Bab 7
POV Daffa


Akhir-akhir ini Silla terlihat lebih banyak diam. Tak banyak bicara, bahkan sikapnya jauh lebih dewasa.

Sama sekali sulit ku percaya. Perubahan drastis padanya sungguh membuatku sedikit senang. Tapi, juga membuatku heran. Ada apa?

Lima tahun berumah tangga dengannya, baru kali ini sikapnya berubah. Benar-benar seperti bukan Silla.

Sikapnya yang selama ini sangat manjah, bawel, gampang ngambek seakan, melekat kuat ada pada dirinya.

Sungguh ku terheran. Dirinya bahkan tak akan bisa jauh-jauh dariku. Dan itu memang terbukti lima tahun ini.

Dia sungguh mencintaiku. Aku sungguh percaya diri.

Mungkin hanya batinku saja dia seperti itu. Dia tak akan mungkin bisa jauh dariku. Tak ku sapa semenit saja dia merajuk.

Palingan, cuma bawaan pms. Biasalah itu.

Ku tepis prasangka yang membuatku malas berfikir. Segera ku siap-siap mandi agar berangkat kerja tak terlambat.


*

Selesai dengan aktivitasku, aku bergegas menuju meja makan.

Alangkah terkejutnya aku, yang ku lihat depan mata, wajan ngebul tapi Silla malah terbengong.

Cepat ku matikan kompor. Ku tatap Silla sekilas, Ia terlihat gugup.

"Kamu kenapa Silla? Apa yang kamu pikirin? Sampai wajan gosong, bahkan uap menyembul pun kamu nggak tau?" Ucapku sesaat mematikan kompor.

Terlihat dia begitu kusut, letih, kenapa dia? 

Perasaanku tiba-tiba iba. Mungkin hawa pms dirinya sehingga terlihat seperti itu.

Segera ku usap perlahan rambutnya. Dengan cepat ia menolak usapanku itu.

Sungguh aku di buat bingung padanya. Hampir satu minggu ini sikapmu berubah Silla.

Aku berfikir sejenak. Apa satu minggu ini aku melakukan kesalahan? Apa aku membuatnya marah? 

Silla..Silla, pagi-pagi kamu membuat kepalaku berfikir.

"Aku buatin baru lagi mas, kamu tunggu dulu sebentar" ucapan yang baru aku pahami.

Dia benar-benar sedang pms. bawaan setiap bulannya ini.

Segera, ku duduk menunggu masakannya. Ku tatap gerak tubuhnya saat mulai menggoreng. Rambut di ikat menambah daya tarik tersendiri bagiku.

Menawan.

Semerbak tumis kangkung, membuatku teralih dari pandanganya. Segera ku arahkan mataku ini pada olahan yang baru saja ia masak.

"Sungguh nikmatnya" ku teguk saliva yang mulai melapar ini.

Setelah ayam goreng yang baru di goreng, ku santap semua dengan lahap.

Dirinya memang tak pernah mengecawakan. Masakannya selalu enak. Dan terus membuatku tergiur ingin nambah dan nambah lagi.

Sangat piawai dalam memasak. Apapun bisa di lakukannya.

Sungguh membuatku, terkadang bangga mempunyainya.

Tapi entah kenapa, hatiku belum sepenuhnya mencintainya.

Atau mungkin aku yang terlalu naif? 


Daripada perpacu dalam otak, lebih baik ku nikmati saja makanan ini.
.
.
Setelah mengisi perutku ini, segera ku menuju kantor. Ku ulurkan tanganku seperti biasa. Dan di cium punggung tanganku.


Sesaat sebelum jauh, Silla memanggil.

Ku palingkan wajahku, dan Silla terlihat menunduk.

"Ada apa dengannya?" Batinku


"Apakah selama 5 tahun pernikahan kita, kamu merasa bahagia?

Degh... bagai di sambar petir di pagi bolong, pertanyaannya membuat sendi-sendiku lemas seketika. Dadaku sedikit sesak, seperti bergemuruh di sana.

"Kenapa dia bertanya seperti itu? Kenapa mendadak ungkapannya sangat dalam? Pernikahan? Bahagia? Apa itu?"

Sungguh pertanyaan Silla barusan membuatku sangat lemas.

Dengan cepat, ku jawab pertanyaan Silla barusan. Aku tak mau masalah ini berlanjut. Sesegera mungkin, aku menghindar.



**



Di kantor, sungguh sangat frustasi. Semua berantakan. Perkataan Silla membuatku tak bisa berfikir sedikitpun.

"Apa aku berbuat salah Silla?" Ku acak rambutku dengan kasar. Ku usap wajahku. Gusar kurasakan.

"Bagaimana mungkin kamu bicara tentang bahagia?"

**


Ketika jam kantor menunjukkan waktunya pulang, cepat-cepat ingin ku selesaikan laporan-laporan, agar cepat untuk pulang.
etelah selesai, dengan cepat aku menyambar tas.
Dan Romi, teman yang resek malah menyindirku.


Tapi, memang ada benarnya juga perkataan dia barusan. Tapi masa bodohlah lebih baik cepat pulang dan, inginku tuntaskan masalah tadi pagi dengannya.



**


Setelah membelikan mie ayam kang Shaleh, mie yang jadi andalan saat dia merajuk.


Tapi, yang ku dapatkan kecewa. Mie ayam yang sengaja ku belikan malah tak di sentuh sedikitpun.

Aku benar-benar di buatnya bingung.



Sesaat setelah menidurkan Rindu, aku memberanikan bertanya tentang tadi pagi.

Betapa tercengangnya, saat Ia berkata menikah denganku tapi tak bisa memiliki hatiku?

perkataan itu mampu menembus rongga dada di dalam sana.

Tatapan tajam seperti menikamku, mata memerah, nafas berderuh, sungguh amarah yang baru ku lihat saat ini.

Ku lihat wajahnya saat ini, hatiku terasa perih, entah kenapa? Aku belum bisa mengerti. Aku seakan blank.

Sungguh ekspresi yang baru ku lihat. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?


Ku tanya Ia baik-baik. Mungkin bisa meredam sedikit sakitnya itu. Karna, memang sampai saat ini aku pun tak tau. Kenapa sikapnya ini? Kenapa dengan perubahannya ini? Aku sungguh tak tau.



Sesaat setelah semua lebih membaik, akhirnya Ia memberitahu tentang alasannya kenapa sampai dirinya seperti ini. 

Ku tatap manik matanya lekat. Aku benar-benar penasaran.


Tiba-tiba dering gawaiku berbunyi. Sontak aku ingin mengangkat. Dan ketika ku lihat nama yang tertera, mataku seketika terbelalak. 

Gadis yang ku cintai sepenuh hati, gadis yang membuatku rindu setiap detiknya.

Yah. Gadis itu.

Citra.










Komentar

Login untuk melihat komentar!