Dokter meletakkan transduser USG di perutku dan mulai memindai. Sesekali ia berhenti di tempat yang sama, kemudian menekan dan menggerakkan alat tersebut sambil fokus menatap layar di depannya.
“Bagaimana Dok?” tanyaku cemas, sambil menahan rasa sakit di kepala serta nyeri di seluruh tubuhku.
Dokter wanita itu tidak langsung menjawab pertanyaanku. Ia masih serius melihat ke arah layar. Beberapa saat kemudian ia memalingkan wajahnya ke arahku dengan wajah menyesal.
“Maaf Bu, bayinya sudah tidak ada….”
Perlahan linangan air mata mengalir dari sudut mataku. Baru seminggu yang lalu aku begitu bahagianya memperlihatkan hasil tes kehamilan yang positif pada suamiku. Ini kehamilanku yang kedua dan sudah sangat kami dambakan. Putri pertama kami pun ingin sekali memiliki adik. Tanpa diduga, hari ini semua hancur berkeping-keping.
Suami, yang sedari tadi berdiri di dekatku, terus menggenggam erat tanganku sambil mengucapkan kata-kata yang menghibur. Tapi itu tetap tidak dapat menghilangkan hatiku yang remuk redam.
Dokter memberikan penjelasan kalau aku harus menjalani proses kuret untuk mengeluarkan sisa jaringan janin yang masih berada dalam rahim. Tentu saja itu semua dilakukan setelah kondisiku stabil. Ia memperkirakan tiga hari lagi aku sudah bisa menjalani prosedur tersebut.
Kondisi kesehatanku memang sedang tidak baik. Sejak dua hari yang lalu, aku dirawat di rumah sakit karena sakit demam berdarah dan demam tifoid sekaligus. Dalam kondisi trombosit yang terus menurun, tiba-tiba kemarin aku mengalami perdarahan dari rahim. Keluarnya sedikit-sedikit tetapi terus menerus sehingga pagi ini aku diminta untuk menjalani USG.
Usai mendapat vonis kalau bayiku sudah tidak ada, aku harus menjalani hari-hari yang berat di rumah sakit. Jumlah trombosit terus menurun dan kondisiku secara umum semakin melemah. Ditambah lagi secara psikis aku merasa sedih dan stress. Hal itu menyebabkan proses kuret yang direncanakan pun akhirnya harus ditunda selama beberapa hari.
Beberapa hari kemudian kondisiku sudah semakin baik. Tapi aku mendapat kabar kalau dokter kandunganku ada kegiatan di luar negeri sehingga ia digantikan oleh dokter kandungan yang lain. Karena berganti dokter, proses kuret pun ditunda kembali.
Dokter yang baru seorang wanita cantik yang masih muda. Ia menyarankanku untuk menjalani USG ulang. Hal ini dikarenakan selama lebih dari seminggu di rumah sakit, pendarahan rahimku tidak pernah berhenti. Sedangkan usia kehamilanku masih sangat muda, yaitu enam minggu. Sehingga dokter memperkirakan ada kemungkinan seluruh jaringan janin telah keluar dan tidak perlu dilakukan kuretase.
Usai menuangkan gel yang dingin di perutku, dokter itu mulai menggerakkan transduser USG. Aku merasakan gerakan alat itu menyusuri perut bawahku.
“Masya Allah.” Dokter itu seperti tercengang melihat ke arah monitor.
“Ada apa, Dok?” tanyaku penasaran.
“Janinnya masih hidup, Bu. Lihat, jantungnya masih berdenyut,” ucap Dokter itu sambil menunjuk ke arah layar.
Aku segera duduk dan melihat ke arah monitor di sampingku. Sebuah bulatan kecil yang berdenyut teratur, tampak jelas di hadapanku. Aku tertegun dan menatapnya dengan tidak percaya. Bagaimana mungkin? Bukankah minggu lalu aku dinyatakan keguguran?
“Ibu tidak keguguran. Tetapi….”
“Tetapi apa, Dok?” selaku tidak sabar.
Aku merasa jantungku berpacu lebih cepat.
“Melihat bentuknya, perkembangan janin tidak bagus. Ada dua kemungkinan. Janin ini tidak akan bertahan lama dan Ibu akan benar-benar keguguran. Atau … bayi Ibu akan terlahir cacat.”
