Kututup kembali pintu kamar setelah menerima teko yang sudah diisi penuh oleh Fahry. Inilah salah satu perbedaan mencolok Mas Farhan dan Fahry. Mas Farhan pria yang menjalani kehidupannya dengan sangat taat. Dulu Mas Farhan mengaku padaku bahwa ia tak pernah mengenal pacaran. Masa mudanya dihabiskannya dengan bekerja, mencari nafkah untuk ibu dan adiknya. Sehingga aku adalah wanita pertama yang disentuh olehnya. Aku bahkan masih ingat ketika tangannya terlihat gemetaran saat akan akan menyentuh tanganku sesaat setelah ia mengucapkan ijab qobul. Bibirnya juga bergetar dan wajahnya merah padam saat pria itu mencium keningku pertama kalinya setelah kami telah resmi berstatus suami istri.
Berbeda dengan Fahry yang menganut gaya pacaran metropolitan. Mungkin karena pergaulannya yang luas dan banyak bekerja sama dengan orang-orang luar, membuat Fahry sangat berbeda dari kakaknya. Bahkan pernah beberapa kali aku mendengar suamiku menegur Fahry kala itu ketika ia memergoki Fahry dan Nasya berperilaku yang menurut Mas Farhan tak sepantasnya. Kurasa mungkin waktu itu Mas Farhan melihat adegan seperti yang baru saja kulihat.
Tak sekali dua kali pula aku mendengar ibu mertuaku menegur putra bungsunya itu.
“Apa enggak ada gadis yang lebih baik dari dia, Nak?” ucap ibu waktu itu di meja makan saat mereka sedang membahas hubungan Fahry dan Nasya. Aku sendiri tak pernah mau ikut campur dan memilih hanya fokus pada rumah tanggaku dan Mas Farhan.
“Fahry mencintainya, Bu.” Hanya itu jawaban Fahry.
“Jika kamu memang mencintainya, mintalah ia untuk berubah, Ry. Apa kamu enggak risih melihat wanita yang kamu cintai itu mempertontonkan auratnya ke semua lelaki.”
Mengenai gaya berpakaian Nasya, aku sudah sering mendengar ibu mertuaku memprotesnya. Bahkan padaku pun ibu sering berkeluh kesah mengenai kekhawatirannya pada hubungan Fahry dan Nasya. Namun, ibu tak pernah memperlihatkan ketidaksukaannya langsung di hadapan Nasya. Ibu akan tetap bersikap baik dan ramah jika gadis modis dan seksi itu berkunjung ke rumah.
***
Beberapa minggu setelah kepergian Mas Farhan, kulihat Fahry pun jarang sekali pulang ke rumah. Ia hanya menginap sesekali dan kadang-kadang datang hanya untuk makan, karena memang Fahry sangat menyukai masakan ibunya. Dari ibu mertuaku, kudengar jika Fahry selama ini memilih tinggal di mess perusahaan.
“Ibu tak mau kalian menjadi perbincangan tetangga, Nak. Makanya ibu meminta Fahry mengalah dan sementara tinggal di mess perusahaannya.” Itu jawaban ibu beberapa saat lalu sewaktu aku bertanya kenapa Fahry jarang pulang ke rumah.
“Kenapa kami jadi perbincangan, Bu?” tanyaku tak paham.
“Suamimu sudah meninggal, Nak. Hubunganmu dan Fahry adalah ipar. Ibu pernah mendengar beberapa ibu-ibu pengajian membicarakan mengenai kalian yang masih tinggal satu atap. Saat ibu menanyakan pada Ustazah Halimah, ternyata hal itu memang tidak baik karena bisa saja menimbulkan fitnah. Maka ibu menyuruh Fahry sementara ini tinggal di tempat lain, dan ia kemudian memilih tinggal di mess.”
Sejujurnya aku juga pernah mendengar mengenai desas desus ini, namun aku memilih mengabaikannya. Aku pun sudah pernah meminta pada ibu untuk kembali saja ke rumah orangtuaku setelah Mas Farhan meninggal namun ibu mertuaku tak mengizinkan.
“Tetaplah di sini bersama ibu, Tania. Dengan adanya kamu di rumah ini, aku masih merasa dekat dengan Farhan, karena ia meninggalkan anak yang ada di dalam kandunganmu.” Itu alasan ibu tak memperbolehkanku kembali ke rumah orang tuaku.
“Mbak Tania jangan ke mana-mana. Mbak Tania dan anak Mas Farhan kelak adalah tanggungjawab kami, Mbak.” Itu kata Fahry menanggapi.
Maka aku pun memutuskan untuk tetap tinggal di rumah ini, terlebih aku masih ingin selalu mengenang kebersamaanku dengan Mas Farhan di setiap sudut rumah ini. Kebersamaan singkat namun membawa banyak kebahagiaan dalam hatiku, sebelum akhirnya semua kebahagiaan itu harus terenggut seiring dengan kepergian suamiku ke haribaan-Nya.
