Aku hanya bisa menghela napas besar. Tak habis pikir, bisa-bisanya mereka berdua membelikan rumah untuk Hanifa berdekatan dengan rumah ku.
Apa memang mereka sengaja melakukan itu? Tapi untuk apa? Apa mereka pikir aku bakal memaklumi perbuatan mereka dengan alibi jika aku belum juga hamil? Hah, sungguh menyebalkan.
Rasa sakit ini benar-benar membuat hatiku terluka. Hingga aku tak sanggup untuk menahan air mata yang terus berjatuhan tanpa ku minta.
Bukan karena aku lemah, tapi justru air mata ini lah yang membuat ku semakin kuat. Rasa sakit dan kecewa sedikit demi sedikit luruh bersamaan dengan air mata yang jatuh
Ddrrr... Ddrrt... Ddrrt...
Panggilan suara dari Mas Ilham pun membuyarkan lamunan ku. Lagi, dengan sedikit terpaksa aku mengangkat panggilan teleponnya
"Hallo, assalamualaikum...!"
"Waalaikumsalam, Sayang. Lagi sibuk gak Mil?"
"Mmm, enggak Mas. Kenapa emangnya?" Tanya ku begitu kepo
"Kamu gak ikut acara selamatan tetangga baru kita?" Tanyanya balik. Membuat ku jadi penasaran dengan tujuannya.
"Kayaknya sih enggak Mas. Nanti aku juga pulang malam. Soalnya udah janji sama Sarah." Jawab ku berbohong. Ya, aku sengaja memberikan mereka ruang untuk bersenang-senang sebelum mereka hancur.
"Oh yasudah kalau gitu Mil."
"Emang kenapa sih Mas?"
"Mmm, gak papa sih. Barangkali aja kamu mau ikut. Toh disana juga ada Ibu."
"Gak usah deh, lagian juga udah diwakilin Ibu kan? Kayak ya juga udah cukup." Jawab ku sedikit dongkol.
Suasana swdikit hening. Hanya terdengar helaan napas dari Mas Ilham.
"Mil, kamu habis nangis?" Tanyanya membuat ku sedikit terkejut. Apa suara terdengar semencurigakan itu ya?
"Hah? Enggak kok Mas. Aku cuman lagi batuk aja. Gak tau nih, tenggorokan ku tiba-tiba gatel. Uhuk uhuk uhuk!" Kilah ku dengan pura-pura batuk agar dia lebih percaya.
"Yasudah, jangan lupa minum yang hangat-hangat ya. Biar legaan dikit batuknya."
"Hmm, iya."
Klik!!!
Aku pun langsung mematikan sambungan telepon secara sepihak. Rasanya malas jika harus bertele-tele dengan Mas Ilham. Mungkin, jika aku tak tau kenyataan ini, pasti aku akan sangat senang hati menerima perhatian kecil darinya itu.
Tapi sayang, semua itu hanya kedok belaka. Untuk menutupi kebusukan-kebusukan yang sudah ia lakukan.
Sekarang, tugas ku hanya berusaha menyelamatkan semua aset penjualan toko. Sebelum Ms Ilham dan Ibu meraupnya lebih banyak untuk menghidupi gundik tak tau malu itu.
Dengan lincah, tangan ku pun mengutak atik hp mencari kontak Lia, karyawan toko yang sudah lama bekerja disana sebelum aku menikah dengan Mas Ilham. Dialah yang menjadi admin toko. Semua pengeluaran dan pemasukan toko, dia yang mencatat.
Aku pun berusaha menghubunginya. Hanya beberapa detik saja, dia langsung mengangkat panggilan dariku.
"Eh enggak kok Bu. Alhamdulillah, toko lumayan rame Bu. Apalagi tadi ada yang borong beras dua kuintal Bu . Oh ya Bu, ada apa?"
"Alhamdulillah, syukurlah kalau gitu. Gak ada apa-apa kok Lia. Cuman, mau bilang aja. Laporan keluar masuk barang tahun ini dan tahun kemarin tolong kirim ke email aku ya!" Perintahku.
"Ooh iya Bu. Siap laksanakan."
"Oke, makasih kalau gitu Lia."
Setelah itu, aku kembali sibuk dengan pekerjaan ku saat ini. Ya, walaupun aku memiliki usaha toko sembako yang lumayan rame, entah kenapa itu tak membuatku berhenti bekerja disalah satu perusahaan ternama dikota ku.
