Bab ini tadinya hilang dan baru up kembali. Tapi pemenang komentar terpilih di bab ini sudah discreenshot sebelum bab nya hilang. Bisa dilihat di fb "Aina Darmawan" dan ig "aina_d11" ya🙏
________________________
Tiga hari setelah kepergian Mas Farhan, rumah ibu tak pernah sepi dari para pelayat. Di hari ke tiga bahkan kami semua dikejutkan dengan kedahiran serombongan anak-anak dari panti asuhan. Dengan menumpang 3 buah mobil angkot, mereka berhamburan masuk ke dalam rumah ibu kemudian menyalamiku dan ibu yang masih terbengong-bengong. Dari salah seorang pendamping mereka akhirnya kami tau jika Mas Farhan semasa hidupnya menjadi salah satu donatur tetap di Panti Asuhan Kasih Ibu itu.
Mengapa aku justru tak mengetahui semua kebaikan suamiku selama ini? Mas Farhan tak pernah sekalipun memotong jatah uang belanja bulanan untukku, namun ia masih bisa menjadi donatur tetap di panti asuhan. Betapa mulia akhlakmu wahai suamiku! Aku kembali menyusut mataku ketika mengenangnya.
“Bahkan selama 5 bulan belakangan ini, selain menjadi donatur tetap, Mas Farhan juga setiap hari jumat bersedekah nasi bungkus pada anak-anak panti. Katanya itu dilakukannya karena rasa syukurnya atas kehamilan istrinya.” Pengasuh panti melirik padaku.
Hatiku semakin sesak, air mata kembali membanjiri pipiku.
“Kami mendoakan semoga Mbak Tania dan bayinya selalu sehat dan dalam lindungan Allah. Kami sungguh menyesal baru mendengar kabar ini dan baru bisa datang kemari setelah hari yang ketiga kepergian Mas Farhan.” Wanita paruh baya yang terlihat sedikit lebih gemuk dari ibu itu turut menyeka sudut matanya.
Beberapa anak yatim yang duduk bersila di rumah ibu juga terdengar terisak-isak sambil terus melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran.
Perwakilan pihak perusahaan yang mobilnya menabrak bengkel kecil milik suamiku, dimana ia sehari-hari bekerja mencari nafkah pun datang mengucapkan bela sungkawa dan meminta maaf atas kelalalaian karyawannya yang menyebabkan Mas Farhan meregang nyawa di bengkel tempat di mana ia sehari-hari membanting tulang.
Ya, Mas Farhan tewas di bengkel kecil miliknya ketika sebuah truk pengangkut alat-alat bangunan menabrak bengkelnya. Dari hasil olah TKP akhirnya diketahui jika truk yang menabrak bengkel suamiku itu sedang mengalami rem blong. Aku selalu tak sanggup mendengarkan cerita mengenai kronologi kecelakaan yang menimpa Mas Farhan. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana ia menyambut malaikat maut menjemputnya pada saat itu. Apakah ia sedang mengingatku dan bayi kami?
Malam harinya setelah pembacaan doa-doa, rumah ibu pun sudah mulai berangsur-angsur sepi. Satu persatu keluarga juga sudah kembali ke rumah masing-masing. Sebenarnya Ibu pun tak bermaksud mengundang khalayak sampai 3 malam untuk pembacaan doa-doa. Namun semua mengalir begitu saja, bahkan aku dan ibu sama sekali tak menyediakan apa-apa. Para tetangga dan kerabat serta beberapa teman Mas Farhan yang bahkan ada yang belum kekenal tak hentinya berdatangan membawa berbagai jenis makanan lalu melantunkan doa-doa dan mengucapkan kata-kata bela sungkawa padaku dan ibu.
Aku benar-benar dibuat takjub dengan semua ini. Ternyata semasa hidupnya Mas Fahran sungguh banyak meninggalkan kebaiakan, dan itu semua baru kuketahui setelah kepergiannya. Kuusap lembut perut buncitku, aku bangga dengan titipan Mas Farhan di dalam rahimku ini, semoga kelak anak kami bisa meneruskan semua kebaikan-kebaikan ayahnya.
“Maaf ya, Mbak Tania. Aku baru bisa datang hari ini, beberapa hari kemarin sedang berada di rumah orangtuaku di Bandung.” Suara seorang wanita membuyarkan lamunanku tentang Mas Farhan. Aku menoleh dan mendapati wajah cantik Nasya, kekasih Fahry tepat di hadapanku.