***
“Mbak Tania!” Suara Fahry mengejutkanku di saat aku sedang berada di dapur pagi-pagi buta.
Aku selalu merasa lapar saat bangun di pagi hari dan pasti akan selalu menuju dapur mencari apa saja yang bisa dimakan. Ini menjadi kebiasaanku sejak usia kandunganku menginjak usia 6 bulan hingga saat ini, di mana usia kehamilanku sudah tinggal menunggu waktu untuk bersalin.
“Fahry!” Aku pun berseru kaget ketika Fahry memergokiku di dapur.
Bukan karena takut ketahuan sedang mencari makananan, ibu mertuaku bahkan biasanya sengaja menyiapkan berbagai macam stok makanan di kulkas karena tau bahwa aku akan selalu terbangun pagi-pagi buta mencari apa yang bisa kumakan.
Namun yang membuatku grogi adalah saat ini aku sedang tak memakai jilbabku karena aku sama sekali tak tau jika Fahry sedang menginap di rumah.
“A-aku enggak tau kalau kamu sedang menginap, Ry. Maafkan aku.” Aku buru-buru hendak membalikkan badanku dan kembali ke kamar.
“Jangan, Mbak! Biar Fahry saja yang pergi. Sepertinya Mbak Tania sedang mencari makanan,” ucapnya.
Aku kembali membalikkan badanku, sepintas lalu kulihat jakun Fahry bergerak menelan salivanya. Aku semakin salah tingkah. Lalu dengan tergesa Fahry pun beranjak dari dapur dan kembali menuju kamarnya.
“Huffttt!” Aku menggumam.
Kutatap penampilanku di pantulan cermin saat kembali ke kamarku. Bagaimana mungkin aku seceroboh ini? Sepertinya Fahry tadi tak melepaskan pandangannya dariku. kuperhatikan bayanganku di dalam cermin, aku sedang memakai piyama dengan rambut yang kugulung ke atas, itu membuat leherku terekspos dengan sempurna. Sangat memalukan! Fahry bahkan sampai menelan kasar salivanya saat menatapku tadi. Kurasa inilah salah satu yang membuat ibu menyuruhnya tinggal terpisah. Karena kejadian-kejadian tak disengaja seperti ini bisa saja terjadi.
Kuraih gawaiku ketika benda itu berdering. Pesan masuk dari nomor Fahry.
[Maaf, ya, Mbak. Fahry tadi enggak tau kalau Mbak Tania ada di dapur.]
[Enggak apa-apa, Ry. Mbak juga minta maaf karena tak tau kalau kamu sedang menginap di rumah.]
[Iya, Mbak. Aku sedang kangen ibu dan juga kangen Mbak Tania makanya menginap.]
‘Astaga! Apa ia baru saja bilang bahwa ia kangen padaku?’ batinku. Sungguh isi pesan Fahry mengandung makna yang bersayap kali ini. Aku memlilih tak membalasnya.
[Kapan lahiran, Mbak. Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku, ya.]
[Kata dokter mungkin dalam minggu ini. Enggak usah repot-repot, Ry. Ada ibu kok, bagiku itu sudah cukup.]
[Tapi aku harus menggantikan peran Mas Farhan, Mbak. Aku harus memastikan bahwa Mbak Tania dan bayi Mas Farhan tak kekurangan apapun juga.]
Aku memang tak pernah merasa kekurangan materi meskipun Mas Fahran telah tiada. Ibu selalu mempercayakan uang belanja padaku dan selalu memberi lebih. Ibu juga berpesan agar kelebihannya untuk kusimpan saja, meski aku tau jika ibu memang sengaja memberikan uang belanja lebih banyak agar aku tak perlu merasa segan jika ibu hanya memberikan uang secara cuma-cuma. Ya, aku tak pernah kekurangan materi, tapi aku kehilangan kasih sayang suami tercintaku.
Lagi-lagi aku memilih tak membalas pesan dari Fahry.
[Aku baru sadar ternyata Mbak Tania sangat cantik.]
Satu pesan terakhir dari Fahry disertai emoticon senyum di akhir kalimat berhasil membuatku meremang. Apa adik iparku itu sedang memujiku? Apa ia mengatakan itu karena tadi melihat auratku? Kembali kutatap diriku di dalam cermin. Leher jenjangku memang terlihat sangat jelas karena rambutku tergulung ke atas. Dulu, bagian tubuhku yang ini juga selalu membuat Mas Farhan memujiku. Apa Mas Farhan dan Fahry punya selera yang sama? Mengapa Fahry bisa dengan gamblang memujiku seperti itu meski hanya lewat pesan? Tidakkah ia merasa bersalah pada Mas Farhan?
💦Bersambung💦
Masih ada koin gratis di bab berikutnya ya