Kutatap sendu gundukan tanah merah yang masih basah dan dipenuhi oleh taburan bunga-bunga segar di atasnya. Di dalam sana, terbaring jasad suamiku yang baru saja dimakamkan. Namanya terukir di sebatang kayu yang tertancap di atas pusaranya, Fahran Ibrahim. Nama yang selalu membuat hatiku bergetar penuh cinta. Nama lelaki yang selama setahun ini menjadi imamku. Nama orang yang sangat kucintai, yang membuatku selalu bersemangat menjalani hari-hariku, terlebih setelah aku mengandung anaknya yang kini sudah 5 bulan bersemayam dalam rahimku. Kuelus perut buncitku dengan air mata yang terus berderai.
“Mbak, kita pulang, ya. Sudah sore dan juga mendung.” Suara Fahry, adik iparku tak membuatku mengalihkan pandanganku dari pusara suamiku.
Sejenak aku menengadah menatap langit yang memang sedang mendung. Awan kelabu berarak perlahan di atas sana, hitam dan kelam. Langit sore seakan menggambarkan suasana hatiku saat ini. Kembali kususut bening di sudut mataku yang sedari tadi tak hentinya mengalir dari kelopak yang terasa terus memanas. Lalu kembali aku menunduk, menatap gundukan tanah merah di mana belahan jiwaku baru saja dibaringkan di dalam sana.
“Benar kata Fahry, Nak. Ini sudah sore dan langit semakin gelap. Kita pulang, ya.” Kali ini suara ibu mertuaku yang membujuk.
Aku menoleh pada wanita yang telah melahirkan suamiku itu. Sama sepertiku, di wajahnya pun tergambar jelas kesedihan yang mendalam. Kepergian Mas Farhan pastilah juga membuat wanita renta itu sangat terpukul, bahkan mungkin melebihi rasa kehilangan yang sedang menderaku karena ia adalah orang yang berjuang bertaruh nyawa melahirkan Mas Farhan ke dunia.
“Sebentar lagi, ya, Bu. Tania masih mau di sini,” lirihku.
“Tapi hari sudah mulai gelap, Nak.”
Kembali kutengadahkan wajahku ke langit. Memang langit terlihat sangat kelam, padahal kurasa ini belum jam 5 sore. Gerimis bahkan sudah jatuh satu persatu, memberi tanda bahwa sebentar lagi langit memang akan menangis.
“Besok kita ke sini lagi, Mbak. Nengokin Mas Farhan. Aku janji akan mengantar Mbak Tania ke sini besok,” bujuk Fahry. “Mbak Tania juga sudah terlihat kelelahan, tak baik buat kandungan Mbak. Aku yakin jika Mas Farhan melihat Mbak seperti ini, ia juga nggak akan suka,” lanjutnya.
Fahry benar. Sejujurnya tubuhku sudah sangat lelah setelah seharian ini syok menghadapi kenyataan bahwa suamiku, belahan jiwaku, tiba-tiba saja telah pergi mendahuluiku menghadap Sang Pencipta.
Aku pun mengangguk pada adik iparku itu. Lalu kembali menunduk dan mengusap-usap pusara Mas Farhan.
“Tania pulang, ya, Mas. Insya Allah besok Tania kembali lagi. Mas Farhan baik-baik di sana, ya. Tunggu aku di sana,” ucapku lirih, air mata kembali luruh dari netraku yang membasahi wajahku bercampur dengan air hujan yang mulai turun satu per satu.
Fahry membuka pintu mobilnya untukku dan ibu. Tanpa kata. Kami bertiga masuk ke dalam mobil Fahry tanpa ada satu pun yang bersuara. Ibu duduk di samping putra bungsunya yang kemudian berkonsentrasi menyetir mobilnya, sementara duduk di belakang dan masih berjuang melawan rasa sesak yang menguasai dadaku mengingat separuh jiwaku yang telah pergi.