Tak beberapa lama, laporan yang kuminta sudah dikirim oleh Lia. Baru, setelah selesai mengerjakam semua laporan ku, kini saatnya aku beralih pada laporan keuangan toko ku.
Tak ada yang ganjil dalam hasil laporan yang dibuat oleh Tia. Bahkan, tak ada selisih juga dalam menghitung jumlah pemasukan dan pengeluaran yang ada. Berarti, jumlah uang yang ada direkening toko yang dipegang Mas Ilham, harusnya sesuai dengan jumlah yang tertera pada laporan ini.
Baiklah, nanti akan aku minta kartu atm toko yanga da padanya. Walaupun aku yakin, jika tak bakal semudaj itu untuk mendapatkannya.
*****
Tepat pukul delapan malam, aku pulqng kerumah. Aku membag sengaja pulang lebih lambat, agar acar yang mereka susun berjalan lancar. Baik sekali bukan, diriku ini?
Saat aku membuka pintu, terlihat Ibu dan Mas Ilham duduk bersantai diruang tamu sambil menikmati teh hangat. Terlihat aura bahagia terpancar dari kedua orang tersebut.
"Baru pulang Mil?" Tanya Ibu yang menyambutku dengan senyuman hangat
"Iya Bu, tadi lagi banyak kerjaan. Jadi terpaksa lembur." Alasan ku.
"Kan aku bilang Mil, kamu berhenti kerja saja. Kamu cukup bersantai dirumah sama Ibu. Kan toko juga sudah ku kelola dengan baik, jatah bulanan yang kamu dapat pun bahkan juga bisa lebih banyak dari gaji mu dikantor." Ucap Mas Ilham yang membuat ku tersenyum kecut.
"Iya betul Mil. Kalau kamu kerja terus, kapan kalian punya anak. Ini udah tiga tahun lebih lo kalian nikah. Masa' iya, kamu belum ngisi-ngisi. Bukannya Ibu terlalu menuntut, cuman kan mumpung kalian juga masih muda, kalau lebih cepat punya anak kan lebih baik." Timpal Ibu membenarkan ucapan Mas Ilham.
"Mmm, biar aku pikirkan nanti Mas." Ucap ku tegas.
Kenapa baru sekarang mereka meminta ku untuk berhenti kerja? Setelah Mas Ilham sudah membuat wanita lain menganduk g anaknya? Kenapa tidak dari awal menikah saja? Apa ini juga salah satu rencana mereka?
Mereka berdua pun nampak mengehela napas besar. Mau memaksa ku juga tak mungkin, karena memang secara tidak langsung, aku lah yang berkuasa disini. Ini rumah ku, juga usaha ku.
"Oh iya Mas. Aku mau ambil kartu atm toko dong!"
Mas Ilham nampak sedikit tersentak dengan ucapan ku.
"Ke-kenapa Mil?" Tanyanya sedikit gugup
"Kartu atm ku tadi ketelen Mas. Baru bisa diurus besok. Aku besok juga masih sibuk, jadi gak mungkin bisa ngurus juga. Aku takut kalau butuh apa-apa gimana?"
Sekilas Ibu dan Mas Ilham pun saling pandang. Tapi, ada rasa cemas terukir diwajah mereka berdua.
"Kamu kirim aja uang mu ke rekening toko, nanti biar Mas aja yang ambilin uangnya."
"Lah, emang kenapa sih Mas? Kok kesannya kayak gak ngebolehin. Itu hak aku loh Mas!" Jawab ku sedikit memicingkan mata. Membuat Mas Ilham makin salah tingkah.
"Mmm, yasudah Mas ambilkan dulu. Tapi nanti, kalai udah selesai ngurus kartu atm mu, kamu kembalikan lagi ya. Kan itu buat operasional toko." Jelasnya.
Aku pun hanya menanggapinya dengan menganggukkan kepala. Kemudian, Mas Ilham mulai mengambil donpet dari saku celananya, dan mengambil kartu atm yang kuminta dengan berat hati.
Dengan gesit, aku pun langsung menyambar atm itu dari tangannya
"Makasih ya Mas!" Ucapku kemudian berlalu masuk kedalam kamar tanpa peduli lagi pada mereka berdua.
Selamat menjadi miskin Mas Ilham... Nikmati hari-hari sengsaramu! Hehehe. Ini