“Kenapa enggak ibu aja yang nemanin ke resepsinya Nasya, Ry?” tanyaku. Saat ini kami semua sedang berada di Bandung.
Ibu menyetujui ajakan Fahry mengajak kami berlibur ke Bandung, maka sejak kemarin pagi kami sudah berada di kota kembang ini. Fahry bahkan sudah mengajak kami jalan-jalan tadi siang. Ia juga membelikan gamis mewah untukku dan ibu di sebuah butik terkenal. Kulihat Fahry pun sangat menikmati liburan kali ini. Mungkin karena ia memang sedang cuti bekerja, meskipun sesekali kulihat gawainya berdering kemudian terlibat pembicaraan serius mengenai pekerjaannya. Fahry juga sangat senang mendorong stroller Khanza sambil sesekali membetulkan letak bando mungil Khanza yang selalu saja turun menutupi matanya.
Ia pun dengan gesit akan segera meraih Khanza dari dalam keretanya lalu menyerahkan bayi itu padaku ketika Khanza menangis karena kehausan.
“Yaaa ... jangan bareng ibu dong, Mbak. Maunya bareng Mbak Tania. Lagian ibu juga diundang kok, hanya saja ibu memilih enggak hadir dan menjaga Khanza aja. Mau ya Mbak nemanin aku, biar orang-orang nggak menatap iba padaku karena ditinggal nikah.”
“Ya udah, tapi Mbak enggak bisa lama-lama ya, Ry. Takutnya Khanza haus dan nyari Mbak.”
“Iya, Mbak. Janji enggak akan lama. Hanya datang ucapin selamat pada mereka, juga memastikan pada diriku sendiri agar tak lagi menunggunya karena ia sudah menjadi milik pria lain.” Ada nada sendu dalam kalimatnya.
***
Suasana pesta resepsi Nasya yang digelar di ballroom salah satu hotel mewah terlihat sangat meriah. Kurasa orangtua atau suami Nasya bukan orang sembarangan jika melihat dari mewahnya pesta resepsi ini.
“Aduh ... Mbak kok grogi ya, Ry. Mbak belum pernah datang ke pesta semeriah ini,” ucapku.
“Enggak perlu grogi, Mbak. Mbak Tania sangat cantik loh malam ini. Tuh, lihat aja dari tadi beberapa undangan memandag takjub pada Mbak.”
“Mereka bukan mandangin Mbak, Ry. Tapi mandangin kamu, memastikan apa kamu udah move on apa belum,” jawabku terkekeh.
“Kalau di sampingku ada wanita cantik seperti ini pastilah kelihatan udah move on, Mbak. Beneran loh, Mbak Tania malam ini sangat berbeda. Cantik dan elegan.”
“Itu karena pakaian mahal ini, Ry.” Aku memang mengenakan gamis yang tadi dibelinya di butik mahal.
“Bukan karena itu, Mbak. Apa Mbak enggak pernah nyadar kalau Mbak memang cantik, apalagi kalau udah dandan seperti ini.”
“Udah ah, Ry. Jangan ngelantur!”
Setelah antri menyalami sepasang pengantin, aku dan Fahry pun berbaur dengan para undangan lainnya. Sesekali kulihat ada yang menyapa Fahry dan menanyakan kabarnya, kemudian melirik padaku dan menanyakan siapa aku. Aku sendiri tak pernah mencari tau apa jawaban Fahry pada orang-orang yang menyapanya dan menanyakanku.
Hingga hampir satu jam berada di tengah pesta, aku pun merasa sudah waktunya untuk pulang ke hotel. Namun aku tak menemukan Fahry di sekitarku, entah kemana pria itu. Aku tak meyadari sejak kapan ia menghilang dari sekitarku. Kusapukan netraku mencari sosoknya di tengah-tengah para undangan namun aku tetap tak menemukannya.
