SEPARUH JIWAKU PERGI


“Yuk, turun, Mbak!” Suara Fahry membuyarkan lamunanku yang membayangkan cara pamit Mas Farhan yang sedikit aneh tadi pagi.

Rupanya kami sudah tiba kembali di rumah. Ibu mertuaku bahkan sudah lebih dulu turun, kulihat beliau berlari kecil masuk ke dalam rumah menghindari gerimis. Aku sendiri tak menyadari jika mobil Fahry sudah terparkir di depan rumah ibu.

“Ini payungnya, Mbak.” Fahry menawarkan payung sambil membukakan pintu mobil.

“Kenapa payungnya enggak dikasih buat ibu tadi? Ibu sampai berlari menghindari hujan tadi,” jawabku pelan.

“Udah, Mbak. Tapi kata ibu buat mayungin Mbak Tania aja.”

“Enggak usah, Fad. Biar payungnya buat kamu aja.” Aku turun dari mobil dan menolak tawaran payung dari Fahryi.

Kulangkahkan kakiku ke arah pintu rumah sambil sesekali memejamkan mata meresapi gerimis yang mulai berubah menjadi hujan.

‘Bahkan langit pun menangisi kepergianmu, Mas,’ gumamku dalam hati.

Aku memperlambat langkahku, masih ingin menikmati aroma hujan ini, berharap hujan bisa menghapus sedikit saja lara dalam hatiku. Namun Fahry tiba-tiba saja sudah berdiri mensejajarkan langkahnya di samping sambil memayungiku.

“Nanti Mbak Tania sakit hujan-hujanan.”

Aku tak menjawab dan tak juga mendebat. Lalu dengan langkah gontai aku melangkah ke dalam rumah. Beberapa kerabat masih ramai mempersiapkan doa tahlil yang akan digelar malam ini. Kulihat ada beberapa anak-anak remaja tanggung yang tengah duduk bersila di karpet yang digelar di ruang tengah rumah ibu.

“Tania, anak-anak ini ingin bertemu kamu. Katanya mereka semua dari pesantren kampung sebelah yang pernah diajar oleh suamimu,” ucap ibu memperkenalkan mereka.

Para remaja tanggung itu mengangguk hormat padaku dan kubalas dengan nggukan yang sama.

“Kamu murid dari Ustaz Farhan, Bu. Kami semua kemari untuk menyampaikan rasa bela sungkawa kami atas  Uztaz Farhan,” ucap salah satu dari mereka.

“Terima kasih, ya. Doakan Mas Farhan, ya,” jawabku lirih.

Kutatap wajah mereka satu persatu, semua menggambarkan kesedihan.

‘Satu lagi yang membuat kekagumanku bertambah padamu, Mas. Ternyata begitu banyak orang yang kehilangan atas kepergianmu,’ batinku.

Aku pun mendengarkan ketika salah satu dari mereka menuturkan padaku bagaimana suamiku selama ini telah mengajarkan banyak kebaikan pada mereka, dan itu semua dilakukannya tanpa bayaran.

“Ustaz Farhan selalu bilang kalau beliau hanya mengharapkan balasan pahala atas apa yang selama ini telah diajarkannya pada kami.” Salah satu santri itu menyeka sudut matanya, kemudian diikuti oleh teman-temannya yang lain.

‘Lihatlah, Mas. Lihatlah mereka masih memerlukanmu. Mengapa kamu malah terlalu cepat meninggalkan kami semua?’ batinku, salivaku yang kutelan serasa keras bak batu. Sesak kembali menguasai dadaku.

Sebenarnya aku tak setuju mereka menyebut Mas Farhan sebagai ustaz. Karena semasa hidupnya Mas Farhan pun sering protes jika ada yang menyapanya dengan panggilan Ustaz. Menurutnya ilmu agamanya masih sangat dangkal untuk sebutan itu. Mas Farhan memang sering menggunakan waktu luangnya untuk mengajar para santri di pesantren yang terletak di kampung sebelah itu. Kepawaiannya dalam menulis naskah dimanfaatkannya untuk membimbing para santri untuk menuangkan dakwah mereka lewat tulisan. Ya, Mas Farhan memang sangat menyukai menulis. Di kamar kami bahkan penuh dengan buku-buku bacaan, sebab menurutnya tulisannya akan semakin bagis dan berisi jika ia sering membaca. Buku-buku bacaannya kebanyakan mengenai sejarah peradaban Islam dan bedah dalil ataupun hadits.

