Dua Puluh Dua
Suasana puncak yang dingin membuat Raya merapatkan jaketnya. Sedang Ganes terlihat senyum-seyum sendiri. Dalam otak cerdasnya sudah terbayang, kalau ia bakal bisa melakukan honey moon dengan lancar, tanpa gangguan dari siapapun.

Melihat istrinya yang sedang berdiri di teras villa, sambil memandang perkebunan teh yang tampak indah, Ganes dengan perlahan mendekatinya. Lalu ia melingkarkan tangannya di pinggang Raya.

"Kamu sedang apa sayang?"

"Seperti yang Mas lihat, kalau aku sedang apa," jawab Raya jutek.

"Sedang memikirkan suamimu yang ganteng, dan …."  Ganes membisikan sesuatu di telinga istrinya.

Raya mencubit tangan suaminya. Suaminya yang kalem ini, setelah menikah malah berubah menjadi absurd.

Ganes hanya meringis, merasakan sakit. Cubitan kecil itu cukup membuat kulitnya kemerahan.

"Kita ke dalam yuk, sayang! Di sini sangat dingin."

"Mas aku lebih suka di sini. Aku belum pernah merasakan pemandangan yang indah ini. Ibu tidak pernah mengajakku kalau liburan," ujar Raya terlihat sedih.

"Benarkah?" Ganes terlihat iba. "Kenapa nggak pernah diajak?"

Raya berusaha menahan sesak yang tiba-tiba datang. "Aku tidak pernah diajak karena kata ibu dan Bapak, hanya akan membuang banyak anggaran dan aku nggak pernah jadi juara kelas. Beda banget dengan mbak Fatma atau Raisya. Jadi kata mereka lebih baik aku di rumah saja." mata Raya terlihat berkaca.

"Jangan sesih, Ganes mengelus kepala Raya yang tertutup jilbab. "Semua kesedihan kamu di masalalu, akan Mas bayar dengan kebahagiaan."