Ganesa menatap ayah dan ibunya dengan harap-harap cemas. Ia takut kalau kedua orang tuanya menolak ide dadakannya yang akan menikah nanti malam.
"Kamu yakin, kalau keinginanmu menikah murni dari hati, bukan karena kamu kasihan sama dia?" tanya Pak Abyan sambil menatap putranya.
"Tidak Ayah, aku dari dulu memang sudah suka sama Raya. Tapi melihat perlakuan keluarganya yang tidak manusiawi, membuat aku ingin menyelamatkannya. Kasihan gadis sebaik dia, jika terus-menerus mengalami tekanan, dan hidup ditengah keluarga yang tidak menyayanginya. Aku yakin dengan menikahinya, maka aku bisa membahagiakannya, dan juga membantu mewujudkan mimpi-mimpinya," terang Ganesa.
"Jika mendengar cerita kamu, memang sangat kasihan. Tapi bagaimana kalau nanti setelah menikah, keluarganya masih memanfaatkan kelemahan Raya. Dan otamatis hal ini akan mengganggu pernikahan kalian?" tanya Pak Abyan kembali.
Dia punya kekhawatiran sendiri kalau anaknya akan dimanfaatkan. Sekarang saja, baru menikah sudah disuruh membayar hutang yang jumlahnya lumayan besar. Padahal, kewajiban orang tua adalah menikahkan anaknya. Sangat miris menukar anak gadis yang harus disayanginya dengan penuh cinta, malah ditukar untuk melunasi hutang-hutangnya. Lebih mirisnya, masih ada anak lain yang harusnya bahu membahu mengatasi kesulitan keluarga, tapi beban hutang hanya ditimpakan pada anaknya yang paling lemah. Ketidak adilan ini, harus segera dihentikan.
"Ganes akan bikin perjanjian ayah, bahwa keluarga Raya tidak boleh lagi mengganggu pernikahan kami. Dan Ganes akan mendidik Raya agar jadi wanita tegas, bukan wanita yang selalu mengalah dan rapuh. Dia dibesarkan dengan penuh kebencian, tidak diterima, harusnya sadar kalau keluarganya tidak pernah menerimanya. Ayah dan Bunda juga, nanti pas datang ke rumah sakit, tolong jangan berpenampilan mencolok, bahwa kita berasal dari keluarga berada. Ini untuk memghindari, keluarga Raya memanfaatkan kita. Dan nanti setelah nikah, Raya akan Ganes bawa ke rumah kontrakan yang sudah Ganes persiapkan."
"Baiklah jika itu mau kamu. Ayah akan dukung selama hal yang akan kamu lakuin baik. Tapi pesan Ayah, jadilah suami yang baik. Sayangi istrimu. Kamu harus seperti Ayah yang tak pernah berhenti untuk mencintai Bunda. Dan ingat, setelah kamu harus balik ke perusahaan, sesuai dengan perjanjian kita," pesan Ayahnya.
"Baik Ayah." Ganesa menarik napas lega. Meskipun untuk balik ke perusahaan tidak ingin dilakukan dalam waktu dekat.
"Lalu bagaimana dengan pendapat Bunda?" kali ini Ganesa menatap bundanya, yang dari tadi memilih mendengarkan.
Malika menatap anak sulungnya yang kini sudah berubah dewasa, padahal di saat melahirkan dulu, ia sampai harus bertaruh dengan nyawanya. Tapi ia merasa beruntung memiliki anak seperti Ganesa, dia anak yang baik, dan sangat sayang kepada kedua orang tuanya. Kecerdasannya tidak diragukan lagi.
"Bunda mendukung semua keinginan Abang, dan seperti kata Ayah, jadilah suami yang baik, ya, Nak." Malika mengelus kepala putranya dengan lembut.
"Makasih, Ayah, Bunda." Ganesa langsung mencium tangan kedua orang tuanya.
Restu kedua sudah didapat, sekarang adalah waktunya mempersiapkan berkas-berkas pernikahan, lalu menemui kedua orang tua raya untuk membayar hutang-hutang keluarganya kepada renternir. Tidak lupa ia menghubungi temannya yang pengacara. Agar masalah bisa secepatnya kelar, dan keluarga itu dikemudian hari tidak memanfaatkan anaknya terus-menerus. Bukan ia pelit dan perhitungan, tetapi sebagai suami, ia memiliki kewajiban untuk melindungi istrinya.
Setelah menikah nanti, Ganesa akan berusaha menjauhkan Raya dengan keluarganya untuk beberapa waktu. Luka Raya sangat dalam, dan membutuhkan waktu untuk disembuhkan. Jika, masih berhubungan, bukan tidak mungkin kalau luka istrinya akan kembali mengangga. Sedang pernikahan yang sehat, istri tidak boleh memiliki banyak beban pikiran.