"Demi Allah, Bu. Saya tidak pernah menyakiti Alisa."
"Jangan bohong kamu! Ibu memang sudah muak melihat wajahmu yang sok lugu itu. Perempuan mandul seperti kamu ini, lebih baik diceraikan saja!"
"Astaghfirullah, Bu. Ini tentang masalah Alisa, kenapa sampai bicara soal perceraian? Saya bersumpah atas nama Allah, kalau saya tidak pernah menyakiti cucu Ibu!"
"Halah! Kamu ini banyak omong. Lebih baik kamu tinggalkan saja rumah ini, daripada menjadi sumber malapetaka bagi cucuku." Wanita tua itu kembali menghardik.
"Haris tidak membutuhkan istri mandul seperti kamu. Yang dia butuhkan adalah perempuan yang subur seperti Dewi." Tanpa mempedulikan perasaan Sofia, ibunda Haris terus bicara sambil telunjuknya mengarah ke wajah sang menantu. Sama sekali tidak menghiraukan keadaan sekitar di mana orang-orang telah berdatangan dan menyaksikan semuanya.
Salah seorang kerabat ibu mertua yang kebetulan melintas, segera menghampiri untuk menenangkan wanita yang sedang dikuasai oleh amarah itu. Dengan kesal perempuan paruh baya itu akhirnya berbalik pulang ke rumah, masih dengan makian yang tak juga berhenti keluar dari bibirnya. Beberapa tetangga yang kebetulan lewat dan menyaksikan kejadian itu menatap iba pada Sofia. Satu persatu mereka akhirnya membubarkan diri pulang ke rumah masing-masing.
Bibir Sofia tak henti beristighfar demi menenangkan perasaan yang gundah. Bekas tamparan ibu mertua masih terasa di pipinya, menyisakan perih pada sudut bibir yang terluka. Rasanya seperti terbakar, terlebih di tempat yang sama juga ada bekas telapak tangan milik Haris. Dengan tangan gemetar, Sofia menutup pagar lalu masuk ke dalam rumah. Tak lupa ia mengunci pintu rumah rapat-rapat. Kali ini, ia tidak akan membiarkan Dewi--perempuan yang sudah menyulut amarah ibu mertua itu, kembali lagi ke rumahnya.
Dengan perasaan tak menentu Sofia kembali ke kamar, menumpahkan segala kesedihannya di atas bantal. Terngiang kembali ucapan ibu mertua yang begitu tajam menusuk hati. Meskipun sejak dulu ibu mertua kurang menyukainya, tapi wanita yang melahirkan suaminya tak pernah bicara sekasar itu. Begitu pintar Dewi memainkan sandiwara dan menghasut orang, hingga Haris dan ibu mertua percaya begitu saja pada semua perkataan Dewi yang menuduhnya telah menyakiti Alisa.
Apa yang dialami barusan membuat Sofia semakin terluka. Ingin rasanya dia pergi saja meninggalkan rumah yang selama menjadi tempat bernaung, membawa lukanya sejauh mungkin. Suami yang begitu dicintai sudah tak bisa lagi diharapkan menjadi sandaran. Sementara ibu mertua semakin menunjukkan rasa benci dan tak lagi menginginkan keberadaan Sofia sebagai menantu.
Namun mengingat kondisinya saat ini, Sofia tak bisa berbuat apa-apa. Dia harus tetap bertahan, entah sampai kapan. Wanita itu kemudian bangkit berdiri lalu berjalan ke arah lemari kayu dekat jendela. Dibukanya pintu lemari, lalu menarik sebuah laci hingga tampaklah isi di dalamnya. Menarik napas panjang, Sofia lalu meraih dua buah benda pipih berwarna putih dengan dua garis merah. Dia sengaja mengeceknya dua kali untuk memastikan kalau dirinya memang benar-benar hamil. Diusapnya benda pipih itu lalu tangan berpindah mengelus pelan perut yang masih rata. Air mata kembali menetes menyadari ada janin yang telah bersemayam di dalam rahimnya.
Apa yang diharapkan selama sekian tahun akhirnya terwujud. Kesabaran menanti buah hati akhirnya terobati. Doa-doa yang tak lelah ia panjatkan kini telah dikabulkan. Kehamilan inilah yang membuatnya masih bertahan hingga saat ini, walaupun belum sempat dia sampaikan pada sang suami. Awalnya Sofia akan memberitahukan perihal kehamilannya pada Haris. Namun sebelum berita bahagia itu dia sampaikan pada sang suami, Haris sudah lebih dahulu mengutarakan keinginannya untuk menikah lagi.
