PART 7
PHP-in anak orang? Emang siapa yang pernah aku PHP-in. Kecuali yang CV nya aku gantung.
Gegas aku ke depan rumah, mencari tahu siapa yang datang.
Amanda. Seorang content creator tengah duduk di kursi rotan teras rumahku.
"Hai!" sapa gadis yang menggunakan masker itu. Dia langsung berdiri saat aku menghampiri.
"Assalamualaikum," jawabku mengingatkan. Main hai-hai aja. Salam dulu baru hai.
"Waalaikumsallam," ucapnya bersemu malu.
"Sendiri aja ke sini?"
Aku melihat sekeliling, di halaman hanya ada dia seorang.
"Sama tim. Cuma di depan. Bentar doang, ko."
"Ada apa emang?"
"Mau ngasih ini. Bagi hasil konten pengajian beberapa bulan lalu." Amanda mengambil amplop coklat dari dalam tasnya.
Beberapa kali aku pernah mengisi konten YouTube-nya. Tapi baru kali ini ia memberi bagi hasil.
"Tebel banget perasaan," ucapku saat menggenggam amplop itu. Hitung-hitungannya gimana aku gak tahu.
"Tebel. Isinya dua ribuan." Dia terkekeh renyah.
"Mentang-mentang aku ustad receh." Aku ikut tertawa.
"Rejeki calon nganten."
"Tahu dari mana?"
Keningku mengerut. Dari mana dia tahu aku akan menikah. Apa mungkin dari status barusan. Gak mungkin! Baru juga beberapa menit berlalu.
Dimasa pandemi begini aku membatasi tamu undangan. Hanya untuk beberapa teman dekat saja dan saudara.
"Tahu dong, aku 'kan lebih up to date daripada lambe turah," tukasnya.
Aku menggeleng. Tidak enak juga karena tidak mengundang. Sudah terlanjur, akhirnya. "Yaudah sekalian aku ngundang. Dateng, ya!" pintaku.
"Bawa Team. Boleh?"
"Boleh. Asal pake protokol kesehatan." Aku mengingatkan.
"Ingat pesan ibu." Amanda bernyanyi lalu protokol kesehatan.
"Jangan jajan melulu," lanjutku. Lalu kami sama-sama terkekeh.
"Yaudah, deh, ustad. Aku balik.
Mikum." Amanda menghilang dibalik pagar.
"Waalaikumsallam Warahmatullah," jawabku.
Kubuka amplop pemberian Amanda. Masya Allah banyak banget. Alhamdulillah, rejeki pengantin.
***
Selepas gadis itu pergi aku kembali ke kamar. Buka akun media sosial lagi. Teringat DM bro Willi yang belum sempat kubalas.
Lumayan kepo juga dia. Langsung DM nebak mau merit.
Semenit dua menit DM-an dengan bro Willi. Tiba-tiba chat masuk dari seseorang.
"Ustad mau menikah, ya?"
Namanya Rahmah, gadis asal Sumatra. Sempat mau ta'aruf dulu. Tapi gagal. Alasannya karena dia belum siap menikah.
Apakah ini ujian sebelum menikah? Mendadak banyak yang meminta jawaban dari CV yang pernah mereka kasih.
Malah yang jelas-jelas menolak nongol lagi. Ah, sudahlah. Tidak baik berlama-lama mengurusi mereka.
***
Apa bisa pernikahan dilakukan secepat itu?
Jawabanya bisa. Sangat bisa. Wedding Organizer banyak. Catering banyak. Busana pengantin juga banyak. Kalau kata Mba Karin, asalkan punya fffuuulluuss. Segala urusan mulluusss.
Meskipun sudah khitbah. Aku dengannya jarang chat-chatan. Sejauh ini hanya sebatas yang penting-penting saja.
"Kapan adik punya waktu untuk mencari mahar?" tanyaku memastikan.
"Terserah ustad saja. Besok juga boleh."
Sesungguhnya ingin sekali mengirimkan pesan yang panjang-panjang. Tapi apa? bingung.
Tidak nyaman dipanggil ustad. Pengennya dipanggil abang. Tapi nanti saja ngasih tahunya. Pas malam pertama. Eeaa malam pertama lagi.
"Yaudah adik tentuin tempatnya, besok kita ke sana. Mau bareng atau gimana."
Masya Allah, gak kebayang kalau harus bareng. Bisa-bisa gak kuat nginjak pedal gas.
"Aku sama Kak Sarah aja."
Tiga hari sebelum akad. Aku, dan Azizah bertemu kembali. Tujuannya untuk mencari mahar.
Kami janjian langsung di toko perhiasan.
.
Kuperhatikan diri di cermin. Laki-laki dua puluh sembilan tahun, dengan celana jeans hitam dan kaus hitam. Terlihat sangat ... biasa saja.
