DIMENSI LAIN
“Raja, ngapain aja, dari tadi diam tak bersuara,” tegur Maira membuyarkan konsentrasiku.
“Ada apa, Mai? Aku lagi sibuk,” tanyaku tanpa menoleh wajah cantiknya.
“Sibuk mulu, aku mau cerita sama kamu,” ujar Maira dengan logat manja, membuatku gemas menyentil pipi bakpaonya.
Aku melanjutkan kesibukanku, mataku fokus menatap layar laptop. Maira bergelayut manja di lenganku, kebiasaan yang selalu dia lakukan sedari dulu.
Rentetan kalimat dengan beragam genre keluar dari bibir sensualnya.
Aku hanya perlu mengangguk tanpa mengintrupsi. Kalimat “Wanita ingin selalu di dengar” menjadi andalanku, saat bersama wanita berambut pirang dengan poni yang hampir menutupi mata birunya.
Benar saja, dia hanya ingin aku mendengar curahan hatinya. Perlahan tapi pasti, Maira merebahkan kepalanya di pangkuanku. Tiba-tiba, terdengar suara benda jatuh, dentuman yang terdengar memekakkan telinga. Sumber suara berasal dari arah kamarku.
“Ja, suara apa itu?” tanya Maira seraya bangkit dari tidurnya. Tubuhnya diseret lebih dekat denganku.
“Tenang, palingan koperku yang jatuh, “ ujarku pada Maira, pandangan matanya tertuju ke arah kamarku.
“Koper jatuh? Yang benar saja kamu, Ja. Nggak ada gempa, gimana ceritanya bisa jatuh?” tanya Maira dengan ekspresi tidak percaya.
“Udah, lanjut lagi ceritanya,” kataku.
Kali ini, aku lebih fokus mendengar cerita Maira daripada menyelesaikan tugas kuliahku yang sudah deadline. Itu semua demi mengalihkan perhatiannya pada suara dentuman dari dalam kamarku.
Sejurus kemudian, hawa ruangan menjadi dingin, bagaikan hujan salju yang menyerang. Ketakutan menguasai Maira, suhu tubuhnya meningkat, entah karena hawa dingin yang meyergap atau ketakutan nyata sedang bertandang dalam jiwanya.
“Ja, rumah barumu hawanya nggak banget, kamu pindah, ya,” tukas wanita wanita cantik di sampingku.
Baru saja selesai bicara, suara dentuman kembali terdengar. Sekarang, sumber suara tepat di atas loteng ruangan kami berada. Maira semakin mengencangkan cekalan tangannya di lenganku. Membuat tubuhku sulit untuk digerakkan.
“Aku hubungi pak Bagas, lebih baik kamu pulang. Sepertinya, hujan akan turun sebentar lagi,” ucapku pada Maira dengan intonasi suara lembut.
Untungnya, dia mengiyakan perkataanku tanpa membantah seperti biasanya. Sepuluh menit kemudian, Pak Bagas menjemput Maira.
Baru beberapa langkah menuju ke dalam rumah, aroma bunga melati menguar menusuk hidung. Kulirik jam tua yang tertancap didinding. Jarum jam tepat diangka 12 malam. Kupercepat langkah menuju ke dalam kamar. Tanganku mendorong daun pintu, betapa terkejutnya jiwa. Semua barangku berserakan bak kapal pecah. Kuhempaskan tubuh ke atas ranjang, situasi yang membuat sisi kewarasaanku pelan-pelan menghilang.
“Sayang, aku tidak suka kamu dekat dengan wanita itu!” sentak Mirna membuyarkan anganku.
“Sampai kapan kamu akan bersikap seperti ini? Aku bisa gila Mirna!” sentakku tidak kalah sengit.
Wanita cantik berbalut gaun putih menjuntai kelantai, rambutnya disanggul dengan hiasan konde permata emas menambah keanggunannya. Mata indahnya memancarkan cinta yang tiada duanya. Sejenak, terlena dalam buai kecantikannya, membius alam kesadaranku. Membuatku melupakan Maira setiap sosok Mirna hadir di depan mata.
“Sampai kamu berhenti main dengan perempuan itu, tolong pahami perasaanku. Aku mencintaimu Raja,” lirihnya dengan helaan nafas berat. Perih terlintas dalam hati, saat melihat wajahnya bermuram durja.
“Aku mencintai Maira, dia masa depanku,” terangku dengan perasaan was-was.
“Raja berhenti kau sebut nama wanita itu atau aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri!” ancam Mirna dengan mata memerah, semerah darah.
Kemarahan Mirna kembali menyala, semua barangku di lempar sesuka hati. Semua hancur berkeping-keping. Bau anyir darah tercium oleh indera penciumanku. Mirna menghentikan tingkah gilanya, memandang ke arahku dengan tatapan tajam mengerikan.
“Jangan pernah sentuh Maira, atau aku yang akan melenyapkanmu,” ancamku dengan nafas yang memburu.
Mirna melangkah ke arahku, dicabutnya konde di sanggulnya kasar. Rambut lurusnya tergerai sempurna dalam keadaan marah saja dia bisa secantik ini.
“Kalau aku tidak bisa memilikimu seutuhnya, maka siapa pun tidak bisa memilikimu Raja, kau harus mati!” bentak Mirna dengan berusaha menancapkan kondenya ke arah jantungku.
Namun sayang, secepat kilat konde itu berpindah ke tanganku. Tidak perlu waktu lama untuk Menghunuskan tepat di jantungnya.
Terdengar pekikan menyedihkan dari Mirna, sedetik kemudian, tubuhnya hancur berderai yang terlihat hanyalah percikan-percikan api berterbangan. Pelan dan menghilang di telan kesunyian malam.
TAMAT