Bab 8. Penyesalan Ningsih

Bab 8. Penyesalan Ningsih


"Kamu pergi dari sini sekarang juga," usir Adelia setelah Radit dan Laura pergi.


"Adel, ini sudah tengah malam. Mau subuh malahan. Biarkan Ningsih pergi besok pagi. Mbak yang akan antarkan dia pulang," bujuk Mika. 


"Adel tidak mau melihat wajah perempuan itu lagi, Mbak."


"Mana ada kendaraan di jam segini. Kalau terjadi sesuatu sama Ningsih bagaimana. Bagaimanapun Mbak yang sudah merekomendasi Ningsih untuk bekerja di sini. Otomatis Mbak bertanggung jawab untuk memulangkan dia.


"Terserah Mbak saja. Adel capek. Adel mau istirahat," timpal Adelia meninggalkan kamar tersebut.


Mika memperhatikan Adelia keluar dari kamar. Adelia sudah lebih mendingan dari tadi. Tidak lagi marah-marah. 


"Mbak, maafkan Ningsih," ujar Ningsih mengalihkan perhatian Mika ke arahnya.


"Mbak tidak menyalahkan kamu. Kamu terpaksa melakukan semua ini. Andai saja Mbak lebih memperhatikan mereka, ini tidak akan terjadi. Apalagi kalau Mbak tahu kamu butuh uang untuk operasi ibu kamu. Kenapa kamu nggak cerita ke Mbak."


"Ningsih tidak berani cerita ke Mbak. Apalagi Ningsih tidak akan sanggup membayar semua uang itu seumur hidup Ningsih. Itu bukan jumlah yang sedikit."


"Mbak tidak masalah kamu mau pinjam berapa pun sama Mbak. Kamu memerlukan uang untuk menyelamatkan orang yang telah melahirkan dan membesarkan kamu. Bukan untuk berfoya-foya. Mbak sudah menganggap kamu sebagai adik Mbak sendiri. Kamu sudah mengurus keponakan Mbak dengan sangat baik. Bahkan kamu tidak jarang menjaga anak Mbak. Yuda sangat senang bermain bersama kamu dan Laura."


"Mbak," lirih Ningsih terharu.


Ternyata masih ada orang baik yang mau menolongnya dengan ikhlas. Padahal mereka tidak ada hubungan darah. Ningsih sudah berusaha pinjam sama saudara ibunya. Namun tidak membuahkan hasil. Tidak ada satupun di antara mereka yang mau meminjamkan uang. Bahkan menyuruhnya masih juga enggan. Hanya berdiri di depan pintu.


Di antara saudara ibunya, hanya ibunya yang kekurangan. Ibunya adalah anak pertama yang dijadikan tulang punggung keluarga. Setelah kakeknya meninggal, ibu Ningsih memilih keluar sekolah dan tidak menamatkan sekolah menengah untuk membantu keuangan. Sedangkan ketiga adiknya tetap bersekolah dan dibiayai sampai tamat kuliah.


Bagaikan kacang lupa dengan kulitnya. Mereka lupa dengan semua jasa ibu Ningsih. Mereka yang sudah sukses memilih hidup sendiri dan tidak mau tinggal di rumah kumuh lagi. Meninggalkan sang nenek yang sakit-sakitan bersama ibunya yang sudah menjadi janda.


"Ningsih, kamu tidak apa," tegur Mika menyadarkan Ningsih yang sempat melamun.


"Ti … tidak apa-apa Mbak," jawab Ningsih tidak enak ketahuan melamun.


"Ningsih," panggil Mika. Padahal mereka sedang bertatap-tatapan.


"Ada apa, Mbak?" tanya Ningsih heran. Kenapa mesti panggil nama jika mata mereka bertemu.


"Mbak tahu semua sudah terlambat. Tapi mending terlambat daripada nggak sama sekali.


"Maksudnya Mbak?"


"Mbak mewakili Radit dan Adelia minta maaf sebesar-besarnya sama kamu Berkat keegoisan mereka berdua kamu jadi menderita. Mbak doakan, semoga suatu hari nanti kamu mendapat laki-laki yang lebih baik daripada Radit ya. Carilah laki-laki yang benar-benar mencintai kamu satu-satunya."


Ningsih sedikit tersentak mendengar pernyataan Mika. Apakah bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik seperti Tuannya. Laki-laki yang sangat menyayangi istri dan anaknya. Mereka berdua memang sudah menikah siri, hal itu tidak bisa menggeserkan posisi Adelia di hati tuannya. Sosok yang bisa memberikan rasa aman dan nyaman. Sangat jarang ada laki-laki sebaik Tuannya. Kekurangan hanya satu, khilaf telah menjadikan dirinya sebagai simpanan. 


"Semoga Mbak," jawab Ningsih sekenanya.


"Bagaimana kondisi ibu kamu sekarang," ujar Mika mengalihkan topik lain.


"Ibu Ningsih sudah baik-baik saja berkat pertolongan Tuan, Mbak." 


"Baiklah kalau gitu. Sekarang kamu bereskan semua barang-barang milik kamu. Besok pagi Mbak antar kamu ke stasiun. Hanya itu yang bisa bantu."


"Iya Mbak, terima kasih."


"Apa semuanya sudah selesai?" tanya David sudah berlumuran menunggu seperti patung.


"Mas, kenapa Mas ada sini. Sejak kapan?" 


"Mas memang sudah di sini dari tadi. Kan tadi Mas yang bawa Laura ke sini," sahut David sedikit cemberut diabaikan sang istri. Orang sebesar dirinya masak tidak nampak.


"Maaf Mas, aku sampai tidak sadar Mas ada disitu."