“Saya pamit masuk dulu, ya.” Aku berucap. Aku sudah merindukan kamar kami, aku ingin segera masuk ke sana sebab di sana masih ada aroma tubuh suamiku meskipun kini jasadnya telah terkubur di dalam tanah.

 Kurebahkan tubuhku memandangi langit-langit kamar. Rasa lelah mendera saat punggungku menyentuh tempat tidurku dan Mas Farhan. Kusapukan tanganku ke arah samping. Terasa dingin, dan mungkin selamanya tempat tidur ini akan terasa dingin karena tak akan ada lagi kehangatan suamiku setelah ini. Kembali kupejamkan mataku saat kilasan-kilasan kejadian tadi pagi kembali melintas di kepalaku.

Sekitar satu jam setelah pamitan Mas Farhan yang menurutku sedikit aneh, ibu mengetuk kamarku dengan ketukan yang tak biasa. Saat itu aku masih berbaring sambil memijat-mijat pinggangku yang terasa pegal.

“Ada apa, Bu?” tanyaku saat membuka pintu. Tatapan ibu saat itu semakin aneh, wajah rentanya pun terlihat pucat.

“I-itu ... suamimi, Nak. Suamimu!”

“Ada apa, Bu? Ada apa dengan Mas Farhan?”

“Suamimu, Nak. Suamimu! Ibu ... ibu baru saja menerima kabar bahwa Farhan kecelakaan dan sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit.”

“Apa, Bu?? Mas Farhan kecelakaan? Tapi ... tapi bagaimana bisa. Bukankah ... bukankah ia ....” Aku belum sempat meneruskan kalimatku ketika gawaiku berdering.

Fahry memanggil. Aku melirik ibu sekilas, wajah wanita renta itu masih terlihat panik.

Dengan kepanikan yang sama aku segera menjawab telepon dari Fahry, bahkan lupa mengucapkan salam.

[Apa yang terjadi, Fahry! Di mana suamiku! Di mana Mas Farhan!] seruku di telepon.

[Mbak ... Jadi Mbak Tania sudah dengar beritanya? Mas Farhan ... Mas Farhan kecelakaan, Mbak. Ini aku lagi di rumah sakit.]

[Di rumah sakit mana, Fahri? Aku mau ke sana!]

[J-jangan, Mbak. Mbak Tania enggak usah datang ke sini. Mbak Tania dan juga Ibu. Kalian ... kalian tunggu di rumah aja. Ini ... ini aku sedang mengurus kepulangan Mas Farhan.]

Aku menangkap rasa panik, gugup, sedih dan berbagai perasaan lainnya dari suara Fahry. Apa katanya tadi? Menyiapkan kepulangan Mas Farhan? Apa itu berarti Mas Farhan baik-baik saja? Ada sedikit harapan dalam khayalku.

[P-pulang? Apa Mas Farhan baik-baik saya, Ry? Apa ia sudah boleh langsung pulang dan tak perlu menjalani perawatan?] Kuselipkan seuntai doa mengiringi tanyaku.

[Bu-bukan, Mbak. Mas Farhan ... Mas Farhan meninggal dalam kecelakaan tadi. Aku sedang mengurus pemulangan jenazah Mas Farhan ....]

Suara Fahry masih terdengar, ia belum mengakhiri telepon. Namun kakiku sudah tak sanggup lagi menopang tubuhku. Gawaiku bahkan telah terlepas dari genggaman. Apa yang dikatakan Fahry barusan membuat dadaku seolah dihantam palu godam. Hancur berkeping-keping.

“M-Mas Farhan.”