Namun, aku menyungging senyum saat melihat laki-laki di pantulan sana berdampingan dengan seorang wanita. Gadis itu memegang lenganku erat. Rasanya ... entahlah. Mungkin merasa menjadi laki-laki yang sesungguhnya. Waiting beberapa hari lagi. Seruku kemudian.
Setelah puas berandai-andai. Kuambil kacamata hitam yang tergeletak diatas nakas. menyelipkannya di leher baju. Tidak lupa kunci mobil dan topi hitam yang tergantung.
"Mak. Emak." Kucari satu-satunya wanita yang paling kusayangi itu.
"Ibu di dapur," seru Mba Karin.
"Mamih, aku mau pergi buat beli mahar. Sama sekalian belanja yang lain-lainnya. Do'a kan Aliando, ya, mamih." Kucium takzim punggung tangan halus itu.
"Dasar ustad slengean," celetuk Mba Karin dari belakang.
"Biar selengean yang penting ustad." Kucium punggung tangannya turut serta.
"Iya, hati-hati. Kapan Azizah dibawa ke sini?" tanya ibu.
"Nanti kalau udah halal. Gak enak kalau sekarang suruh main-main. Mana waktunya mepet."
.
Mobil melaju menjauhi rumah. Cahaya matahari cukup terang, membuat pandangan silau. Kupakai kacamata hitam agar penglihatan lebih nyaman.
Satu jam perjalanan. Sampailah aku di tempat yang dijanjikan. Sebelum turun kugunakan topi. Selintas melihat diri di spion yang tergantung. Dah, keren.
Posisi sudah di depan toko emas. Jam telah menujukkan waktu yang ditentukan. Tapi mereka tidak terlihat, mungkin belum tiba.
"Ustad lihat samping kanan." Pesan WA dari ustad Fatir.
Ternyata mereka sudah tiba duluan. Ada Azizah, Kak Sarah dan ustad Fatir. Sedang duduk di sebuah café.
Azizah cepat menunduk ketika aku melihatnya. Mungkin mereka sudah memperhatikan dari tadi.
Tak lupa kucopot kaca mata sebelum menghampiri mereka.
*
"Yang ini mau engga?"
Aku menunjukkan satu set perhiasan.
"Bagus. Tapi modelnya terlalu. Aku sukanya yang elegan. Modelnya yang simpel gitu," jawabnya.
Kukembalikan perhiasan itu pada penjaga toko. Lalu meminta bentuk-bentuk yang lainnya.
Bentuk kedua. Kata penjaga tokonya itu yang elegan.
Azizah memperhatikan detailnya.
"Bagus sih. Tapi lihat model lain dulu deh."
Beberapa set perhiasan di sodorkan.
Gadis dengan lesung pipit sebelah kanan itu menimbang-nimbang. Memperhatikan yang satu, kemudian yang lain. Lalu balik lagi. Netranya membulat suka.
Andai aku punya pabrik roti sebesar perusahaan Bakrie. Sudah kuborong semua De.
Lama. Gak kelar-kelar. Padahal yang dilihat itu-itu aja. Dasar cewek.
Setelah sekian lama. Akhirnya dia mengambil satu. Lantas bertanya. "Yang ini gimana?" Ia meminta saran kakaknya.
"Bagus," ucapku.
"Kayanya bagusan yang ini deh De," seru Kak Sarah.
Wadidaw. Lama lagi.
Setelah sekian purnama berlalu. Akhirnya dipilihlah satu set perhiasan Emas putih. Emang cewe paling pintar masalah belanja. Gak tahu harga, tapi tahu mana yang paling mahal. Heran. Seperti scaner kasir aja.
***
Waktu semakin cepat berputar. Setelah segala persiapan yang dilakukan secara kebut-kebutan. Akhirnya aku ada di posisi ini. Malam terakhir berstatus lajang.
Barang-barang seserahan berjajar di ruang tengah. Ibu, bapak dan segenap keluarga tampak ikut kelelahan menyiapkan semuanya.
"Besok kamu sudah menjadi menantu orang Ali," kata bapak.
Kami berjalan berdampingan ditemani cahaya remang lampu jalan. Aku dan bapak baru pulang dari masjid, setelah solat Isya berjama'ah.
"Hati-hati dalam menjaga istri. Jangan sampai orangtuanya menyesal menikahkan anaknya dengan kamu."
Kudengarkan apa kata bapak baik-baik. Beliau irit sekali bicara. Tapi perhatiannya luar biasa.
"Iya Pak. Ali akan berusaha menjadi suami yang baik. Mudah-mudahan Ali bisa seperti bapak," kataku.
"Jangan tiru bapak, Li. Tiru rosululloh!"
.
Sesampainya di rumah. Aku dan Bapak membuka pintu.
Seorang perempuan setengah baya sedang berdzikir di sofa. Dalam keadaan masih menggunakan mukena.
Ibu ....
Bersambung...