Tangisan
Akhirnya pernikahan bisa dilaksanakan dengan lancar tanpa kehadiran Mbak Fatma. Raya menangis haru, kini dia telah menjadi seorang istri dari dosennya sendiri. Ia tidak menyangka bakal menjadi seorang istri secepat ini.

"Terimakasih ya, sudah mau nerima Ganes, semoga kalian bahagia," ujar Malika pada menantunya.

Raya merasa senang dengan penyambutan hangat ibu mertuanya, kini ia merasa punya sebuah keluarga yang harmonis. Semoga setelah ini, ia bisa bahagia.

Ketika Ganes mengantarkan mama dan papanya ke mobil, ibunya Raya mendekati putrinya yang masih dirawat di rumah sakit.

"Baik-baik kamu saat menjadi istri. Kamu harus bisa mengambil hati suami kamu, agar dia makin sayang sama kamu, sehingga uangnya bisa diserahkan semua sama kamu. Ingat kamu harus ngasih Mama jatah uang bulanan," ujar ibunya membuat Raya merasa tertekan.

"Aku tidak mungkin melakukan itu, Ma. Kewajibanku saat ini adalah berbakti pada suami," ucap Raya sambil menatap mamanya dengan tatapan lelah. Ia menerima pernikahan ini, karena ingin lepas dari rasa sakit yang diakibatkan oleh keluarganya.

"Kamu jangan jadi anak durhaka ya, kamu nggak mungkin ada di dunia ini, kalau Mama nggak lahirin kamu. Jadi anak, harus tahu balas budi!" sentak ibunya.

Raya memejamkan mata, berusaha menahan sesak dan rasa sakit yang berkelindan. Selama ini, ia tidak pernah minta dilahirkan ke dunia. Kenapa harus dilahirkan, jika hanya untuk disakiti?

"Dengar Raya, Mama nggak bakal biarin kamu bahagia, jika kamu tidak bisa mengikuti keinginan Mama."

Raya menangis terisak, jika pernikahan ini tetap saja ia berada dalam tekanan mamanya, untuk apa? Ia sudah lelah jadi sapi perahan keluarganya. Lebih baik tidak menikah, dan mencari kebahagiannya sendiri.

"Jangan cengeng kamu, jadi perempuan itu harus tegar, dan ingat pesan Mama." kembali mama Raya memperingatkan putrinya, untuk tidak lupa memberikan jatah uang bulanan. 

Ketika Bapak dan Ibunya pamit, Raya menumpahkan tangisnya sendirian. Kenapa ujian terus datang menghantui jalan hidupnya? Baru saja mau bernapas lega, sesaat bisa melepaskan segala beban yang tertanam di dada, ternyata ibunya masih menuntutnya.

"Kenapa kamu menangis?" tanya Ganes mrnatap istrinya yang terisak-isak.

Dengan cepat Raya mengelap air matanya, lalu ia menggeleng kalau ia tidak apa-apa.

"Ibu kamu bilang apa saat tadi Mas pergi ke luar ?" tanya Ganes.

Raya bungkam. Ia tidak mungkin bercerita apa yang diminta oleh mamanya.

"Baiklah kalau kamu nggak mau cerita, tapi Mas nggak bakal ngebiarin kamu menderita sendirian. Kita sekarang sudah menjadi suami istri, dan sudah tugas Mas membahagiakan kamu," Ganes mengusap kepala istrinya dengan lembut.

"Kalau ada apa-apa yang membuat perasaan kamu sakit atau tertekan, kamu cerita sama Mas, ya, Ray. Jangan biasakan menyimpan masalah sendirian, ceritakan semua sama Mas. Kita harus saling menguatkan jika ingin pernikahan ini tetap langgeng."

Raya hanya bisa mengangguk, dengan tetes air mata yang mulai berjatuhan. Ucapan dari sang suami, sedikit memberikan ketenangan dihatinya yang dipenuhi keresahan.

Tanpa memberi aba-aba terlebih dahulu, Ganes memeluk tubuh istrinya. Menyandarkan kepala Raya di dadanya. "Menangislah, jika itu membuat kamu merasa tenang," ucapnya.

Tubuh Raya mendadak kaku, karena ini kali pertama ia dipeluk laki-laki, tapi untungnya yang memeluk adalah suaminya. Raya pun menumpahkan semua tangisannya di dada Ganes.