"Itu lah perempuan. Kalau sudah bicara sesama perempuan jadi lupa semuanya," ujar David ingin mencairkan suasana alias bercanda. Namun perkataannya sangat garing. Malahan membuat suasana menjadi lebih suram.


"Salah ya," tuturnya kikuk menggaruk dagu.


"Sudahlah, ayo Mas kita pergi," ujar Mika mengajak sang suami pergi dari sana.


"Ningsih, Mbak keluar ya," lamitnya sebelum pergi.


"Iya Mbak." 


Setelah kepergian mereka semua, Ningsih jatuh terduduk. Kedua kaki ditekuk, lalu meletakkan dahi di lutut. Dengan kedua tangan yang melingkari kaki. Tidak menunggu lama butiran-butiran air mata langsung membasahi pipinya. Menangis tersedu-sedu pada malam menjelang subuh tersebut. Menyesali apa yang telah dilakukan. Mengkhianati perempuan yang sangat mempercayainya. Dia hanya ingin menyelamatkan nyawa sang ibu.


"Maaf, maaf Nyonya Adel. Maafkan Ningsih," ujarnya secara berulang-ulang tanpa henti. 


***

Adelia tidak langsung berjalan ke arah kamarnya. Tidak sesuai dengan perkataannya tadi. Tubuhnya memang capek, tapi langkah kakinya menuju ke kamar anak semata wayang. Di dalam perjalanan dia berpapasan dengan Radit. Radit baru saja keluar dari kamar Laura. 


"Adel!"


"Adel capek Mas. Adel mau segera istirahat setelah melihat Laura," sahut Adelia cepat sebelum Radit berkata lebih jauh lagi. Sekarang dia sangat lelah lahir dan batin.


"Baiklah, kamu istirahat duluan. Nanti Mas menyusul. Mas mau bicara sama Mbak Mika sebentar."


"Hmm," gumam Adel ditambah dengan sekali anggukan. Setelah itu mereka berdua berjalan ke arah tujuan masing-masing.


***

"Radit, bagaimana dengan Laura?" tanya Mika yang berpapasan dengan Radit di ruang keluarga. Tidak lupa sang suami yang berjalan di samping.


"Laura sudah tidur Mbak," sahutnya.


"Apa dia sudah tenang?"


"Sudah Mbak. Radit sudah menenangkan dia sebelum dia tidur."


"Baguslah. Mbak hanya khawatir akan mempengaruhi kondisi Laura."


"Laura sudah baikan, Mbak. Mbak tidak perlu khawatir lagi. Dia juga sudah ditemani sama Adel," terang Radit.


"Adel ada di kamar Laura?"


"Iya."


"Bukannya dia mau istirahat."


"Katanya hanya sebentar saja."


"Oh begitu."


Radit hendak meninggalkan mereka berdua. Niatnya mau melihat keadaan Ningsih setelah dia pergi. Tadi dia terpaksa berbohong kepada Adelia agar tidak menambah masalah mau menemui Ningsih.


"Radit, sini ikut Mbak sebentar. Ada yang ingin Mbak tanyakan sama kamu," ajak Mika ke arah sofa. Biar lebih mudah dan nyaman berbicara.


"Baik Mbak," sahut Radit menurut. 


***

"Radit, Mbak masih tidak habis pikir sama pola pikiran kamu. Bagaimana kamu bisa mempunyai pikiran untuk nikah siri sama Ningsih," ujar Mika buka suara.


"Mbak masih tanya kenapa? Kenapa Mbak nggak tanya saja ke Mas David," tanya Radit balik. 


"Kenapa kamu membawa-bawa nama aku," ujar David sewot. Perkataan Radit seperti menyalahkannya saja.


"Sekarang coba Mbak tanya ke Mas David. Bagaimana jika Mas David di posisi Radit. Bagaimana keadaan Mas David tidak pernah dilayani lagi selama 5 tahu. Apakah dia sanggup? Itu pun jika Mas David masih normal."


"Aku ni masih normal tahu," sahut David cepat sambil duduk dengan tegap.


David jadi salah tingkah tiba-tiba namanya dibawa. Mana mungkin dia sanggup bertahan selama itu. Mika hamil saja sering dia terobos. Jangankan 5 tahun, 5 bulan menunggu masa lahiran dan masa nifas saja sudah uring-uringan tidak karuan. Hormon di dalam tubuhnya sudah bergejolak hebat minta dilampiaskan.


"Kenapa kalian jadi menetap aku seperti itu,l?" tanya David ngeri dengan tatapan mereka berdua. 


"Mas!" seru Mika menuntut jawaban dari pertanyaan Radit. 


"Ap … apa," sahut David terbata-bata. Nyalinya langsung ciut kalau Mika mengeluarkan panggilan seperti itu.


"Apa kamu juga akan cari yang lain?"


"Nggak, nggak. Mana mungkin aku cari yang lain," sahutnya berkeringat dingin.


"Mas yakin?"


"Yakinlah, masak enggak. Ha, ha, ha," cicit David sambil tertawa garing.


"Mas!" seru Mika marah.


"Mika, setiap orang memiliki hormon yang berbeda. Laki-laki yang normal setidaknya ingin melakukan itu seminggu sekali atau sebulan sekali. Itu adalah hal yang wajar. Kalau misalnya laki-laki itu tidak ada nafsu sama sekali, itu tandanya ada masalah dengan hormonnya. Bisa-bisa orang itu jadi impoten atau disfungsi alat kelamin karena terlalu lama tidak berhubungan. Itu bukan berarti kami ini hyper juga. Itu kebutuhan logis layaknya kita butuh makan."


"Mas jangan banyak alasan."


"Memang itu kenyataannya. Makanya, lain kali banyak-banyakin baca artikel tentang kesehatan. Jangan lihat majalah saja."

 

Bersambung ….


Komentar

Login untuk melihat komentar!