BAPAK

“Ini hasil rontgen, CT Scan, USG dan laboratorium Bapak,” adik iparku memberikan beberapa lembar dokumen.

Aku membuka dokumen itu satu persatu.  Tanganku bergetar dan dadaku terasa sesak.

“Apakah Bapak sudah tahu?” tanyaku dengan suara bergetar.

Adik iparku menggeleng. 

“Bagaimana hasilnya?” suamiku tiba-tiba muncul dari arah belakang lobi rumah sakit.  Ia baru saja mengantar anak-anak ke rumah mertuaku.  Ada ibu mertua dan susternya di sana. Perjalanan darat dari Jakarta ke Surabaya yang tidak sebentar, plus sekarang sedang pandemi, membuat kami memutuskan cukup kami bertiga malam ini yang berkumpul di rumah sakit. 

Mulutku terasa kaku. Aku tahu kedekatan suamiku dengan ayahnya tercinta.Tidak mudah bagiku untuk menyampaikan padanya apa yang baru saja kubaca.

“Kenapa? Kok tidak menjawab?” suamiku kembali bertanya dengan suara memaksa.

“Bapak kanker prostat.  Kalau dari hasil yang ada,  ini sudah metastase ke usus, ginjal dan paru-paru,” jawabku terbata-bata.

 Wajah suamiku langsung pucat.  Ini semua di luar dugaan kami.  Karena selama ini Bapak tidak pernah mengeluh yang apa-apa.  Tetapi memang sudah beberapa bulan ini berat badannya terus turun dan Bapak tidak sesegar biasanya.  Seminggu yang lalu, adik iparku menghubungiku, menginfokan kalau Bapak terlihat sangat lemas.  Ia mengirimkan foto Bapak yang terlihat pucat dan tergolek lemah di tempat tidur.  Adikku memang kerap konsultasi denganku bila ada masalah kesehatan dengan kedua mertuaku.  Meskipun aku sudah bertahun-tahun tidak praktik sebagai dokter, namun paling tidak aku memiliki pengetahuan yang lebih tentan kesehatan.  Lagipula aku memiliki banyak kenalan dokter spesialis.  Setelah aku konsultasi dengan beberapa teman dokter, aku pun memintanya untuk test darah. Ternyata hasilnya cukup mengejutkan.  Bapak mengalami anemia atau kekurangan darah yang berat dan harus secepatnya ditransfusi. Beliau pun segera dibawa ke rumah sakit. 

Aku dan suamiku sudah berbulan-bulan tidak bertemu Bapak maupun Ibu mertua.  Selain karena tempat tinggal kami berjauhan, juga karena kondisi pandemi membuat kami menahan diri untuk bertemu kedua orang tua kami yang sudah sepuh itu.  Tapi mendengar kondisi Bapak seperti ini membuat kami memutuskan untuk menengoknya.  Tentu saja dengan protokol kesehatan yang sangat ketat. 

“Bagaimana peluang kesembuhan Bapak?” tanya suamiku.

“Menurut dokter, peluangnya sangat kecil.  Sudah tidak mungkin melakukan kemoterapi pada Bapak,”  jawab adik iparku, “Dokternya menyarankan terapi paliatif di rumah dengan menjaga kualitas hidup dan meringankan penderitaan Bapak.” 

Selama beberapa saat kami semua saling berdiam diri.  Masih terbayang video call terakhir dengan Bapak sebulan yang lalu, beliau masih terlihat ceria dan bersemangat.  Meskipun kami merasa heran saat ini, karena pipi beliau terlihat semakin tirus. Tapi Bapak tidak mengeluhkan apa pun dan selalu mengatakan semuanya baik-baik saja. 

“Ayo kita ke Bapak,” ajak suamiku.

Aku dan suamiku berjalan cepat mengikuti langkah adik iparku yang mengantar kami ke kamar Bapak. Di depan sebuah kamar, kami sempat berhenti sejenak sebelum akhirnya kami membuka pintu perlahan.

Di atas tempat tidur tampak Bapak terbaring dengan infus set di tangannya.  Tiga labu darah telah berhasil ditransfusi pada bapak sejak dua hari yang lalu.  Bapak terlihat sudah lebih segar dibandingkan foto yang dikirim adik iparku saat awal Bapak masuk rumah sakit.  Senyum pun terkulum di bibirnya sambil menatap kami dengan mata yang berkaca-kaca.

“Bapak...,” kami masuk ke dalam kamar kemudian bergantian mencium tangan Bapak. Air mata pun menetes.  Ingin rasanya memeluk beliau, namun kami harus menahan diri.  Kondisi pandemi membuat kami harus tetap menjaga jarak dengan beliau. 

“Bapak ingin pulang ke rumah,” ucap Bapak dengan suara lemah.

“Ya Pak,  nanti setelah kondisi Bapak stabil ya,” ujar suamiku sambil terus menggenggam tangan Bapak.

 “Apa kata Dokter?  Bapak sebenarnya sakit apa?” tanya Bapak.

“Dokter masih terus memeriksa, Pak,” jawab suamiku terbata-bata. Ia tidak tega mengatakan yang sebenarnya.

“Apakah Bapak bisa sembuh?” Bapak bertanya sambil tidak dapat menahan tangisnya.

“Bapak tidak usah khawatir, kami semua akan berusaha sekuat tenaga memberikan yang terbaik untuk Bapak,” suamiku menjawab lembut dengan suara yang menenangkan.

Lamat-lamat, tangisan Bapak mereda.  Tidak lama kemudian, beliau pun tertidur.

Aku mendekati suamiku yang duduk termangu di kursi penunggu pasien.  Aku jongkok dan menatap matanya.

Are you okay?”

“Ya....”
“Apakah kita akan berterus terang pada Bapak mengenai penyakitnya?”

“Ya, kalau kondisi Bapak sudah lebih baik, harus kita sampaikan.  Bapak pasti akan bertanya-tanya terus.”

“Apa langkah kita selanjutnya?”

Suamiku  tercenung sejenak.

“Kita tetap harus berkonsultasi dengan dokter mengenai opsi-opsi terbaik untuk penanganan Bapak.  Selanjutnya…, biarlah Bapak memilih yang paling nyaman untuk beliau.  Sambil kita semua terus berdoa pada Allah.”

Aku menganggukkan kepala.  Dalam situasi seperti ini, tidak ada pilihan lain, kecuali ikhlas menerima dan tetap yakin dengan pertolongan-Nya.  Manusia berusaha, Tuhan yang menentukan.


Komentar

Login untuk melihat komentar!