9. Waduh, Sayang


"Hai Izza, dari mana kamu kemarin sore?" tanya Vera pada Izza yang baru tiba di kelas.

"Oh, yang ketemu kamu kemarin itu?"

"Hooh"

"Aku dari rumah saudaraku. Syukuran anaknya diterima kerja, " jawab Izza.

"Alhamdulillah. Gajinya besar? "tanya Vera.

" Iya sih, tapi katanya harus bayar 5 juta, " jawab Izza.

"Lho kok bayar? Banyak sekali pula. Sayang sekali. Daripada buat menyuap, uang segitu banyaknya mending buat jalan-jalan ke tempat wisata. Atau buat beli kerupuk, bisa dapat satu truk. Bisa bagi-bagi orang sekampung, hahaha... " sahut Nurani.

"Hahaha... bisa aja Nur... " Izza tergelak.

" Eh, itu kan "lebih baik" daripada dibuat "gituan." Sudah uangnya hilang, malah dapat dosa. Rugi banget kan?" lanjut Nurani.

"Dia kan butuh kerja Nur, " ucap Vera.

"Lah, kan, apalagi. Orang butuh kerjaan kok disuruh bayar. Kan aneh? "

"Maksudmu bagaimana Nur? " Vera mulai gemas mendengar celetukan Nurani.

Teng-teng- teng!

Kembali benda antik itu "berteriak" tanda jam pelajaran dimulai.

"Ntar jawabannya ya, " ujar Nurani sambil turun dari meja, dan berjalan menuju bangkunya.

******

Sruuut!
Suara sedotan dari mulut Vera membuat beberapa teman di kantin menoleh kepadanya. Ia cuma meringis menampakkan giginya yang gingsul.

"Kamu sih, nyedotnya kenceng banget, " bisik Nurani. 

"Ayo ke taman Nur. Katanya mau menjelaskan yang tadi, " ajak Vera pada Nurani yang masih menikmati teh botolnya.

 
Uh, pake merem segala.

Angin semilir mengiringi langit yang mulai meredup.

"Tentang apa ya?" tanya Nurani setibanya di bangku taman.

"Soal suap tadi. Katamu rugi banget. "

"Ya iya lah. Mengeluarkan uang begitu banyak buat menyuap. Tidak seimbang sama gajinya.  Misalnya perbulan gajinya 1 juta. Untuk mengembalikan 5 juta, berarti dia hanya kerja bakti. Sudah kehilangan uang, tenaga, juga waktu. Belum lagi yang menyuap dan yang disuap sama-sama masuk neraka. Masih ditambah lagi  status gaji yang diterima jadi haram. Nggak rugi besar bagaimana?"

"Lho, kok sampai separah itu?"  tanya Vera.

"Mungkin banyak yang belum mengerti. Padahal ini masalah penting. Dan kalau ini terjadi pada pejabat publik, tentu saja untuk mengembalikan modal  kampanyenya yang besar, sangat berpeluang untuk korupsi, kalau tak kuat iman. "

"Iya ya. Kamu kok ngerti sih Nur? Kayak ustadzah. "

"Kan Pak Rusman pernah menjelaskan."

"Lho, itu kan pelajaran minggu lalu Ra. Kamu kemana waktu itu?"

"Oh, iya,  aku ingat. Tapi pas bagian itu perutku mulas, nggak kuat. Lari aku ke toilet, hehehe."

"Sebenarnya perbuatan apa saja, kalau awalnya tidak benar, ya selanjutnya juga tidak benar. Niatnya salah, caranya benar jadinya tidak baik. Niatnya benar, caranya salah juga tidak bisa. Apalagi niatnya salah caranya salah.  Yang terbaik, melakukan  kebaikan apa saja diniatkan untuk mencari ridho Allah. Ikhlas itu namanya. Amal itu kalo tidak ikhlas, Allah nggak mau menerima. "

"Contohnya Nur? " 

"Contoh yang pertama, menikah untuk mengeruk harta  suami. Contoh kedua, mencuri untuk disedekahkan. Nomor tiga,  banyak se... " cotehan Nurani tiba-tiba berhenti. 

Sambil memegangi dada, tanpa sadar pandangannya mengikuti sesuatu.

Vera bingung sesaat, tapi akhirnya dia mengerti.  Ada serombongan siswa putra tengah berjalan melewati mereka sambil bercanda. Pasti si Nur naksir salah satunya.

"Ehm ehm... " suara deheman Vera mengejutkan Nurani.

Dia tersipu malu.

"Hayo, kamu naksir siapa? Sampai nggak kedip. " gurau Vera.

"Anu... anu. Eh.. " Si Nur masih salah tingkah.

"Astaghfirullah hal adziim. Aduuh... " keluh Nurani.

" Kak Sholeh, Irfan, Yunan, atau Kak Raihan nih? " Vera mengabsen mereka satu persatu.

Vera tidak mendapat jawaban dari Nur. Ia justru melihat Nurani berkaca-kaca sambil
beristighfar.

"Mengapa mendengar namanya saja hatiku berdebar? Sedangkan mendengar nama-Mu tidak  ya Allah? " batin Nurani sambil berlari meninggalkan Vera yang terbengong-bengong.

 

Terima🙏💕 kasih sudah mampir. 

Terima🙏💕 kasih pula bila mau tap ❤ atau berkomentar. 











Komentar

Login untuk melihat komentar!