BUNUH CINTAKU
BUNUH CINTAKU

Tak pernah sedetik pun, aku melupakan bayangnya dalam hidupku. Lelaki berparas tampan dengan hidung mancung yang menghiasi kesempurnaan fisiknya. 

Pesona dan kharisma yang ada padanya mematahkan pertahanan iman di dada. Pandangan penuh cinta yang diarahkan padaku dalam hitungan detik membuatku melayang di udara. Berusaha mengikis jarak yang tercipta, hingga harum nafasnya menguar membius kesadaranku.

“Aku mencintaimu, Namira. Kamu cinta pertama dan terakhirku,” bisik Virzha dengan nafas yang memburu. Tangan kekarnya menarik tubuh sintalku menempel pada tubuhnya.

“Aku juga mencintaimu dengan segenap jiwaku, Vir. Aku tidak tahu, apakah hari-hariku akan berjalan normal tanpa kamu di sisiku,” ungkapku dengan membalas dekapannya. 

Virzha terlihat lebih tampan dengan balutan baju pengantin di tubuh atletisnya. Kulepas dekapan penuh rindu yang bertahun tersimpan rapi, sampai sisi kewarasanku hampir pergi meninggalkan jiwa ini. 

Lima tahun terpisah jarak, hanya bayang dan suara yang mampu kurengkuh lewat udara. Hari ini, rinduku terobati, sosok yang kurindui mampu kujamah dengan jari. Degup jantung berirama cepat, sentuhannya menambah bunga cinta yang telah lama tumbuh di hati. 

Kupindai seluruh isi ruangan dengan netraku, penuh bunga mawar sesuai kesukaan Virzha. Ranjang empuk yang terletak rapi di tengan ruangan, tidak ada bedanya dengan foto yang dia kirimkan untukku. Baju pengantin yang membalut tubuhnya adalah pilihanku. 

Perayaan pernikahan hari ini adalah wujud dari rancangan indah yang kami rangkai bertahun lamanya. Kutatap wajah tampan yang memporak-porandakan hatiku, wajah itu teduh dan menenangkan tak ubah seperti pertama kujatuh hati.

“Kamar pengantin impianmu, Vir. Dekorasi bunga mawar putih dengan taburan kelopak mawar merah di atas sprei putih. Yang katamu, bisa membangkitkan gelora cinta saat malam pertama. Lampu warna-warni membuat suasana semakin romantis, impianmu terwujud, Vir,” tukasku seraya menyandarkan kepala di dada bidangnya.

“Terima kasih, Namira. Kamu mewujudkan mimpi kita,” bisik Virzha lembut. Bibirnya mulai menjelajah wajahku, hingga sentuhannya******bibir sensualku yang berbalut lipstik merah menyala. Sejenak, menikmati untuk menuntaskan hasrat yang lama terpendam. Kukecup perlahan dan melepasnya pelan.

“Cukup, Vir. Aku rasa ini semua sudah cukup mengobati rindu yang hampir meledakkan dada,” lirihku pelan seraya bangkit dari atas ranjang penuh taburan kelopak mawar yang berserakan karena ulah kami berdua.

Kutarik perlahan pergelangan tangan Virzha. Ekspresi wajahnya menandakan kecewa, binar matanya menjadi bukti bahwa dia memendam rindu yang sama seperti diriku. Melepas tanganku lembut dari tangannya, bukan berarti dia berhenti menjamahku. Kedua tangannya melingkar di pinggangku, hingga deru nafasnya membangunkan bulu romaku. 

Jemari lentikku sibuk menata kembali kelopak mawar yang berserakan tiada bentuk. 

“Aku masih merindukanmu,” desisnya pelan. 

“Rinduku lebih besar untukmu, tidak mampu lagi kujabarkan dalam kata. Cintaku terlalu dalam untukmu, hingga tidak bisa terhapus begitu saja,” lirihku pelan sembari melepas diri dari jeratnya.

“Tetaplah di sisiku, jangan pernah menjauh apa pun yang terjadi, Namira,” ucapnya penuh harap.

Kalimat yang selalu diucapkannya padaku, ucapan saling menguatkan kala jarak menghambat raga untuk bersua. Tunggu aku kembali, kita rajut impian yang tertunda, janji yang kuucapkan setiap Virzha menghubungiku. 

Meniti hari dengan perasaan bahagia, karena ada cinta yang setia menungguku di tanah air tercinta. Amerika, benua pilihanku untuk merajut asa, menggapai cita. Hingga, semua tidak terjadi sesuai rencana.

“Bunuh rindu dan cintamu untukku, Vir. Hubungan kita sudah berakhir.  Siapkan dirimu bertemu Naina di atas pelaminan. Aku yakin dia telah lama menunggu pengantin prianya,” pungkasku dengan mata yang mulai terasa panas.

"Aku tidak bisa, ini sebuah kesalahan, Namira!” tegas Virzha dengan penuh keyakinan.

“Ini bukan kesalahan, ada benihmu di Rahim Naina. Belajarlah mencintainya,” pintaku dengan senyum bahagia menghiasi bibir ranumku, jemariku sibuk menyeka air mata di wajah tampannya.

Mengandeng Virzha dengan mesra, melangkah di atas karpet merah dengan hati hancur remuk tak bersisa.Ratusan pasang menatap bahagia tanpa tahu, ada hati yang terluka karena kebahagian yang tercipta. 

Naina tersenyum bahagia. Tatkala, netranya menangkap sosok lelaki yang bertahun diimpikannya. Kebahagiannya adalah hal yang terpenting dalam hidupku, meski cara salah yang ditempuh untuk mengukir bahagia di hati. Setidaknya, senyum Naina mampu mengobati sedikit lara yang tercipta, karena dia adik kandungku tercinta.

TAMAT

Komentar

Login untuk melihat komentar!