BAB 12
Ada yang aneh, Ica sangat gelisah setiap kali melihat Refan. Rupanya ingatan anak ini cukup tajam. Ia ingat wajah orang yang sudah menculik dan hampir mencelakakan kucing kesayangannya.
“Bang, itu yang bawa kabur kucing Ica,” adunya padaku.
Aku pun berjongkok menghadapnya. Matanya nanar benci menatap Refan. Ada ketidaksukaan dari mata kecil itu.
“Iya, Ca. Itu orangnya, di sebelah Mbak Salma.”
“Ica kesel! Mau laporin Mama aja,” ungkapnya kesal.
“Gak usah, Ca. Kan kucing Ica udah selamat. Maafin aja, ya?” kataku sambil mengelus rambutnya.
Aku berpikir biarlah semua berlalu. Toh, kucing Ica selamat. Masalah karma, Allah yang akan membalasnya dengan cara berbeda. Tanpa perlu campur tanganku sendiri. Lagian, sampai kini aku masih mengingat tentang ancaman Refan. Otak terasa kacau.
Karena ini acara anak-anak, acara tidak berlangsung lama. Jam sembilan sudah usai, mobil dan motor jemputan mereka masing-masing sudah sampai. Anak-anak itu pulang dengan hati senang.
Aku masih membantu membereskan sisa acara pesta. Memang semua bukan tugasku, tetapi jika bisa dibantu, mengapa tidak? Kuncinya adalah ikhlas. Semua yang dilakukan secara ikhlas akan menuai hasil yag baik. Meskipun tidak sekarang, tapi nanti.
“Bersihin gelas-gelas. Bawa ke belakang!” hardik Salma angkuh saat melihatku menyusun gelas.
Tiba-tiba suara pecahan gelas terdengar. Rupanya itu ulah Refan. Aku tahu ia sengaja melakukannya untuk membuatku jengkel.
“Ups! Gelasku jatuh,” ucapnya kemudian disambung gelak tawa mereka berdua.
“Gak pa-pa, Sayang. Nanti akan ada badut bodoh yang membersihkan belingnya.”
Aku tak menyahut apa pun. Sekilas hanya melirik sebentar. Kulihat bagaimana tangan Salma merangkul erat bahu Refan dengan mesra. Tidak masalah bagiku, itu haknya untuk mencintai siapapun.
“Salma!” panggil mamanya Tata yang kuketahui bernama Bu Yuni. Ia tampak marah.
“Ya, Tante.”
“Kamu ini sudah berapa kali dibilangin, jangan pacaran lagi sama laki-laki ini!” bentaknya langsung di depan Refan.
Posisinya sekarang cukup sepi. Tata dan Ica sudah naik ke kamar atas. Tadi mereka berdua sempat melambaikan tangan ke arahku saat menaiki tangga. Setidaknya, mereka tak menonton kemarahan Mbak Yuni.
“laki-laki ini tidak baik. Kamu kapan sadarnya?”
“Kok, Tante berubah? Om aja gak ngelarang aku pacaran sama Refan,” ucap Salma membela diri.
“Om kamu sibuk, gak tahu tentang kelakuan pacar kamu di luaran! Putuskan sekarang,” paksa Mbak Yuni.
Aku yang merasa tidak berkepentingan pun tetap kembali beres-beres. Sambil sesekali menguping pembicaraan mereka. Dalam hatiku membenarkan semua ucapan Mbak Yuni. Refan memang bukan orang yang baik.
“Yang pacaran sama aku itu Salma, bukan Tante. Gak ada hak kalian mencampuri urusan anak muda,” ucap Refan juga membela diri.
Seandainya, papanya Tata tidak sedang dinas di luar kota. Bisa kupastikan Refan sudah mendapat bogem mentah di wajahnya malam ini. Sangat tidak sopan.
“Tentu saja berhak. Keluarga berhak untuk memberi nasihat terbaik.” Aku menimpali sambil memunguti pecahan kaca.
“Eh, diem lu badut miskin! Gue gak ada urusan sama lu!”
“Bang badut diem, deh! Ini urusan kita, bukan urusan Abang. Beresin aja, tuh sisa pesta. Bila perlu jilat lantai sampai bersih,” hina Salma.
Aku tak menyahut apa pun. Sadar posisi di sini sebagai orang lain. Hanya saja, aku tidak suka cara Refan yang kasar dengan mamanya Tata. Sejak acara hiburan terakhir, aku tak lagi melihat Mbak Ayu. Mungkin dia sedang pergi.
“Ya Allah, Salma! Kamu mengapa menghina Dani!? Dia memang badut, tapi hatinya baik. Tidak seperti pacar kamu yang kurang ajar ini.”
“Halah, Tante tahu apa tentang gue? Kita baru bertemu beberapa kali aja, loh. Tante sok tahu!” hardik Refan tanpa rasa segan sedikitpun.
