Jangan lupa like, komen dan subscribe ya. Dan jangan lupa juga untuk beri rating bintang lima. Terimakasih banyak...
******
Hening, tak ada jawaban dari Ibu. Sepertinya beliau juga bingung untuk memberikan alasannya padaku.
"Mending kita keluar saja Ham. Kayaknya tadi Ibu dengar ada sepeda kotor berhenti. Takutnya itu sepeda motor Mila."
Dengan gerak cepat, aku pun sedikit berlari ke ruang tengah, dan duduk bersantai sambil bermain hp. Seolah-olah aku tak menguping pembicaraan mereka.
Ceklek!!!
Pintu kamar Ibu pun terbuka. Aku mencoba untuk berdeham, agar mereka sadar jika aku sudah ada disini. Mereka berdua pun nampak terkejut menyadari kedatangan ku
"Mi-Mila? Kamu uda pulang sayang?" Tanya Mas Ilham sedikit gagap
'Sayang, sayang... Pala lu peyang!' batinku
"Hmmm... Duduk Mas!" Ucap ku seraya menepuk kursi kosong di depan ku
Sedetik kemudian, Ibu dan Mas Ilham pun saling pandang. Nampak sekali Mas Ilham berusaha menelan saliva yang mungkin menyangkut ditenggorokannya.
"Tumben pulang jam segini Mil? Apa kamu sakit? Ibu buatin teh hangat dulu ya!" Ucap Ibu mencoba mencairkan suasana yang sudah sedikit memanas
"Gak usah Bu. Aku gak haus, jadi gak perlu repot-repot. Nanti aku bisa ambil sendiri dibelakang. Kalian duduk saja, ada hal penting yang ingin aku tanyakan." Ucap ku tegas
Dengan langkah sedikit ragu, Ibu dan Mas Ilham pun mendekati ku, dan duduk dikursi depan.
"Ada masalah apa Mil?" Tanya Mas Ilham yang ku tau hanya basa-basi saja.
"Sudahlah Mas, gak usah sok bod*h seperti itu. Kamu pasti tau apa yang ingin aku bahas."
"Kamu tuh bicara apa sih, Mil? Mas mana tau kamu ingin membicarakan apa?" Tanyanya sedikit sewot
"Sellow aja kali Mas. Gak usah pakek otot." Ucap ku santai, seraya menarik nafas panjang dan membetulkan posisi duduk.
"Kemana uang tiga ratus juta itu Mas?" Tanyaku lagi dengan menatap mereka tajam seraya memicingkan mata.
"U-uang apa Mil? Mas gak paham apa yang kamu maksud."
"Sudah lah Mas, gak usah berkelit lagi. Kemana kamu bawa uang tiga ratus juta ku?" Kini, intonasi suara ku sedikit meninggi karena rasa emosi yang sudah tak bisa ku bendung.
"I-itu, Mas gunakan untuk usaha Mil, sama teman Mas. Dia bilang, usaha itu akan menghasilkan keuntungan yang besar. Nanti, uang itu bakal Ms ganti. Mas janji Mil!" Alibinya.
"Usaha? Usaha apa? Usaha menikahi wanita lain gitu maksud kamu Mas?"
Lagi-lagi, mereka berdua pun terkejut. Mungkin mereka mengira aku masih belum tau kenyataan ini.
"Mil, jangan pernah menuduh suami seperti itu. Ingat, ucapan adalah doa." Tegur Ibu berusaha menasehatiku.
Tapi justru, hal itu malah membuat ku terbahak karena lucu.
"Kenapa kamu malah tertawa Mil. Apa yang Ibu bilang itu beneran loh. Jangan sekali-kali memfitnah suami sendiri. Kalau jadi kenyataan gimana? Apa kamu mau ditinggal Ilham?
Apa kata orang nanti, pasti kamu bakal dicap jelek sama orang-orang jika Ilham meninggalkan mu karena kamu tak hamil-hamil juga."
Blush!!!
Ucapan Ibu berhasil menyentil perasaan ku yang begitu sensitif jika sudah menyangkut dengan masalah momongan. Lagi, aku berusaha menarik napas panjang.
