“Fahry!” pekikku tertahan ketika melihat siapa yang sedang duduk di ruang tamu di rumah orangtuaku. Aku sendiri sama sekali tak memperhatikan apakah di depan tadi ada mobilnya parkir karena fokus memastikan barang-barang Khanza lengkap diturunkan dari mobil ayahku yang dikendarai Nilam saat menjemputku dan Khanza.
“Kamu ngapain ke sini?” tanyaku curiga.
“Eh ... sama tamu kok gitu, Nak?” tegur ibuku sambil meraih Khanza dari gendonganku.
“Tamu?” Aku menggaruk-garuk kepalaku. Entahlah! Mungkin di sini Fahry memang tamu karena ini adalah rumah orangtuaku. Sedangkan di rumah ibu mertuaku, ia justru pemilik rumah.
“Duduklah, Nak. Ada yang ingin Nak Fahry bicarakan,” ajak ayahku. Aku sudah bisa menebak akan ke mana arah pembicaraan ini.
Akhirnya percakapan kami pun bermuara pada niat Fahry untuk menikahiku. Maka saat ini ia sedang meminangku pada ayah dan ibuku.
“Ibu tau kamu ke sini, Ry?” tanyaku.
“Iya, Mbak. Aku sudah mengantongi restu ibu, makanya memberanikan diri datang ke sini.”
Aku menghela napas, pantas saja ibu tadi ikut mempersiapkan semua keperluan Khanza, bahkan menyuruhku untuk menginap beberapa hari di rumah orangtuaku. Rupanya ibu mertuaku itu sedang memberikan waktu untukku berpikir mengenai niat putra bungsunya ini.
“Tania belum bisa menjawabnya sekarang, Yah. Tania perlu waktu untuk berpikir.” Itu alasan yang kuberikan pada ayahku ketika ayah menanyakan apakah aku menerima pinangan Fahry.
Hingga akhirnya Fakry berpamitan pulang setelah menyatakan niatnya pada kedua orangtuaku. Kulihat ia menggendong Khanza dan menghujaninya dengan ciuman sebelum berpamitan.
“Kenapa kamu senekat ini sih, Ry?” tanyaku saat mengantarkannya menuju ke mobilnya.
“Bukan nekat, Mbak, tapi aku sudah yakin seratus persen dengan niatku ini. Ibu juga sudah merestuiku. Aku hanya tinggal menunggu jawaban Mbak Tania. Oiya, berapa lama Mbak dan Khanza akan menginap di sini? Nanti kalau mau dijemput Mbak bilang aja, ya. Biar aku yang jemput.”
Aku hanya mengangguk. “Apa pun keputusanku nanti, kamu enggak akan marah kan, Ry?”
“Iya, Mbak. Tapi aku sangat berharap jawaban iya darimu.”
***
“Apanya yang perlu dipikirin lagi sih, Mbak. Kurasa Mas Fahry adalah pilihan terbaik bagi Mbak Tania dan Khanza saat ini. Bukankah seharusnya Mbak Tania bersyukur karena lelaki yang dulunya Mbak taksir sekarang melamar Mbak Tania.”
“Hushh! Kamu ini Nil. Jangan berkata yang enggak-enggak.”
“Lah bukannya memang benar dulu Mbak Tania naksirnya Mas Fahry tapi yang datang melamar waktu itu justru Mas Farhan?”
“Ck! Itu dulu, Nil. Namanya juga cinta monyet.”
“Dulu apanya sih, Mbak. Itu baru beberapa tahun berlalu, kurasa rasa itu masih ada di dalam dada Mbak hanya saja Mbak belum mencarinya karena terlalu fokus dengan semua kenangan tentang Mas Farhan.”
Aku terdiam. Nilam memang tau semua rahasiaku. Bagaimana dulu aku selalu menunggu jika Mas Farhan dan Fahry datang ke rumah mengambil pesanan kue-kue basah. Hampir seminggu sekali mereka disuruh ibunya untuk mengambil pesanan kue ke rumah untuk kegiatan pengajian. Meski ibuku selalu menawarkan kuenya untuk diantar olehku dan Nilam, namun Bu Siti yang saat itu belum jadi ibu mertuaku melarangnya. Menurutnya akan lebih aman jika Mas Farhan dan Fahry yang mengambil kue-kue pesanannya sebab mereka laki-laki, dibanding aku dan Nilam yang harus mengantarkannya ke sana.
Sejak saat itu aku mulai melirik salah satu dari mereka. Ya, awalnya aku memang lebih cenderung menyukai Fahry dari pada Mas Farhan. Mungkin karena usianya tak jauh beda denganku dan penampilannya juga lebih modis dibanding kakaknya. Berbeda dengan Mas Farhan yang tampak lebih kalem dan dewasa.
Maka saat orangtuaku mengtakan bahwa Bu Siti akan berkunjung ke rumah kami dan meminangku untuk salah satu putranya, aku sangat berharap jika itu adalah Fahry. Namun tadkir berkata lain. Ternyata saat itu Bu Siti datang meminangku untuk Mas Farhan, menurutnya putra sulungnya itu sudah jatuh cinta padaku sejak lama, namun tak berani memintaku.