Aku mengelus dada. Lelaki ini sangat tidak baik, Salma seharusnya tidak usah mendekat dengannya. Lelaki bejat moral dan etika. Percuma saja dia kuliah.
“Kamu pikir, Tante gak tahu kalau kamu suka mabuk-mabukan? Main perempuan di cafe remang-remang, hah!”
“Tante jangan fitnah pacar Salma. Dia ini orang baik. Gak mungkin dia melakukan itu semua, Tante kemakan hasutan siapa?” tanya Salma emosi.
Rupanya Salma sudah cinta mati dengan Refan. Sampai-sampai ia tidak bisa menerima kenyataan buruk tentang kekasihnya itu. Bahkan, sekarang dia berani melawan Tantenya. Istri dari pamannya. Selama ini Salma tidak pernah memberitahu silsilah keluarganya padaku, sengaja karena niat awalnya untuk menipu.
Satu tamparan mendarat di pipi tirus Salma. Mbak Yuni rupanya sudah benar-benar emosi. Sampai-sampai pembantunya yang sedang mencuci piring di belakang ikut mengintip dari dinding tangga.
“Ada apa, Bang badut?” tanyanya sambil menerima nampan yang berisi gelas kotor dari tanganku.
“Gak tahu, Bi. Ada keributan keluarga,” jawabku singkat.
“Memang, kok, Bang. Cowok itu sering Bibi lihat mabuk-mabukan. Gak tahu waktu, siang malam lagi dia. Bibi, kan sering berbelanja.”
Bukan sebuah rahasia lagi, kalau Refan bukanlah anak baik. Bahkan, pembantu rumah ini pun sudah tahu. Aku menggelengkan kepala. Salma ... salma, mengapa kamu lebih memilih dia?
Tiba-tiba suara derap kaki banyak memasuki rumah. Siapa yang datang? Aku kaget bukan kepalang saat menoleh, rupanya rombongan polisi yang datang bersama Mbak Ayu.
“Jangan bergerak! Anda sudah dikepung! Angkat kedua tangan!” Suara tegas seorang polisi memecah keheningan.
“Ada apa ini?” tanya Salma.
“Salma, cowok kamu itu buronan polisi. Dengan kasus perampokan dan penjualan kulit kucing secara ilegal,” jelas Mbak Ayu.
“Ti—tidak mungkin!” pekik Salma.
“Lepaskan! Lepaskan aku!” teriak Refan sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman beberapa orang polisi.
“Jangan bawa pacarku, Pak. Dia tidak salah, pasti kalian salah orang,” ucap Salma tidak terima.
Gadis itu berusaha membantu Refan. Akan tetapi, ia didorong salah seorang polisi hingga jatuh ke lantai. Aku tak menyalahkan pihak berwajib, Salma mengganggu proses penangkapan. Aku membuang muka. Antara tak tega dan sedih melihat Salma menangis.
“Jadi, Mbak Ayu yang melaporkan kasus ini?” tanyaku.
“Iya, Dani. Sebenarnya, kami sudah tahu sejak lama. Ditambah lagi laporan Ica tadi mengatakan kalau cowok di sebelah Salma itu orang yang menculik kucingnya. Awalnya aku ragu, tapi Ica bilang kalau tidak percaya tanya sama Abang badut,” tandasnya.
“Jadi, benarkah dia yang memukulimu saat menolong kucing Ica?” Mbak Ayu menanyaiku balik.
“Iya, Mbak. Semua ini ulah Refan dan temannya yang bernam Geri. Mereka berdua yang menganiayaku. Bahkan, mereka mengancam akan membunuh Bapak, jika aku melaporkan hal ini pada pihak berwajib.”
“Nah, sudah jelas semuanya. Bukan hanya kasus lama, tapi juga pasal pengancaman,” sahut polisi.
“Bangsat lu badut sialan! Kenapa lu jujur hah! Gue pukul juga nanti,” ancam Refan.
“Diam!” bentak polisi.
Karena Refan tak mau diam. Akhirnya mulutnya pun disumpali lakban. Refan dijaga ketat. Polisi pun tanpa basa-basi langsung meminta keterangan dariku sebagai korban.
“Sudah cukup untuk malam ini, terima kasih atas keterangannya. Tiga hari lagi, mohon datang ke kantor polisi untuk pemeriksaan ulang,” kata salah seorang polisi yang berkumis.
Tiba-tiba Salma pingsan setelah mendengar semua penjelasanku di depan polisi dan tantenya. Ica dan Tata mengintip dari tangga atas.
“Mbak Salma,” panggil Tata kaget.
Sedih itukah Salma saat melihat Refan terkena masalah? Tak sadarkah dia dengan hadirku selama ini untuknya? Ada sesuatu yang ngilu dalam dada. Aku makin menyadari kalau perjuangan selama ini hanyalah kamuflase.
Bersambung...
Terima kasih sudah membaca. Kalian selalu ada dalam doaku.