BAB 10

BAB 10





Aku bingung setelah kepergian mereka. Balon-balon Kek Udin juga sudah benar-benar hilang. Dua puluh balon, keseluruhan uangnya berarti dua ratus ribu kalau laku semua. Bagaimana ini? Dengan apa kugantikan uang balon itu. Posisi diri baru saja sembuh. Sekarang harus menanggung nasib yang malang. 

Dalam kebingunganku berdoa. Semoga ada jalan keluar dari kejadian tak terduga ini. Bayangan wajah Bapak kian menyesakkan dada. Terngiang kembali permintaan Nek Inem untuk membelikan ayam goreng. Aku menghela napas panjang. Bingung. 

Waktu pun berlalu, matahari kian naik. Anak-anak mulai berdatangan ke taman. Kesempatan ini tidak kusia-siakan. Lebih baik tetap semangat menghibur, walaupun hati sendiri hancur. Otak penuh dengan beragam tuntutan. 

“Bang badut, joget!” ajak anak-anak. 

“Ayo, siap! Sebentar, Abang hidupkan musiknya dulu,” jawabku sambil merogoh HP dalam saku. 

Kuhidupkan kencang lagu anak-anak. Hampir tak ada lagu lain dalam gawai, hanya khusus menghibur anak-anak. Tidak ada pesan masuk yang kutunggu. Aku pun langsung menemani anak-anak joget sambil membagikan permen. 

Semuanya tampak senang dan gembira. Disela-sela musik, aku juga mengeluarkan atraksi badut sederhana. Menyembunyikan permen dan kembali memunculkannya. Sederhana, tapi mereka sangat gembira dengan gelak tawanya yang penuh warna. Dunia bermain. 

“Mama, fotoin aku sama Abang badut,” rengek anak-anak pada mamanya. 

Biasanya kalau ada yang minta foto satu orang, yang lainnya akan minta foto juga. Saat itu juga aku merasa sangat berharga. Anak-anak berebutan meminta foto. Kadang juga mamanya ikut berfoto. Tak jarang pula, foto itu kemudian dicucinya dan dipajang di ruang tamu. 

“Aku lagi. Aku lagi mau foto.” Banyak sekali anak-anak yang menunggu giliran. 

“Gantian, Sayang. Abang badutnya Cuma satu, gantian foto sama teman.” 

“Abang, gak bawa balon? Mau balon Hello Kitty,” tanya seorang anak perempuan.

“Tidak, Adik manis. Abang tidak bawa hari ini, lain kali pasti bawa lagi,” bujukku sambil mengusap pucuk kepalanya. 

“Ya, deh. Kita foto aja.”

Aku segera merangkul pundak kecilnya. Senyuman kupasang lebar agar tampak bahagia. Berbagai pose pun ia minta, dari kami saling menggenggam tangan, aku duduk berjongkok di sebelahnya, dan lain sebagainya. 

“Sudah?” tanya mamanya. 

“Sudah, Ma. Beli jajan, yuk!” ajaknya sambil menghampiri sang mama. 

Gadis kecil ini, kebetulan dapat foto terakhir. Semua anak sudah selesai  berfoto denganku tadi. 

“Yuk! Kasih uang ini sama Bang badut.” 

Bocah itu membawa uang dari mamanya dan menyerahkan padaku. Alhamdulillah untuk rezeki hari ini. Setidaknya, hasil kerja hari ini lumayan banyak. Bisa untuk membeli ayam goreng untuk Bapak dan Nek Inem. 

“Terima kasih, Adik manis,” ucapku sembari tersenyum. 

Karena otak sedang pusing, aku segera pergi ke kedai Bu Iyem untuk membeli ayam goreng. Ternyata, di sini juga ada Ica dan mamanya. Mereka membeli beraneka makanan, banyak sekali. Mungkin sudah dipesan jauh hari. 

“Ayam goreng dua bungkus, porsi biasa.” Aku memesan pada Bu Iyem. 

Disambutnya dengan senyum ramah. Saat itu juga Ica yang tak jauh dariku pun menoleh. Mamanya sibuk, tak tahu kehadiranku. Wajah gadis kecil ini semringah melihatku. 

“Bang,” panggil Ica. 

“Iya, Ica.”

“Ma, Mama ... ada Bang badut,” ucap Ica menyadarkan mamanya yang sibuk menunjuk aneka makanan yang sudah rapi dibungkus. 

“Eh, ada kamu. Sudah sembuh, ya?” tanya mamanya Ica. 

“Iya, alhamdulillah sudah sembuh.”

“Eh, kebetulan nanti malam ada acara ulang tahu ponakan saya. Dia minta badut pesta kalau ada. Apakah, Abang bersedia?” tawarnya penuh harap. 

“Wah, benarkah, Mbak?” ucapku penuh harap. 

“Iya, Bang Dani. Anaknya kelas satu SMP, tapi suka badut. Kalau Abang mau silakan,” tawarnya.

“Mau, Mbak. Saya mau.”

“Hore, Bang badut mau,” celoteh Ica senang. 

Alhamdulillah, akhirnya ada jalan keluarnya. Jadi badut pesta dapat honornya lumayan. Setidaknya, cukup untuk hidupku beberapa hari dan membayar semua balon Kek Udin yang terbang tadi. Allah memang Maha Baik. Aku sangat bersyukur dan merasa beruntung sekali. 

“Tolong bawa ke mobil, ya.” Mamanya Ica memerintahkan pegawai Bu Iyem untuk membawakan semua belanjaannya ke dalam mobil. 

