Ternyata perjuangan memasak di dapur pun menjadi perjuangan yang berat bagi Raya. Di belakang tubuhnya, Ganes menempel begitu rapat.
"Kamu mau memasak apa?" tanyanya dengan mulut hampir menempel di telinga.
"Aku … mau bikin nasi goreng aja," jawab Raya dengan gugup.
"Pasti rasanya sangat enak, apalagi ini hari pertama dimasakin istri." Ganes menempelkan bibirnya di rambut Raya yang dibiarkan tergerai. Aroma sampo masih tercium.
"Mas, mundur kenapa, aku kan mau masak. Kalau ditempelin gini, aku kan jadi susah masaknya." Raya berusaha mendorong tubuh suaminya agar mundur.
"Nggak mau. Lebih enak kayak gini, bikin hangat." Ganes malah membelit pinggang istrinya, dan itu bikin Raya deg-degan.
"Aku jadi malas masak, kalau ditempelin kayak gini."
"Ya udah nggak usah masak aja," Ganes memutar tubuh istrinya, sehingga mereka saling berhadapan. Matanya berbinar senang. "Kita cari bubur aja di luar, setelah itu pulang, dan lanjutin rencana yang Mas katakan."
"Ih, apaan sih, Mas!" Raya berusaha berontak dari belitan tangan suaminya yang masih belum lepas.
"Hayuk, kita keluar, biar cepat pada tujuan yang sebenarnya. Kamu pakai kerudung langsung aja, bajunya nggak usah ganti." Ganes menarik tangan istrinya untuk mencari sarapan pagi.
Raya menurut, ia mengambil kerudung bergo dan juga jaket untuk melapisi kaos oblong yang dia kenakan.
"Kamu pegangan yang kencang sama pinggang, Mas."
Raya dengan ragu-ragu memegang pinggang suaminya setelah berada di atas motor. Jantungnya berpacu dengan cepat, ketika tangannya melingkar di pinggang sang suami. Jantung Ganes pun sama deg-degannya seperti yang dialami Raya.
Tidak lama akhirnya mereka sampai di warung bubur. Setelah memesan dua mangkok bubur, Ganes menarik tangan istrinya ke tempat paling pojok. Mereka duduk saling berhadapan. Ganes menyangga kedua tangannya, dan menatap sang istri dengan intens. Dia terlihat bucin sekali.
Mata Raya berusaha untuk tidak menatap suaminya, tatapan matanya berputar kesembarang arah.
"Nanti makan buburnya Mas suapin, ya?"
Raya mendelikan matanya galak. Makan bubur disuapin di tempat umun, bisa menjerit histeris nasib para jomblo, dan dikiranya ia orang yang sedang pacaran.
"Kenapa? Malu?"
Raya mengangguk.
"Ngapain juga malu, kan kita sudah halal."
"Tapi kemesraan itu tidak boleh dipamerkan pada orang lain, Mas. Cukup kita berdua aja yang tahu."
"Berarti sepulang dari sini, ya?"
Raya mengatupkan mulutnya, otak suaminya bener-bener bikin ia malu.
"Hei, kamu Raya kan?" tanya seorang pemuda mendekati meja mereka.
Mata Raya berbinar senang, ketika disapa oleh pemuda tampan di hadapannya. Dia teman SMU-nya. Si bintang basket, yang dulu sangat dikagumi para kaum hawa, dan termasuk juga Raya yang mengaguminya secara diam-diam. Namanya Airlangga.
"Betul, aku Raya."
"Senang kalau kamu masih mengingatku," Airlangga memamerkan senyum manisnya.
"Boleh aku gabung di sini, aku mau makan bubur juga."
"Tidak boleh," tukas Ganesha dengan cepat. Raut mukanya terlihat masam. Dia sangat kesal dengan kedatangan pemuda sepantaran istrinya itu. Karena senyum istrinya yang manis diberikan pada lelaki lain.
Mata Raya mengerjap, sedangkan Airlangga bertanya pada Raya, siapa laki-laki yang ada disebelahnya?
"Aku suami Raya, dan kami baru menikah kemarin. Jadi, jangan ganggu kami yang sedang menikmati masa-masa indahnya pengantin baru," tutur Ganesha dengan nada suara terdengar ketus.
"Oh, maaf." Airlangga merasa menyesal telah mengganggu mereka, ia pun mencari bangku yang kosong.