“Eh, iya. Enggak apa-apa, Nas,” jawabku.
“Aku turut berduka cita ya, Mbak, atas kepergian Mas Farhan,” ucapnya lagi. Aku menjawab dengan anggukan, Nasya memelukku, memberikan dukungan kekuatan padaku.
Kini, di rumah besar milik Ibu hanya tersisa aku, ibu, Fahry dan Nasya. Semua tetamu dan keluarga sudah kembali ke rumah masing-masing. Rumah ibu memang luas, bahkan termasuk salah satu rumah yang paling bagus di lingkungan tempat tinggal ibu. Menurut Mas Farhan, ini semua adalah hasil kerja keras Fadly. Ia memang berprofesi sebagai seorang arsitek dan bekerja di sebuah perusahaan yang berasal dari luar negeri yang trekenal sebagai perusahaan nomor wahid di Indonesia. Jabatan Fahry di perusahaan itu juga tidak main-main, ia adalah kepala arsitek di sana.
Dulu, aku sempat bingung melihat perbedaan yang sangat mencolok antara Mas Fahran dan Fahry, adiknya. Mas Farhan hanya membuka bengkel kecil-kecilan yang akhirnya menjadi tempatnya menjemput ajal, sedangkan Fahry punya pekerjaan yang sangat bergengsi yaitu seorang arsitek ternama. Mas Farhan sendiri hanya mengatakan bahwa tak ada yang aneh, semua adalah jalan hidup yang sudah menjadi ketetapan Allah jika aku menanyakan mengenai kondisinya dan Fahry yang berbeda jauh.
Namun dari ibu, aku mendengar cerita bahwa Mas Farhan lah yang membiayai semua biaya sekolah Fahry hingga kuliah dan lulus sebagai arsitek. Mas Farhan mengalah tak melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah karena ia menjadi tulang punggung keluarga sejak ayah mereka meninggal dunia ketika Mas Farhan masih duduk di bangku SMA. Mas Farhan kemudian bekerja di sebuah bengkel kecil, dari hasil kerja kerasnya itulah ia bisa menghidupi ibu dan adiknya serta membantu Fahry menggapai cita-citanya menjadi arsitek.
Fahry sendiri terlihat menyayangi ibu dan Mas Farhan, ia selalu terlihat patuh pada kakak satu-satunya itu. Mungkin karena ia merasa jasa Mas Farhan sangat besar dalam keberhasilannya sekarang. Bahkan bengkel kecil milik Mas Farhan juga Fahry lah yang memodalinya di awal. Meski yang kudengar dari ibu, Mas Farhan tetap mengembalikan modal tersebut pada adiknya dengan menyicil.
Ibu bahkan terpaksa turun tangan saat itu karena Mas Farhan dan Fahry berdebat mengenai uang modal bengkel yang terus dicicil Mas Farhan. Fahry tak mau menerimanya karena merasa ia masih lebih banyak berutang budi pada Mas Farhan, sedangkan Mas Farhan pun tetap bersikeras mengembalikan uang tersebut.
Mengenang suamiku selalu saja membuatku tak dapat menahan tangisanku. Aku kehilangannya, sangat kehilangan! Rasa haus membuatku meraih teko di atas nakas yang ternyata sudah kosong, lalu dengan langkah berat aku bermaksud keluar dari kamar untuk mengisi teko.
“Astaghfirullahladzim!” pekikku tertahan saat melihat pemandangan di sofa ruang tengah tepat disaat aku membuka pintu.
Fahry dan Nasya sedang berciuman!
Aku buru-buru hendak membalikkan badan ketika Fahry berdiri dan menghampiriku.
“Maafkan kami, Mbak,” ucapnya. “Mbak Tania mau ke mana?” tanyanya lagi.
“Eh ... ini ... mau isi teko.”
“Sini, Mbak. Biar Fahry yang isikan.” Fahry meraih teko dari tanganku lalu berjalan menuju dapur. Tak lama kemudian ia kembali dan menyerahkan teko yang sudah terisi padaku.
“Kalau perlu apa-apa jangan sungkan meminta bantuanku, ya, Mbak,” ucapnya. Aku hanya mengangguk.
đź’¦Bersambungđź’¦