Wanita ini daritadi sibuk memainkan gawainya. Mungkin memang ada pesan yang amat penting. Aku menatap ayam goreng yang dibungkuskan Bu Iyem, itu pesananku. 

“Ini ayam gorengnya. Dua bungkus,” ucapnya sambil menyodorkan plastik putih.

“Makasih, Bu. Ini uangnya,” sahutku sambil memberikan uang pas. 

“Bang badut, aku barusan chat mbakku. Dia bilang kasih dulu DP sekarang, ini dua ratus ribu. Sisanya nanti malam, ya, Bang.” Mbak Ayu memberikanku dua lembar uang seratus ribu. 

“Wah, langsung di DP. Makasih banyak, Mbak.” Kuterima uang itu dengan bahagia bercampur haru. 

“Nanti malam jangan lupa datang, Bang. Rumahnya tak jauh dari rumah kami. Rumahnya tepat samping gang. Rumah yang besar itu, berpagar warna emas,” jelas Mbak Ayu.

“Tentu, Mbak. Aku pasti datang. Habis magrib pasti ke sana," janjiku pada mamanya Ica. 

“Baik, Bang. Ditunggu kedatangannya, ya. Kalau begitu kami permisi, mau pulang duluan. 

"Dadah, Bang. Nanti malam Ica tunggu, kita main," ucapnya senang. 

Kutatap mobil Ica sampai jauh tak terlihat lagi. Orang baik masih ada di dunia ini. Aku merasa bangga bisa mengenal mereka. 

“Alhamdulillah, ada rezekinya.” Bu Iyem berkata sambil tersenyum ramah. 

“Iya, Bu. Alhamdulillah, kalau begitu aku pulang dulu,” pamitku dan hanya dijawab anggukan kepala. 

Kembali kukayuh sepeda menuju rumah Kek Udin. Berhubung hari sudah sore, kupercepat kayuhan sepeda. Nanti malam ada acara di rumah ponakan Mbak Ayu, aku tidak boleh terlambat. Rasa sedih pun terobati. Dada yang sesak pun sudah pergi. 

“Assalamualaikum, Kek, Nek.” 

“Waalaikumsalam, Dani.” Mata Nek Inem berbinar menatapku. 

Untunglah ada rezeki untuk menggantikan balon yang ditebangkan oleh Salma tadi. Aku tak ingin membuat kecewa Kek Udin, biarlah kugantikan semua kehilangan itu. 

“Ini, Nek.” Aku menyodorkan satu bungkus ayam goreng dan uang dua ratus ribu. 

“Makasih, Nak. Eh, balonnya habis semua?” tanyanya. 

Aku menelan ludah. Akan tetapi, untungnya Nek Inem tidak sadar, dari mana aku dapat uang besar itu. Biasanya uang balon itu recehan sepuluh ribuan saja. Kali ini, dua ratus ribu hanya uang dua lembar. Otaknya yang sudah tua untungnya tidak peka kalau ada kejadian buruk hari ini. Aku lega. 

“Iya, Nek. Alhamdulillah laku semua,” ucapku berbohong. Terpaksa. 

"Alhamdulillah, besok kakekmu bisa beli obat lagi," ujar Nek Inem senang. 

Kek Udin ikut keluar melihat kedatanganku. Kakinya agak diseret, karena belum sembuh. Seketika ada sesuatu yang ngilu dalam hati, berat penderitaan yang dialaminya. 

“Dani pamit, Nek, Kek. Sudah sore,” pamitku. 

“Cepat sekali, Dani. Terima kasih atas semua bantuannya, ya.” Senyuman Kek Udin sangat tulus. Semoga hidupnya berkah. 

Setelah dirasa cukup, aku langsung pulang. Dalam perjalanan terasa dingin, angin sore berdesir dari arah berlawanan. Dengan semangat kukayuh sepeda agar cepat sampai. Tak sabar rasanya ingin melihat mata Bapak berbinar melihat ayam goreng ini. Pasti beliau akan sangat senang sekali. Makannya pasti lahap, karena ayam goreng adalah menu kesukaannya. 

Mungkin karena sangat bersemangat, perjalanan terasa lebih cepat. Akhirnya, aku sudah sampai di rumah. Alhamdulillah. Kutatap ayam goreng dalam plastik yang saat ini dalam genggaman. Ayam ini untuk Bapak, satu-satunya orang yang wajib dibahagiakan. 

“Assalamualaikum, Bapak. Dani pulang,” ucapku sambil berdiri di depan pintu. 

Tak ada jawaban. Kupanggil Bapak berkali-kali, tapi senyap. 

“Bapak, Bapak!” panggilku terus berulang kali. 

Kudorong pintu, ternyata tidak dikunci dari dalam. Ke mana Bapak pergi? Tak biasanya beliau begini. Segera kugeledah rumah sambil terus memanggil Bapak. 

“Pak, Bapak di mana? Pak?”

Kucari ke segala penjuru, tapi Bapak tidak ketemu. Aku langsung panik tak karuan. 

“Bapak, Dani sudah pulang bawa ayam goreng. Bapak di belakang?”

Setelah kucari di belakang pun ternyata Bapak tidak ada. Aku kaget bukan kepalang saat melihat pecahan gelas di lantai. Bapak mana? 






Bersambung.... 

Semoga kita sehat selalu ya dan saya bisa menulis dua bab satu hari. Insyaallah. 

Ikuti terus. Kita lihat bagaimana karma bermain. Bagaimana tangan Tuhan bekerja, tanpa harus si korban membalasnya.