"Bu, aku sudah mendengar dengan jelas apa yang Ibu katakan waktu dirumah si Hanifa. Siapa dia, dan apa hubungannya dengan kalian berdua. Bahkan aku dengan jelas mendengar cemooh Ibu didepan orang-orang yang mengatakan aku sebagai wanita mandul." Kini, aku berusaha mengulum senyum semanis mungkin kearah mereka berdua yang nampak terkejut
"Jadi, jika Mas Ilham ingin meninggalkan aku dan memilih wanita itu, aku bakal mempersilahkan dengan senang hati. Setidaknya, aku sudah melepas sebuah benalu pada kehidupan ku."
"Apa maksud kamu bicara seperti itu Mil? Apa kmu menganggap kami berdua benalu?" Tanya Ibu dengan raut wajah yang tak suka.
Kenapa harus marah sih, jika apa yang aku katakan memang benar adanya. Mas Ilham pun nampak berusaha menenangkan Ibu yang juga terbakar emosi.
"Mil, aku bisa jelaskan semuanya sama kamu. Aku mohon, maaf kan Mas, Mil!" Kini, Mas Ilham pun nampak berlutut dikaki ku memohon belas kasihan ku.
Aku yang sudah muak dengannya, berusaha menjauhkan diri dari Mas Ilhan yang masih berusaha meraih kaki ku. Sejujurnya, hatiku terasa sakit dengan kejadian ini. Tapi, aku berusaha untuk tetap tegar dan tak ingin mengeluarkan air mata. Agar mereka tau, bahwa Mila bukanlah wanita lemah.
"Mau menjelaskan apa lagi Mas? Semua sudah jelas. Kamu sudah mengkhianati pernikahan suci ini, dengan menikahi wanita itu sampai dia mengandung anak mu. Aku tak keberatan jika kita harus berpisah, Mas. Tapi satu yang aku pinta, tetap kembalikan uang yang sudah kamu ambil dari rekening toko ku.
Jika tidak, aku tak segan-segan akan membawa masalah ini kejalur hukum. Karena kamu sudah menggelapkan uang ku." Aku pun berusaha beranjak dari tempat duduk. Dan dengan sedikit menghentakkan kaki, hingga pegangan tangan Mas Ilham pun terlepas.
Dengan langkah tegas, aku berjalan menjauhi mereka yang nampak kebingungan untuk merayu ku yang sudah tak mempan lagi. Mungkin, mereka bingung jika harus berpisah dengan ku. Karena mereka sadar, aku lah mesin pencetak uang bagi mereka.
"Mmm, dan satu lagi..." Langkah kaki ku terhenti, sejenak memutar badan dan melihat kearah mereka.
"Tolong kalian angkat kaki dari sini sekarang juga . Jangan bawa benda apapun yang ku beli dari hasil keringat ku sendiri.Dan untuk proses perceraian kita, kamu tak perlu khawatir, biar aku yang urus semuanya Mas.
Dan jika uang itu kau gunakan untuk membeli rumah untuk gund*k mu, kembalikan sertifikat tanahnya padaku. Dan ku anggap semua masalah selesai. Berbahagialah kamu dengan wanita pilihan hatimu. Semoga saja kau tak pernah menyesalinya!" Aku pun segera memalingkan wajah.
Rasa panas menahan emosi dan tangis, kini tak bisa ku bendung lagi. Bagaimana pun juga, aku begitu rapuh menghadapi ini semua. Apalagi tak ada tempat untuk ku mengadu dan berkeluh kesah karena kedua orang tuaku sudah tiada.
Untuk menghubungi Tiara, adik kandung sendiri, rasanya juga tak mungkin. Aku tak ingin, dia ikut mencemaskan keadaan ku.
Kini, aku sudah mendaratkan berat tubuh ku diatas kasur. Ku tumpahkan semua air mata yang membuat sesak, setidaknya itu bisa sedikit melegakan perasaan. Berusaha terlihat tegar memanglah tak mudah. Apalagi, aku memang sangat mencintai Mas Ilham.
Karena selama ini, sifat dan perhatian dia padaku memang begitu spesial. Dan harus diapatahkan sepatah-patahnya dengan hal buruk ini. Ibarat kata, sudah di ajak melayang tinggi, lalu dihempaskan begitu saja ke bumi. Sakit, tapi tak berdarah.
Tok tok tok!!!
"Mil, tolong buka pintunya. Kita bicarakan ini baik-baik ya Sayang!"