MARISA
MARISA

“Sial!” 

Aku menatap ban mobilku yang mendadak kempes. Kulirik jam di tanganku, jarumnya berada di angka 12 malam. Menarik napas panjang dengan emosi yang menguasai. Sempurna penderitaanku malam ini, gawaiku mendadak mati. Kuedarkan pandanganku ke segala arah. Gelap, tidak ada seberkas cahaya kecuali cahaya dari lampu mobilku yang masih menyala. 

Hawa dingin menyergap, suasana mendadak tidak bersahabat. Angin bertiup sepoi-sepoi membuat bulu kuduk merinding. Aroma melati meyeruak menusuk hidung. Mengurutu kesal di dalam hati, jalan yang ramai mendadak sepi. Kuayunkan langkah untuk mencari bantuan, meski pun perasaanku mengatakan ini langkah sia-sia.

“Mas, ada yang bisa dibantu?” Aku terlonjak kaget, jantungku berdetak kencang, karena suara lembut seorang wanita yang berasal dari belakangku.

Memutar badanku perlahan, seorang gadis berparas cantik menatapku tanpa kedip, rambut hitamnya terangkat akibat ulah angin malam. Netraku terpana akan parasnya, entah mengapa emosiku mendadak hilang saat menatap manik mata cokelatnya.

“Mas!” teriaknya pelan, bahkan saat berteriak pun suaranya mengalun lembut di telingaku.
Aku tersadar dari sikap memalukan. Merutuki diri sendiri yang terlihat bodoh di hadapan gadis sederhana. Ya … dia sederhana dan terlihat kampungan, tapi pesonanya jauh berbeda dengan gadis-gadis yang pernah kutemui.

Aku menceritakan masalahku, gadis bermata cokelat itu mengajakku bermalam di rumahnya. Dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak. Dia berjanji, besok pagi mobilku akan segera diperbaiki oleh Ayahnya. 

Anehnya, aroma melati semakin menusuk hidungku, ku arahkan indera penciumanku ke dekat gadis mungil di sampingku tanpa sepegetahuannya. Tidak salah lagi, aroma melati sangat kental menguar dari tubuhnya. Kutepis pemikiran buruk yang terlintas, mungkin saja dia mengunakan parfum aroma melati.

Aku dibangunkan oleh seorang lelaki senja yang mengaku sebagai ayah gadis yang semalam membawaku kesini. Dia memintaku untuk pergi, mobilku sudah diperbaiki. Aku menuruti permintaanya, melangkah keluar dari rumah yang layak di sebut gubuk. Gadis bermata cokelat itu melambai kearahku. 

“Aku Marisa, jika kamu ingin bertemuku lagi datang saja ke tempat semalam kita berjumpa!” teriaknya kencang, alunan 
suaranya membius alam pikiranku.
***

Malam ini sungguh terasa berbeda, angin malam mondar-mandir tak tahu malu. Kedinginan memeluk erat tubuhku. Ingatanku tertuju pada Marisa, parasnya yang ayu mengetarkan diding cintaku. Mungkinkah aku jatuh cinta padanya?  Cinta pada pandangan pertama.

Rinduku membuncah dalam dada, rasa yang tiba-tiba bertandang tanpa kukira. Alunan suara Marisa tergiang di telingaku. Hasrat untuk menemuinya berkecamuk, resah dan gelisah menguasai. Berusaha memejam mata, kubenamkan wajahku di atas ranjang di dalam kamarku. Hasilnya sia-sia, kulirik jam yang tergantung di dinding, belum terlalu larut untuk berjumpa dengan Marisa.

Kupacu mobilku dengan kecepatan tinggi, perasaan rindu kian memburu. Satu jam kemudian, mobilku berhenti ditempat yang sama seperti semalam. Tidak ada yang spesial dari tempat ini, gelap tanpa cahaya. Sebatang pohon beringin tua memayungiku saat ini. Netraku mencari keberadaan Marisa, sesaat menyesali kebodohanku, andaikan kemarin malam aku meminta nomor teleponnya. Aku tidak perlu datang ke tempat menyeramkan ini.

“Mas!” sapanya lembut.

“Kamu terlalu lama menemuiku, dadaku hampir meledak memendam rindu.” 
Ucapanku disambut gelak tawa dari Marissa. 

Tiba-tiba, dia memeluk tubuhku erat, aroma melati tercium kembali, kali ini lebih kental menganggu indera penciumanku. Marisa mengajakku masuk ke dalam mobil, sekilas netraku menangkap bayang lelaki senja yang wajahnya berlumuran darah. Tersenyum ke arahku lalu hilang di terpa angin malam yang membingungkan, terkadang sejuk, sedetik kemudian berubah menyeramkan. Kuusap wajahku kasar, memilih kata halusinasi untuk bayangan yang sempat membuat detak jantungku berhenti.

“Mas!” Suara lembut itu mengugah naluri lelakiku.

Marissa menatap lekat, diam tanpa kata. Namun, tingkahnya mewakili perasaan yang ada dalam hatinya. Jemari lentiknya membelai wajah tampanku, semenit kemudian, bibir ranumnya mengecup pelan bibirku. Konsentrasiku buyar, aroma darah segar menguar menganggu indera penciumanku. Bau busuk memenuhi mobilku, padahal pewangi tidak lupa aku semprotkan setiap hari. Marisa terus saja menjalankan aksinya, kegundahanku tidakku ceritakan pada Marissa yang terlihat biasa saja tanpa merasakan apa-apa.

“Terima kasih,” bisiknya lembut di telingaku.
***

“Selamat pagi, Bro!” sapa Riko rekan kerjaku.

“Pagi!” balasku singkat. Ingatanku tentang peristiwa semalam dengan Marisa lebih menarik dari pada berbicara dengan Riko.

“Senyam-senyum aja, kayak ABG jatuh cinta,” goda Riko

“Emang gue lagi jatuh cinta,” sahut kucepat.

“Eh! Ada berita yang lebih penting dari pada cerita lo, lo udah tahu belum tentang penemuan jenazah wanita di jurang dekat jalan yang sering lo laluin?” Perhatianku beralih pada Riko.

Riko menyerahkan sepucuk surat kabar kepadaku, rasa tidak percaya menguasaiku. Nama dan foto wanita yang terpampang di surat kabar itu adalah Marisa. Bagaimana ini bisa terjadi, padahal semalam kami baru bercumbu mesra. 

“Dia itu korban kecelakaan,” ucap Riko.

Napasku terasa sesak, jantungku berhenti berdetak. Peluh membasahi seluruh tubuhku. Tiba-tiba, bayang Marisa berdiri di hadapanku. Wajah cantiknya di penuhi darah, rambut hitamnya tergerai menutupi sebagian wajahnya.

“Mas, kamu akan selalu menjadi milikku!” teriaknya lembut.

TAMAT

Komentar

Login untuk melihat komentar!