Aku tidak mempercayai pendengaranku. Seperti ada palu godam yang menghantam kepalaku. Dua kemungkinan tersebut sama-sama buruk. Aku tidak menginginkan keduanya. Seluruh tubuhku terasa lunglai. Aku merasakan kesedihan yang tidak terperi.
Dokter hanya memberikan obat tambah darah. Ia tidak memberikan terapi apa pun untuk menguatkan kandunganku, dengan pertimbangan kemungkinan besar janin ini tidak akan bertahan lama. Ia juga tidak memintaku untuk bed rest sebagaimana umumnya ibu-ibu lain yang mengalami pendarahan kehamilan. Satu-satunya alasan aku diberikan cuti sepulang dari rumah sakit adalah untuk memulihkan kondisi tubuhku setelah sakit demam berdarah dan demam tifoid.
Seminggu beristirahat di rumah, pendarahan tidak juga berhenti. Aku curiga kalau aku memang benar-benar sudah keguguran. Untuk mengeceknya, aku dan suami pun memutuskan pergi ke dokter.
Kami memilih untuk berkonsultasi ke dokter lain. Harapannya tentu saja bisa mendapatkan second opinion dengan opsi-opsi yang jauh lebih baik.
Bertemu dokter yang lain ternyata tidak mengubah keadaan. Ia mengatakan hal yang sama persis. Kondisi janinku memang buruk.
“Ibu beraktivitas seperti biasa saja, tidak perlu bed rest. Kemungkinan besar, tidak lama lagi janin ini akan keluar secara alami. Kalaupun ia bertahan hingga akhir kehamilan, Ibu harus bersiap-siap memiliki anak yang cacat.”
“Seperti apa kecacatannya, Dok?” tanyaku.
“Saya tidak tahu pasti. Tapi kalau melihat bentuknya, kemungkinan cacatnya akan parah. Banyak organ tubuhnya yang akan tumbuh tidak sempurna.”
Pulang dari dokter aku tak kuasa menahan tangisanku. Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiranku.
Memiliki anak cacat? Cacat yang parah? Mengapa harus anakku? Mengapa Tuhan tega memberikan cobaan ini pada keluarga kami?
“Bagaimana kalau janin ini tetap bertahan? Bagaimana kalau ia lahir dengan kondisi tidak lengkap?” aku bertanya pada suami di antara isak tangis yang membahana. “Lebih baik anak ini keluar saja sekarang, daripada nanti hidupnya menderita.”
Pria itu membentangkan kedua tangannya dan memelukku erat. Ketika tangisanku reda, ia pun bertanya lirih di telingaku.
“Siapakah kita hingga bisa memastikan masa depan?”
Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya dengan bingung.
“Apa maksudmu?”
“Apakah anak cacat sudah pasti hidupnya akan menderita? Apakah memiliki anak cacat sudah pasti akan membuat hidup kita tidak bahagia?” tanya suamiku sambil balas menatap mataku.
“Apakah kau mau memiliki anak yang cacat?”
“Aku tidak tahu anak ini akan terlahir cacat atau tidak. Semua baru perkiraan dokter yang hanya manusia biasa. Yang aku tahu….” Ia berhenti berbicara.
“Apa?” tanyaku ingin tahu.
“Apa pun dan bagaimana pun titipan Tuhan, akan kuterima dengan ikhlas. Itu amanah untuk kita. Kebahagiaan itu atas izin Dia yang Maha Kuasa. Bukan ditentukan oleh sempurna atau tidaknya anak yang dititipkan pada kita.”
Perkataan suamiku membuatku tersentak. Mengapa sedari tadi mataku tertutup? Mengapa aku berprasangka buruk terhadap takdir Tuhan?
“Lakukan yang terbaik untuk amanah Tuhan yang ada di dalam kandunganmu. Terus berdoa dan berpikiran positif. Apa pun hasilnya nanti… ikhlaskan.”
Aku menatap suamiku dengan haru. Perlahan kuanggukkan kepalaku. Ya, aku siap untuk terus berjuang, berdoa dan selanjutnya pasrah dengan semua ketentuan-Nya. Aku yakin, apa pun yang terjadi kelak, tangan Tuhan akan selalu mengiringi langkahku.
Login untuk melihat komentar!