Aku pun memilih keluar dari tengah-tengah kerumunan pesta. Langkah kakiku membawaku ke area kolam renang yang terletak di sebelah kiri pintu utama ballroom. Aku bermaksud menghubungi nomor Fahry dari sana setelah keluar dari riuhnya kerumunan pesta. Namun baru saja aku hendak merogoh tas tanganku untuk mencari gawaiku ketika aku menangkap bayangan sepasang manusia di sudut kolam renang yang sepi dan remang-remang.
Kufokuskan netraku menatap sepasang manusia di ujung sana. Lalu mataku melebar ketika menyadari jika sosok wanita yang ada di sana sedang mengenakan gaun pengantin, terlihat juntaian gaunnya yang lebar dan menyapu lantai. Lalu sosok lelaki yang sedang bersamanya. Fahry! Ya, aku bisa dengan jelas melihat wajahnya dari tempatku berdiri.
Aku semakin melebarkan mataku ketika melihat adegan kedua manusia itu selanjutnya. Fahry dan Nasya sedang berciuman! Dari jauh aku bisa melihat mereka saling memagut satu sama lain, saling mendekap, lalu melepaskan diri sesaat, kemudian mengulanginya lagi.
Jantungku berdetak cepat. Aku harus menghampiri mereka! Bukan saja karena ingin mengajak Fahry pulang ke hotel, tapi juga aku khawatir jika ada orang lain yang memergoki mereka selain aku. Bagaimana mungkin seorang mempelai wanita meninggalkan suaminya di atas pelaminan lalu berciuman di sudut lain dengan mantan kekasihnya.
“Fahry!!!” pekikku tertahan. “Apa-apan kalian!”
Keduanya terkejut lalu saling melepaskan diri.
“Bisa-bisanya kalian seperti ini? Mbak mau pulang sekarang juga, Ry!”
***
“Maafin aku, ya, Mbak,” ucap Fahry saat kami sudah berada di dalam mobilnya.
Aku mendengkus kesal.
“Jangan meminta maaf padaku, Ry. Seharusnya kamu meminta maaf pada suami Nasya dan keluarganya. Bisa-bisanya kamu berciuman dengan wanita yang sudah menjadi istri orang. Bukannya tadi katamu mau ke sini agar bisa merelakannya?”
Kulihat Fahry memukul setir mobilnya.
“Aku ... aku memang salah, Mbak. Tadi aku menuruti kemauan Nasya saat ia mengirim pesan padaku untuk datang ke kolam renang. Katanya ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Aku enggak nyangka Nasya langsung memeluk dan menciumku setelah itu. Sebenarnya aku mau menghindar, Mbak. Aku juga tau kalau itu salah, tapi Nasya justru menangis dan memintaku memeluknya, katanya untuk yang terakhir kalinya ia ingin merasakan dekapanku. Lalu aku terbawa suasana sehingga aku pun membalas ciumannya seperti yang Mbak Tania lihat tadi. Maafkan aku, Mbak.”
“Kamu tau enggak, Ry. Mbak rasa Allah punya rencana yang indah memisahkanmu dari Nasya. Coba saja kamu bayangin jika kamu yang menikahi Nasya, lalu ia melakukan hal seperti yang kalian lakukan tadi di belakangmu. Apa kamu mau diperlakukan seperti itu?”
“Enggak, Mbak. Seburuk-buruknya aku, aku ingin istri yang setia, yang tidak melirik lelaki lain selain suaminya.”
“Bagaimana mungkin kamu menginginkan istri yang seperti itu jika kamu sendiri seperti tadi, menyentuh wanita lain yang sudah berstatus istri orang. Kata orang jodoh itu cerminan diri, Ry. Jika kamu ingin jodoh yang baik, maka perbaikilah dulu dirimu menjadi versi terbaik dirimu.”
Fahry mengugar kasar rambutnya.
“Makanya aku butuh istri yang seperti Mbak Tania ini, agar aku tak selalu salah langkah.”
“Bukankah sudah Mbak bilang Mbak enggak sebaik yang kamu pikirkan.”
“Kalau aku ngelamar Mbak Tania gimana, Mbak?”
Kutangkap tatapan mata elangnya sekilas sebelum ia kembali berkonsentrasi menyetir.
“Jangan bercanda, Ry.”
💦Bersambung💦