terasa sangat menyakitkan.
“Perut lu kok aneh!? Gue kayak berasa ninju tapi terhalangi sesuatu,” ucap Geri heran.
“Bentar, gue buka dulu kancing baju usang si miskin ini. Habis itu lu tinju lagi, Ger.”
“Jangan! Jangan!” desahku.
“Diam lu!” bentak Refan.
Lelaki bajing*an itu langsung membuka bajuku. Ya Allah, ijazahku!
“Map apaan, nih?” ejek Refan sambil membuka map itu.
“Ger, lihat sini. Rupanya ijazah si badut jelek ini isinya. Hahaha gak berguna! Percuma juga ada ijazah, lu bakalan tetap miskin seumur hidup!” bentak Refan kasar.
“Jangan ganggu ijazahku! Kumohon jangan. Kalian boleh siksa fisikku sesuka hati, tapi jangan rusak ijazahku. Itu sangat berharga,” pintaku memohon.
“Berisik lu!” Refan menjambak rambutku kasar. Ijazah itu kini sudah berpindah tangan ke Geri.
“Gak pantas lu nerima ijazah. Lu Cuma badut keliling. Siapa gak kenal sama wajah miskin lu di kota ini? Semua orang kenal. Takdir hidup lu harus jadi badut seumur hidup.”
“Kembalikan. To—tolong, kumohon.” Dalam keadaan tubuh lemas, aku masih berjuang.
“Gue pastiin lu miskin seumur hidup. Lihat ini!”
Mataku memanas dan berair kala melihat jelas bagaimana Geri menghidupkan korek api dan membakar ijazahku.
“Tolong! Tolong!” teriakku sebelum Refan meninju wajah ini.
“Diem lu, setan! Nanti ketahuan orang, awas teriak lagi, gue keluarin usus lu.” Refan mengancam.
Wajahku pedih. Terasa ada sesuatu yang mengalir dari sudut bibir. Darah, ya itu darah. Aku tidak sanggup melihat bagaimana ijazah itu inci demi inci dimakan api. Kejam sekali mereka. Semoga Tuhan segera membalas dengan balasan sakit yang berkali lipat.
“Ijazah-nya udah habis dimakan api. Gue puas lihat barang berharga milik lu terbakar!” ucap Refan sembari meludahi wajahku.
Tuhan, apakah wajahku tercipta untuk dihina? Untuk diludahi? Apakah kepala ini memang takdirnya ini direndahkan? Kepala sudah diinjak sepatu. Di depan mereka aku sudah tak punya harga diri, tak lebih dianggap seekor *njing. Namun, aku yakin di mata Tuhan diri ini berharga.
“Gimana, nih? Udahan, yuk! Nanti ketahuan warga bahaya.” Geri mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru.
“Ya, deh. Lepasin ikatannya, biar bisa pulang.”
Geri melepaskan ikatan tubuhku. Tubuhku roboh terguling di tanah. Nyeri di sekujur badan akibat perlakuan jahat mereka.
“Ingat! Lu jangan berani lapor polisi. Awas, bapak lu bakal gue gorok lehernya kalau berani main lapor,” ancam Refan sambil menyentak daguku dan dihempaskannya kasar.
“Kejam kalian. Suatu saat nanti akan dapat balasan,” desahku pelan.
“Hahaha! Gak usah ceramah! Doa orang miskin mana dikabulkan? Tuhan pilih-pilih, Bro!” cecar Geri.
“Udah, gak usah lu ladenin lagi. Capek aja ngomong sama si badut miskin. Sana ambil kulit kucing tadi, Ger. Langsung pergi kita.”
Mereka langsung pergi meninggalkanku seorang di sini. Tempat sepi, senyap, banyak pepohonan, dan semak belukar. Air mataku menetes melihat abu ijazah di tanah. Tubuhku sakit, tapi ada yang lebih sakit lagi. Sakit saat melihat dan mengingat kembali bagaimana api membakar senti demi senti ijazah sekolahku.
Sungguh, aku lebih rela disiksa daripada harus kehilangan ijazah itu. Pepohonan di sini jadi saksi kepedihan hati ini. Seorang badut yang ternistakan demi menyelamatkan seekor kucing. Sungguh mahal nyawa kucing itu, sampai harus kubayar dengan waktu tiga tahun sekolah. Sekarang sudah tak ada bukti kalau aku pernah mengenyam bangku SMA.
Aku beringsut pelan sambil sedikit mengesot. Perlahan mendekati abu ijazah yang hanya berjarak satu meter. Kugenggam erat puing-puingnya. Kudekap di dada. Biarlah terpeluk erat bersama semua perjuangan dan kenangan semasa sekolah. Hati ini teriris pedih.
Terbayang kembali masa-masa sekolah. Aku berangkat sekolah tanpa sarapan, hanya minum segelas air putih. Di sekolah pun jarang jajan, uangnya kutabung untuk membeli buku. Kadang aku harus menanggung malu saat terlambat bayar SPP.
Waktu tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Aku berjuang untuk sehelai kertas ijazah. Namun, kenyataannya sekarang begini. Biarlah kupeluk erat abu dalam genggaman untuk melepas semua kerinduan akan masa depan. Sebelum akhirnya harus belajar mengikhlaskan.
Bersambung...
Yang belum subscribe, jangan lupa subscribe dulu ya. Makasih.