Tadi pagi Mas Farhan masih bersamaku, berpamitan padaku saat akan berangkat bekerja ke bengkel kecil miliknya. Semua terasa normal seperti hari-hari sebelumnya, di mana aku pagi-pagi melaksanakan rutinitasku membuat sarapan pagi untuknya, kemudian menemaninya sarapan sambil sesekali bergurau. Lalu kemudian ia berpamitan padaku dan tak lupa ritualnya mencium perutku yang semakin hari semakin membuncit karena usia kehamilanku yang sudah menginjak bulan ke-lima. Lalu aku akan mengantarnya sampai di depan rumah, tak lupa membawakan bekal makan siangnya dan menggantungnya di motor Mas Farhan. Aku selalu melakukan itu sendiri karena Mas Farhan selalu lupa membawa bekal yang sudah kusiapkan. Maka setiap hari, aku sendiri yang akan menggantung bekal makan siangnya di motor Mas Farhan.
Hal yang tak biasa kemudian terjadi ketika baru beberapa saat Mas Farhan melajukan motornya, tapi ia tiba-tiba saja kembali dan langsung masuk ke dalam kamar kami di mana aku sedang membereskan kamar yang menjadi kamarku dan Mas Farhan.
“Ada apa, Mas? Apa ada yang ketinggalan?” tanyaku menatapnya heran saat ia tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar kami.
“Iya, Dik. Tadi Mas belum nyium kamu dan dedek bayi. Makanya Mas kembali lagi,” ucapnya. Kemudian mencium keningku dan ubun-ubun kepalaku.
“Kan tadi udah, Mas.” Bibirnya masih mencium dalam-dalam keningku. Aku terdiam dan mengeryitkan keningku. Tak biasanya Mas Farhan seperti ini.
Kemudian ia menunduk dan kembali mencium perutku seperti tadi.
“Sehat-sehat di dalam sana, ya, Nak. Jangan rewel dan jangan bikin bundamu repot. Kalau udah lahir nanti kamu harus jaga bundamu, ya,” bisiknya. Aku semakin menautkan alisku heran.
Lalu Mas Farhan kembali menegakkan tubuhnya dan menatapku. Ia meraup pipiku dengan kedua telapak tangannya lalu menatap mataku dalam.
“Kamu cantik sekali, Istriku. Mas bahagia memilikimu. Jaga anak kita baik-baik, ya. Mas pamit dulu.” Terasa ada getar dalam nada suaranya. Ia kemudian kembali menghujani wajahku dengan ciuman. Mataku, hidungku, kedua sisi pipiku, lalu keningku, semua dihujaninya dengan kecupannya.
“Kamu kenapa, Mas? Enggak seperti biasanya,” ucapku.
“Mas maunya setiap hari bisa menciummu seperti ini, Dek.”
“Mas Farhan aneh, deh.” Aku kembali menatap heran padanya.
Kemudian pria yang sudah setahun menikahiku itu kembali tersenyum. “Rasanya masih kurang, Dik,” ucapnya sambil terkekeh.
“Udah, ah. Mas berangkat sana. Tadi katanya ada pelanggan bengkel yang mau ambil kendaraannya pagi-pagi. Nanti pelanggannya protes loh kalau Mas terlambat.”
“Ya udah, Mas pamit, ya.”
Aku mengangguk tersenyum, kemudian melanjutkan kegiatanku menyapu lantai kamar setelah punggung Mas Farhan menghilang di balik pintu. Namun sekali lagi lelaki itu muncul dari pintu lalu kembali menghampiriku dan memeluk erat pinggangku hingga aku merasa sesak.
“Mas!”
“Hehe, maaf. Rasanya yang tadi masih kurang.” Ia terkekeh.
“Apa aku perlu ikut Mas ke bengkel menemani Mas Farhan bekerja?” tantangku.
“Enggak. Kamu di rumah aja nemanin ibu. Jaga bayi kita, ya. Ia adalah harta yang paling berharga yang kutinggalkan untukmu.” Suaranya terdengar lirih.
“Ihh! Kamu aneh-aneh aja deh, Mas. Udah sana berangkat. Cari rezeki yang halal ya untukku dan dedek bayi.”
“Hmmm,” gumamnya. Sekali lagi ia mencium keningku sambil membelai perutku.
💦Bersambung💦
Like dan komen di bab ini dan dapatkan @100 koin emas bagi 2 komentar terpilih ya😘 (syarat: sudah follow dan subs & rate)