Meski sedikit kecewa, aku pun menerima lamaran Mas Farhan waktu itu, dengan pertimbangan kedua orangtuaku sudah sangat akrab dengan Bu Siti. Keputusan yang kemudian akhirnya sangat kusyukuri hingga detik ini karena ternyata Mas Farhan justru lebih dari segalanya dibanding dengan adiknya. Ia hanya kalah secara materi oleh adiknya. Semua akhlak dan sikap baik Mas Farhan akhirnya mampu membuatku dalam sekejap melupakan perasaan yang dulu pernah ada pada Fahry. Mas Farhan mampu membuatku merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya.
Hanya adikku Nilam yang tau rahasiaku ini, aku tak pernah mengatakannya pada siapa pun, termasuk pada kedua orangtuaku.
“Mas Farhan tak akan pernah tergantikan dalam hatiku, Nil. Dia sosok yang begitu mengagumkan, aku sangat mencintainya,” ucapku menyusut mata.
“Mbak Tania tak harus menghapus Mas Farhan dari hati Mbak. Mbak Tania hanya perlu lebih meluaskan hati agar perhatian dan kasih sayang lain bisa semakin melengkapi hidup Mbak Tania dan Khanza.”
“Kamu kok tiba-tiba udah jadi dewasa aja, Dek.” Aku terkekeh mendengar adikku itu menasihatiku.
***
“Mintalah petunjuk-Nya dalam salat Istikarahmu, Nak.” Kali ini ibuku yang masuk ke dalam kamarku dan memberiku nasihat.
“Iya, Bu. Tania akan meminta petunjuk pada-Nya.”
“Ibu rasa tak ada salahnya kamu menerima Nak Fahri. Dia sosok yang terbaik untuk Khanza. Lagipula ibu dengar dari Bu Siti kalau Nak Fahry memang sudah lama pisah dengan kekasihnya dan tak jadi meminangnya karena tak mendapat restu dari orangtua si wanita. Bagaimana pun restu orangtua itu hal yang utama, Nak. Dalam restu orangtua terdapat restu Allah. Dan kami semua, ayah, ibu dan juga ibu mertuamu merestui Tania dan Fahry.”
“Iya, Bu. Tania paham. Beri Tania waktu beberapa hari, ya. Tania masih ingin berpikir lebih jauh dan meminta pentunjuk-Nya dengan bersungguh-sungguh.”
***
Matahari sedang panas-panasnya sewaktu aku menghentikan motorku di area pemakaman umum. Ya, hari ini aku memang sengaja ingin berziarah ke makam suamiku. Khanza kutitipkan pada ibuku karena belum saatnya aku membawa bayi mungilku itu ke sini. Kulangkahkan kakiku perlahan menuju pusara Mas Farhan, hatiku selalu saja merasa hancur saat berada di depan pusaranya. Aku sangat merindukannya.
“Mas, bagaimana menurutmu? Haruskah aku menerima pinangan adikmu?” Aku menggumam sendiri di depan pusara Mas Farhan. Kupeluk dan kukecup pusaranya dengan lembut.
“Apa yang harus kulakukan, Mas? Rasanya aku belum sanggup membuka hatiku pada pria lain, meski pun itu pada Fahry adikmu. Kamu masih mengisi penuh hatiku, Mas. Apa yang harus Tania lakukan?” Air mataku kembali tumpah.
“Aku sangat mencintaimu, Mas. Kamu tak akan pernah tergantikan oleh siapapun, tapi aku juga masih harus melanjutkan hidupku dan juga Khanza putri kita. Haruskah aku menerima pinangan adikmu, Mas?” Kali ini aku bisa mendengar suaraku sendiri yang terisak lirih.
Beberapa menit aku hanya tertunduk dan menangis. Menggumam sendiri mengajak Mas Farhan bicara. Hingga akhirnya aku merasa ada yang aneh, aku tak merasa kepanasan padahal matahari sedang panas terik.
Aku menoleh ke belakang sambil mengusap mata. Seseorang sedang berdiri tepat di belakangku. Kutengadahkan wajahku untuk melihatnya, Fahry sedang berdiri di belakangku sambil memegang payung yang sangat lebar. Ia hanya tersenyum tipis sambil mengangguk saat aku menatapnya.
Tak lama kemudian, Fahry ikut duduk di sampingku, masih sambil memegang payung untuk melindungi kami dari teriknya matahari. Kini posisiku dan Fahry tengah menghadap ke pusara Mas Farhan.
“Dari tadi?” tanyaku pelan menoleh padanya. Ia hanya mengangguk.
“Tau dari mana aku di sini?” tanyaku lagi. Ia menggeleng sambil membetulkan kaca mata hitamnya.
“Aku hanya kebetulan mau mampir juga, nggak taunya Mbak Tania juga ada di sini,” lirihnya.
Aku mengusap wajah dengan kedua telapak tanganku. “Aku kangen Mas Farhan.”
“Aku juga, Mbak.” Fahry mengusap pusara kakaknya. Ada setetes bening yang lolos mengalir di pipinya, melewati kaca mata hitam yang digunakannya untuk menyembunyikan kesedihannya.
💦Bersambung💦
Jangan lupa tekan love❤ dan tinggalkan komentar ya🥰