Teman kerjanya di Caffe yang bernama Afifah, menyarankan Raya untuk nge-kost, biar hidupnya biasa lebih leluasa. Tapi Raya tidak memiliki tabungan untuk bisa hidup diluar rumah. Uangnya selalu habis, bahkan seringnya kepepet. Mungkin kalau ibunya tidak minta jatah, ia masih bisa untuk menabung. Kadang Raya iri pada Mbak Fatma yang bisa membeli barang-barang sesuai keinginannnya. Gaji dia besar, tapi ngasih bulanan ke ibunya cuma lima ratus ribu, dan ibu tidak pernah protes. Kalau Raya keluar dari rumah juga, belum tentu ibunya mengizinkan, karena di rumah tidak ada yang membantu membereskan rumah. Sedangkan dua putri raja turunan Qorun itu, mana mau mengurus remeh-temeh masalah rumah tangga. Mereka dari kecil sudah dikondisikan untuk pintar di sekolah, dan bisa cari duit banyak, lalu menikah dengan anak konglomerat.
"Kamu menangis lagi?" tanya Afifah ketika keluar dari kamar mandi.
"Kelihatan banget ya, aku habis nangis?"
"Pasti masalah yang sama," tebak Afifah tanpa menjawab pertanyaan Raya.
"Begitulah," jawab Raya lelah.
"Coba dengarkan saranku, terima tawaran si dosen ganteng itu. Aku yakin hidup kamu akan bahagia. Kamu harus bisa lepas dari tekanan keluargamu Ray, biar mental kamu sehat."
Raya hanya bisa menelan ludah, tidak Dian, tidak Afifah, pasti menyuruhnya untuk menerima tawaran si dosen ganteng yang ingin menikahinya, tapi Raya tolak. Dan dalam sebulan ini, dosen itu memusuhinya. Pengajuan judul skripsinya, lima kali ditolak dengan alasan yang tidak masuk akal. Rasanya ia ingin sekali ganti dosen pembimbing. Hidupnya sudah rumit, ditambah dengan kelakuan itu dosen yang meribetkan hidupnya. Terus kemarin pas mengajukan Bab 1, dicorat-coret tinta merah.
Arghh…rasanya Raya pingin mati saja. Dendam Pak Ganes pada dirinya ternyata berbuntut panjang. Dosen nggak profesional, mencampur adukan perasaan dengan pekerjaan.
"Yuk, ah kita berangkat. Bisa telat kita nyampe kampus, kalau terus di sini." Afifah menyadarkan Raya dari lamunannya.
Dan seperti dugaan, Raya kembali mendapat tinta merah di revisian Bab 1 skripsinya. Tatapan Pak Ganes sangat tajam kepadanya. Tidak ada lagi keramah tamahan. Wajah gantengnya terlihat menyeramkan.
"Kamu niat nggak sih, menyelesaikan skripsi kamu. Ini masih banyak kesalahan."
Raya ingin menjawab, sebenarnya nggak niat. Penelitian skripsi ini hanya buang-buang waktu menurutnya, hanya sebagai penada bahwa ia pernah kuliah. Setelah lulus, karya ilmiahnya ini, akan terongok di lemari dan berdebu. Itu menurut pemikirannya yang menurutnya sempit. Entahlah dengan pemikiran orang-orang cerdas yang memiliki punya banyak karya.
Dan Pak Ganes kembali menjelaskan kesalahan-kesalahan skripsi milik Raya. Gadis manis itu, tidak bisa fokus lagi mendengarkan penjelasan dosbingnya, kepalanya mendadak pusing. Perutnya yang lapar juga melilit perih. Ia ingin pulang membaringkan tubuhnya di kasur. Tanpa ada kributan dari ibunya atau kedua saudaranya. Ia ingin tenang, sekali saja dalam hidupnya.
"Raya, hei… wajah kamu kok mendadak pucat, dan berkeringat juga. Kamu sakit?" Pak Ganes terlihat khawatir melihat mahasiswinya yang terlihat sedang tidak baik-baik saja.
Raya tidak bisa menjawab apapun. Pandangannya mendadak berputar, lalu tiba-tiba tubuhnya melayang, dan gelap.
"Raya … !!!" teriak Pak Ganes. Ia memburu mahasiswanya yang tergeletak karena pingsan. Ia menepis-nepis pipi Raya. Tapi Raya tak kunjung bangun.
Melihat Raya yang tidak kunjung bangun, Pak Ganes segera meminta bantuan mahasiswa lain untuk menggotong tubuh Raya ke mobilnya. Bisa jadi berita aneh-aneh, kalau sampai orang melihat, ia menggendong Raya ke mobilnya sendiri dengan wajah oanik. Meskipun ia menyukai mahasiswinya, tapi tidak suka jadi bahan gosip. Memang akhir-akhir ini, dirinya sangat keterlaluan terhadap Raya. Bisa jadi gadis manis ini tertekan.
Syukurlah Afifah mau menemani Raya, saat akan dibawa ke rumah sakit. Sehingga mereka terbebas dari berduaan, yang akan memicu gosip.
"Kamu cukup dekat dengan Raya kan, sebenarnya dia memiliki masalah apa sehingga harus pingsan saat bimbingan?" tanya Pak Ganes membuka pembicaraan.
"Bisa jadi karena Bapak," jawab Afifah jutek.
"Kok saya. Emang salah saya di mana?" Pak Ganes memperlihatkan wajah tidak berdosanya.
"Raya sering mengeluh karena pengajuan judul skripsinya lima kali Bapak tolak, terus Bab satunya Bapak kasih tinta merah. Sehingga ia harus begadang sampai pagi untuk memperbaikinya."
"Ya itu kan salah dia sendiri yang …"
"Yang menolak perasaan Bapak," potong Afifah cepat.
Pak Ganes mendadak mengerem mobilnya, sehingga terdengar sura decitan yang cukup keras. Untung tidak terjadi kecelakaan.
"Pak, hati-hati dong, kalau menyetir. Saya masih pingin hidup. Kalau ada mobil di depan, terus Bapak nabrak gimana?"
"Maaf," ujar Pak Ganes lemah.
"Dan perlu Bapak ketahui, jalan hidup Raya itu sudah sangat berat. Saya merasa kasihan terhadapnya. Kalau Bapak sayang sama dia, tolong segera nikahi, Pak, lamar pada keluarganya. Hidup Raya sudah sangat menderita akibat sikap driskimasi yang dilakukan keluarganya," jelas Afifah dengan suara bergetar menahan tangisan.
"Kamu tahu banyak tentang Raya?"
"Ya tahulah, Pak. Saya satu tempat pekerjaan, satu tempat kuliah juga. Dulu, saya merasa hidup saya paling menderita karena saya terlahir dari keluarga biasa-biasa saja. Tapi ternyata hidup Raya lebih menderita. Saya masih punya orang tua yang sayang sama saya, tapi Raya tidak. Makanya, kalau Bapak cinta, nikahi Raya dengan cepat, dan sayangi dia dengan tulus."
Pak Ganes tersenyum. Usul dari Afifah boleh juga. Ide yang sangat Bagus. Ia harus memaksa gadis yang sedang pingsan itu, agar mau menikah dengannya. Karena ini satu-satunya jalan agar Raya bisa terbebas dari penderitaan yang diberikan oleh keluarganya. Sebenarnya, ia tahu masalah Raya dari sepupunya.