RONA BAHAGIA


“Kuantar pulang, ya, Mbak.” Kini kami berdua sudah berjalan keluar dari area pemakaman umum.

“Mbak tadi pakai motor Nilam, Ry.”

Ia mengangguk mengerti.

“Oiya, Mbak dan Khanza kapan pulang? Ibu sudah nanyain, katanya udah kangen kalian.”

Aku memang masih menginap di rumah orangtuaku, setelah dijemput Nilam kemarin.

“Mungkin besok aku minta antar Nilam, Ry.”

“Enggak usah, Mbak. Nanti biar aku yang jemput Mbak Tania dan Khanza.”

“Jangan, Ry. Kamu kan sibuk dengan perkerjaanmu. Biar Nilam yang antar.”

Nilam adikku memang mahir menyetir mobil, tidak sepertiku yang hanya bisa mengendarai motor.

“Pokoknya besok Fahry yang jemput, Mbak.”

Aku tak menjawabnya lagi. Lalu kemudian kami berpisah, aku berjalan ke arah motorku sedangkan Fahry menuju ke arah mobilnya. Namun ternyata ia mengikutiku sepanjang jalan, aku bisa melihat dari spion motorku mobilnya terus mengiringiku dari belakang. Hingga tiba di depan rumahku dan menghentikan motorku. Kubuka helmku saat mobil Fahry sejajar dengan motorku, sementara ia membuka kaca mobilnya.

“Kenapa ngikutin?”

“Cuma mau memastikan Mbak Tania pulang dengan aman.”

“Ck! Jangan berlebihan.”

“Aku berangkat kerja dulu, ya, Mbak. Besok aku ke sini lagi jemput kalian.” Fahry melajukan mobilnya perlahan. Aku masih terdiam memandangi mobilnya hingga hilang di balik tikungan.

“Kenapa enggak disuruh masuk, Nak?” tanya ibuku saat aku melangkah masuk ke dalam rumah. Rupanya ibu melihat mobil Fahry tadi.

“Fahry mau kerja, Bu. Tadi juga enggak janjian kok, hanya kebetulan ketemu di makam Mas Farhan.”

Ibu menatapku dalam-dalam lalu mengajakku duduk.

“Tania, jika Allah masih menyiapkan jodoh di dunia ini untukmu. Maka ibu rasa Fahry adalah pilihan terbaik yang seharusnya ada dalam doamu. Kini pilihan terbaik itu sudah mengajakmu untuk kembali menyempurnakan ibadah, tak ada salahnya kamu menerimanya, Nak. Khanza akan lebih nyaman bersamanya.”

“Iya, Bu. Tania mengerti.”

“Wanita jika sudah memiliki anak maka yang dipikirkan enggak lagi fokus pada diri sendiri, Nak. Begitu pun denganmu, kamu sudah punya Khanza. Akan lebih baik baginya jika ia memiliki sosok seorang ayah. Fahry bisa menjadi paman sekaligus ayah yang sempurna bagi Khanza, karena mereka punya hubungan darah. Nak Fahry juga yang kelak akan menjadi wali bagi Khanza. Meski kamu belum bisa melupakan suamimu, tapi Khanza membutuhkan keputusan yang bijaksana darimu.”

***

Tepat saat Khanza berusia 6 bulan, aku pun memutuskan menerima lamaran Fahry. Keputusan itu kuambil setelah mempertimbangkan semua matang-matang. Meski tempat Mas Farhan tak akan pernah tergantikan dalam hati, namun tak ada salahnya aku menghadirkan rasa yang lain. Benar kata Nilam, aku tak perlu menepikan Mas Farhan, aku hanya perlu lebih meluaskan hati untuk hubungan baru.

Masih kuingat ketika tak sengaja bertemu Fahry waktu itu di makam Mas Farhan. Sama sepertiku, Fahry juga duduk di depan pusara kakak kesayangannya itu sambil mengusap pusara bertuliskan nama Farhan Ibrahim.

“Izinkan aku melanjutkan tugas Mas Farhan menjaga orang-orang yang Mas sayangi.” Itu yang kudengar saat Fahry berbisik di depan pusara Mas Fahran waktu itu.

Aku pun kembali terisak, Fahry juga sama. Kami berdua terdiam dalam pikiran masing-masing, mengenang sosok Mas Farhan yang punya tempat istimewa dalam hati kami.

Kusapukan pandanganku ke sekeliling kamarku, masih ada topi dan peci Mas Farhan di ujung sana, masih ada dan akan selalu ada bayangannya di kamar ini, terlebih lagi di hatiku.