Aku masih mendengar suaraku menggumam sebelum akhirnya semua menjadi gelap!

Bersambung.


Bab
Sinopsis
1
SINOPSIS
2
PEDIHNYA KEHILANGAN
3
SEPARUH JIWAKU PERGI
4
SEMUA KEINDAHAN ITU TEL...
5
SELERA YANG SAMA?
6
RAHASIA TERPENDAM
7
SELAMAT MENGASIHI
8
DI SUDUT KOLAM RENANG
9
SESEORANG DARI MASA LAL...
10
AKU KANGEN
11
RONA BAHAGIA
12
ADA YANG ANEH
no_image
13
TAS BRANDED BERWARNA HI...
no_image
14
TAK SEDANG BAIK-BAIK SA...
no_image
15
MATA TAK BISA BOHONG
no_image
16
ADEGAN ROMANTIS
no_image
17
HANYA TERBAWA SUASANA
no_image
18
TAK BISA HIDUP TANPAMU
no_image
19
BAGAIMANA CARAKU MENGHA...
no_image
20
AKU, TANPAMU
no_image
21
HARUS PERCAYA YANG MANA...
no_image
22
TEMPAT CURHAT
no_image
23
MY LOVE
no_image
24
TROUBLE
no_image
25
INI HANYA SALAH PAHAM
no_image
26
JANGAN MENCARI TAHU
no_image
27
SATU ALASAN UNTUK BERTA...
no_image
28
AKU PERGI
no_image
29
LUKA DI ATAS LUKA
no_image
30
AKU TANPAMU
no_image
31
LELAKI DARI BALIK KABUT
no_image
32
TOLONG AKU
no_image
33
AURA KECERDASAN
no_image
34
SERANGAN MENTAL
no_image
35
TAK PERNAH MENGINGKARI...
no_image
36
PENYESUAIAN DIRI
no_image
37
BUKU AGENDA
no_image
38
KOMITMEN YANG TERKOYAK
no_image
39
DIA BUKAN AYAHMU
no_image
40
BANYAK YANG INGIN KUJEL...
no_image
41
AKU CEMBURU
no_image
42
HARAPAN KOSONG
no_image
43
TAK PANTAS MEMINTA MAAF
no_image
44
DIA DI MANA?
no_image
45
UNTUK APA DIA KE SANA?
no_image
46
KECEWA
no_image
47
BAGAIMANA KEADAANMU
no_image
48
DENDAM
no_image
49
BUNDANYA DIAPAIN?
no_image
50
DI SINI AJA
no_image
51
ANCAMAN TANIA
no_image
52
ES KRIM
no_image
53
DIA PENYAYANG ANAK-ANAK
no_image
54
AKU TULUS MENYAYANGINYA
no_image
55
MASIH BERHARAP
no_image
56
BELUM PUAS
no_image
57
DIA AYAHMU
no_image
58
KOSONG DAN GELAP
no_image
59
DI PARKIRAN BASEMENT
no_image
60
KEJUTAN UNTUKMU
no_image
61
AKU TAKUT HATIKU TAK SA...
no_image
62
TAK SANGGUP TANPANYA
no_image
63
CEMBURU
no_image
64
BAYI TAK BERNASAB
no_image
65
APA YANG TERJADI?
no_image
66
JANGAN TINGGALKAN AKU
no_image
67
BANGUNLAH!
no_image
68
ELEGI RINDU (End Season...
no_image
69
PERASAAN APA INI? (SEAS...
no_image
70
SENTUHAN TAK SENGAJA (S...
no_image
71
HIDUPKU TANPAMU (SEASON...
no_image
72
PEMANDANGAN PAGI (SEASO...
no_image
73
PENOLAKAN (SEASON 2)
no_image
74
WANITA GILA
no_image
75
MANIS SEKALI
no_image
76
MAMA DI SINI
no_image
77
KEINDAHAN SEKALIGUS KEP...
no_image
78
FANTASI
no_image
79
JANGAN TINGGALKAN AKU D...
no_image
80
BERADA DI SURGA (END)
no_image