Betapa hidup ini penuh dengan misteri, kebahagiaan dan kesedihan terkadang datang dalam waktu yang bersamaan.
***
Sudah tiga hari Sofia tinggal sendiri di dalam rumah. Dia akhirnya bisa bernapas lega sebab Dewi sudah kembali ke rumah mertua atas perintah wanita sepuh yang tak mau cucunya mengalami hal buruk di rumah itu.
Sejak kepergian Dewi tiga hari yang lalu, Haris belum juga menampakkan batang hidungnya. Laki-laki itu belum juga pulang ke rumah sekadar menemui Sofia. Wanita itu berpikir, sudah waktunya Haris tahu perihal kehamilan ini. Karena itulah dia terus menunggu kedatangan suami untuk menyampaikan berita bahagia itu. Barangkali dengan berita kehamilannya kini, lelaki itu akan berubah menjadi perhatian seperti dulu.
Saat terdengar ketukan di pintu depan, Sofia buru-buru keluar kamar. Ia bergegas melangkah menuju ruang tamu hendak menyambut kedatangan suami yang telah dinanti. Namun baru saja pintu terkuak, seseorang telah menerobos masuk ke dalam rumah.
"Mau apa lagi kamu ke sini?" bentak Sofia melihat Dewi yang masuk rumah tanpa permisi dan langsung menghempaskan tubuh di atas sofa ruang tamu.
"Aku ke sini untuk menyerahkan ini." Dewi lalu meletakkan sesuatu di atas meja.
"Apa ini?"
"Uang bulanan kamu."
"Uang bulanan? Maksudnya apa?" tanya Sofia tak mengerti.
"Mulai bulan ini dan seterusnya, akulah yang akan mengatur uang bulanan. Uang di dalam amplop itu adalah jatah kamu untuk bulan ini. Sudah dibagi dua, tapi sebelumnya telah dikurangi untuk membayar hutang di warung Bu Minah."
"Hei Dewi! Jangan semena-mena kamu, ya. Kamu yang berhutang berarti kamu juga yang harus bayar. Jangan membebankan hutang kamu pada orang lain!" seru Sofia tak terima.
"Kamu tidak berhak mengatur jatah uang belanjaku. Hanya Mas Haris yang bisa mengatur nafkah dan membaginya secara adil. Kamu tidak boleh seenaknya memotong uang belanja untuk kau pakai bayar utang di luar sana." Mendengar apa yang dikatakan oleh Sofia, Dewi tertawa mengejek.
"Sofia ... Sofia. Kamu ini terlalu polos. Sudah sekian tahun menikah tapi tidak mengenal sifat suami sendiri. Kamu tahu kalau Mas Haris tidak sebijak itu. Dia telah menyerahkan semuanya padaku dan tentu saja itu juga berkat bantuan ibu mertua kesayangan. Sekarang kau tahu kan, seperti apa posisiku di hati Mas Haris. Kamu boleh jadi yang pertama, tapi akulah yang paling berharga dan lebih dicintai oleh Mas Haris dibanding dirimu," ucap Dewi semakin angkuh. Perempuan itu kembali tertawa melihat perubahan rona wajah Sofia.
Tak ingin berlama-lama berdebat dengan Sofia, Dewi kemudian bangkit berdiri lalu keluar meninggalkan rumah. Tapi baru saja sampai di ambang pintu, perempuan itu kembali membalikkan badan lalu tersenyum mengejek.
"Kamu harus pintar-pintar berhemat ya, Sofia, biar tidak kelaparan." Perempuan itu tertawa keras lalu bergegas melangkah pulang.
Sofia segera menutup pintu rumahnya dengan kasar. Wanita itu duduk terkulai di sofa. Kepalanya yang tadi pusing semakin berdenyut sakit. Dengan malas, ia lalu meraih amplop putih yang tergeletak di atas meja, yang tadi diberikan Dewi. Dibukanya benda itu perlahan. Matanya membeliak tak percaya saat menghitung jumlah lembaran rupiah yang ada di dalamnya.