“Izinkan aku kembali menyempurnakan ibadahku, Mas. Izinkan adikmu menjadi penggantimu dan menjaga putri kita. Mas Farhan enggak akan pernah hilang dari hati kami semua. Mas Farhan akan selalu ada di sini, di hatiku, di hati ibu, di hati Fahry, terlebih dalam wujud anak kita. Aku mencintaimu, Mas. Tetap akan selalu mencintaimu,” gumamku sambil menatap satu-satunya foto Mas Farhan yang masih terselip di dalam dompetku.

Pintu kamarku diketuk dari luar.

“Nak, susui Khanza dulu, ya. Biar nanti anteng enggak kelaparan. Sebentar lagi penghulunya datang.” Ibu mertuaku muncul di depan pintu kamarku saat aku membukanya.

Aku pun meraih tubuh mungil Khanza dari tangan ibu mertuaku.

“Abis nangis, Nak?”

“Eng-enggak, Bu,” kilahku.

Ibu mengusap-usap pundakku. “Kami semua menyayangimu, Nak. Kami semua ingin yang terbaik bagi Tania.”

Bening itu kembali menetes dari nertaku.

“Iya, Bu. Tania paham.”

Fahry Aditama, pria yang berusia satu tahun di atasku itu akhirnya benar-benar mengucapkan ikrar ijab kabul atas namaku, Tania Nadira Binti Edi Santoso dengan suara yang lantang dan tegas. Fahry mengucapkan ijab kabulnya hanya dengan sekali tarikan napas. Kulihat tangan kekarnya dengan pasti menggenggam tangan keriput ayahku saat ia mengucapkan kalimat sakral itu.

Kini aku sudah sah menjadi istrinya, istri dari adik kandung Mas Farhan. Akhirnya aku benar-benar mengalami peristiwa turun ranjang, istilah yang belakangan ini sering terdengar di telingaku dari bisik-bisik para tetangga.

Bukan hanya aku, namun semua hadirin yang merupakan kerabat dekat kedua orangtuaku dan juga mertuaku serta beberapa tetangga terdekat terlihat menitikkan air mata haru saat aku digiring oleh ibuku dan ibu mertuaku ke arah Fahry. Kurasa mereka semua tau bagaimana jalan hidupku hingga sampai pada titik ini.

Aku meraih tangan Fahry lalu mencium punggung tangannya dengan takzim. Kini, pada pria di hadapanku inilah surgaku berada. Tangan ini lah yang mulai sekarang akan selalu ada untuk melindungiku dan putriku. Kurapalkan doa dalam hati, semoga semua ini merupakan awal yang baik.

“Terima kasih sudah menerimaku, Tania,” lirih Fahry saat ia mencium keningku.

Ya, beberapa hari belakangan ini sejak aku mengatakan menerima lamarannya, ia tak lagi memanggilku dengan sebutan Mbak Tania.

“Terima kasih juga sudah memilihku, Mas,” jawabku. Mulai sekarang aku pun harus membiasakan diri menyapanya dengan sapaan yang lebih hormat. Maka aku memilih memanggilnya Mas Fahry. Toh memang usianya terpaut satu tahun dariku.

Lalu aku meraih Khanza dari gendongan ibu, blitz kamera pun mengabadikan kami bertiga. Aku dan Mas Fahry dalam balutan pakaian pengantin sederhana. Bersama Khanza Azzahra Ibrahim, putriku dan Mas Farhan, juga putri Mas Fahry.

Kupejamkan mata menikmati kesyahduan ini. Ku akui, ada rasa lega mengalir di dalam dadaku setelah tadi mendengar Mas Fahry menyebut namaku dalam ijab kabulnya. Lalu ada perasaan lain lagi yang melingkupi dadaku selain perasaan lega, rasa bahagia. Ya, aku bahagia.

‘Terima kasih atas kebahagiaan ini, ya Allah,’ gumamku dalam hati sambil terus merapal doa-doa untuk kebaikan keluarga kecil kami.

Tangan Mas Fahry kini melingkar di pundakku, sementara aku masih menggendong Khanza. Kami bertiga menebarkan senyum menerima ucapan selamat dari para kerabat dan tetangga, juga beberapa undangan.

Kutengadahkan wajah menatap pria yang baru saja resmi menjadi suamiku itu ketika aku merasakan ia mencolek pundakku. Perawakan Mas Fahry memang lebih tinggi dibanding kakaknya. Maka ketika aku sedang berdiri di sampingnya seperti saat ini, aku harus menengadahkan wajahku untuk menatapnya.

“Kamu cantik sekali, Istriku,” ucapnya lembut saat mataku bertemu dengan mata hazelnya.

Pipiku terasa panas. Kalimat sederhana yang sukses membuat hatiku berdesir halus. Aku hanya membalasnya dengan senyuman, sebelum kemudian menundukkan wajahku malu.

“Apalagi kalau sedang merona begini. Aku sudah tak sabar ingin mengecup bibirmu,” bisiknya. Kali ini ia sedikit menunduk dan berbisik tepat di telingaku.

Aku bergidik dan semakin tersipu malu.

💦Bersambung💦

Tekan love ❤ dan tinggalkan komen ya 🥰

 


Bab
Sinopsis
1
SINOPSIS
2
PEDIHNYA KEHILANGAN
3
SEPARUH JIWAKU PERGI
4
SEMUA KEINDAHAN ITU TEL...
5
SELERA YANG SAMA?
6
RAHASIA TERPENDAM
7
SELAMAT MENGASIHI
8
DI SUDUT KOLAM RENANG
9
SESEORANG DARI MASA LAL...
10
AKU KANGEN
11
RONA BAHAGIA
12
ADA YANG ANEH
no_image
13
TAS BRANDED BERWARNA HI...
no_image
14
TAK SEDANG BAIK-BAIK SA...
no_image
15
MATA TAK BISA BOHONG
no_image
16
ADEGAN ROMANTIS
no_image
17
HANYA TERBAWA SUASANA
no_image
18
TAK BISA HIDUP TANPAMU
no_image
19
BAGAIMANA CARAKU MENGHA...
no_image
20
AKU, TANPAMU
no_image
21
HARUS PERCAYA YANG MANA...
no_image
22
TEMPAT CURHAT
no_image
23
MY LOVE
no_image
24
TROUBLE
no_image
25
INI HANYA SALAH PAHAM
no_image
26
JANGAN MENCARI TAHU
no_image
27
SATU ALASAN UNTUK BERTA...
no_image
28
AKU PERGI
no_image
29
LUKA DI ATAS LUKA
no_image
30
AKU TANPAMU
no_image
31
LELAKI DARI BALIK KABUT
no_image
32
TOLONG AKU
no_image
33
AURA KECERDASAN
no_image
34
SERANGAN MENTAL
no_image
35
TAK PERNAH MENGINGKARI...
no_image
36
PENYESUAIAN DIRI
no_image
37
BUKU AGENDA
no_image
38
KOMITMEN YANG TERKOYAK
no_image
39
DIA BUKAN AYAHMU
no_image
40
BANYAK YANG INGIN KUJEL...
no_image
41
AKU CEMBURU
no_image
42
HARAPAN KOSONG
no_image
43
TAK PANTAS MEMINTA MAAF
no_image
44
DIA DI MANA?
no_image
45
UNTUK APA DIA KE SANA?
no_image
46
KECEWA
no_image
47
BAGAIMANA KEADAANMU
no_image
48
DENDAM
no_image
49
BUNDANYA DIAPAIN?
no_image
50
DI SINI AJA
no_image
51
ANCAMAN TANIA
no_image
52
ES KRIM
no_image
53
DIA PENYAYANG ANAK-ANAK
no_image
54
AKU TULUS MENYAYANGINYA
no_image
55
MASIH BERHARAP
no_image
56
BELUM PUAS
no_image
57
DIA AYAHMU
no_image
58
KOSONG DAN GELAP
no_image
59
DI PARKIRAN BASEMENT
no_image
60
KEJUTAN UNTUKMU
no_image
61
AKU TAKUT HATIKU TAK SA...
no_image
62
TAK SANGGUP TANPANYA
no_image
63
CEMBURU
no_image
64
BAYI TAK BERNASAB
no_image
65
APA YANG TERJADI?
no_image
66
JANGAN TINGGALKAN AKU
no_image
67
BANGUNLAH!
no_image
68
ELEGI RINDU (End Season...
no_image
69
PERASAAN APA INI? (SEAS...
no_image
70
SENTUHAN TAK SENGAJA (S...
no_image
71
HIDUPKU TANPAMU (SEASON...
no_image
72
PEMANDANGAN PAGI (SEASO...
no_image
73
PENOLAKAN (SEASON 2)
no_image
74
WANITA GILA
no_image
75
MANIS SEKALI
no_image
76
MAMA DI SINI
no_image
77
KEINDAHAN SEKALIGUS KEP...
no_image
78
FANTASI
no_image
79
JANGAN TINGGALKAN AKU D...
no_image
80
BERADA DI SURGA (END)
no_image