Lima Belas
Bunyi ponsel terus berdering, Raya menghela napas dalam. Telepon dari Mamanya. Pasti meminta uang. Nggak mungkin mamanya mau menelpon pagi-pagi kalau tidak karena butuh uang. Ia sudah tahu dengan sifat mamanya, ia dibutuhkan karena uang dan juga tenaganya.

"Kenapa tidak diangkat?" tanya Ganes heran.

"Telepon dari Mama, Mas," jawab Raya lemah.

"Ya, kamu angkat aja dulu, kalau nanti apa yang mama kamu katakan bikin kamu nggak nyaman, Mas tidak mengizinkan kamu pergi."

"Mama pasti butuh uang, Mas."

"Buat apa? Mas sudah ngasih uang banyak buat mama kamu, sebelum kita nikah. Angkat saja untuk saat ini, mumpung Mas ada di rumah."

Raya mematuhi perintah suaminya. Mengangkat telpon dari mamanya, meskipun dengan berat hati.

"Raya ini Mama, kamu lagi nggak sibuk kan, tolong datang ke rumah. Bantu Mama buat ngerapiin rumah. Pinggang Mama lagi sakit, sementara cucian baju, piring banyak, dan rumah juga berantakan. Kamu harus datang!"

Hati Raya terasa sesak, setelah ia dipaksa menikah untuk melunasi hutang-hutangnya. Tenaganya juga ternyata masih dibutuhkan.

"Kenapa tidak suruh Mbak Fatma dan Raisa saja, Ma."

"Kakakmu sibuk, dan Raisa juga sibuk belajar buat persiapan UAS. Mama nggak bisa nyuruh mereka, hanya kamu yang nggak sibuk."

Raya menelan ludahnya getir, air mata sudah siap meluncur. Bahkan sudah menikah pun, ia masih diperas uang dan tenaganya. Kedua saudaranya sibuk? Lalu menjadi istri, sekaligus kerja dan kuliah yang lagi pusing-pusingnya nyusun skripsi, nggak dianggap sebagai kesibukan.

"Maaf, Ma, aku nggak bisa." kali ini Raya harus menolak. Pernikahan adalah bagian dari kemerdekaannya. Untuk apa menikah, kalau ia harus menderita karena ulah keluarganya?

"Dasar anak nggak tau diri kamu ya, baru aja menikah, udah lupa sama keluarga. Kamu nggak ingat siapa yang sudah lahirin kamu ke dunia ini, hah? Aku susah payah lahirin kamu … Eh, udah gede lupa sama jasa …."

Ganes langsung menyambar telepon milik istrinya, ia sudah tidak tahan lagi mendengar makian dari ibu Raya. Sebagai suami ia tidak terima istrinya dicaci maki.

"Maaf ya, Mama mertua, istri saya sibuk dan dia bukan pembantu. Ketika Mama sudah menyerahkan Raya untuk diperistri oleh saya, berarti tanggung jawab berpindah ke tangan saya. Tidak ada seorang pun yang boleh menyuruh dia, tanpa seizin saya. Tanggung jawab seorang istri ketika sudah menikah, adalah berbakti pada suaminya, bukan pada keluarganya. Lagian Mama masih punya dua anak, kenapa nggak dimanfaatkan saja tenaganya?"

Terdengar suara dengkusan diseberang telepon, setelah itu telpon ditutup.

"Jangan pernah menemui ibumu tanpa seizinku!" ujar Ganes dengan nada suara tidak ramah. Baru saja menikah sudah terjadi drama yang menyebalkan di pagi hari.

Raya menganggukan kepalanya, ia tidak berani menatap suaminya.

"Kamu punya kebebasan untuk menolak, jangan selalu menuruti kemauan mamamu kalau perasaanmu merasa tertekan, karena ini nggak sehat dan bisa nyerang mental. Kamu bukan anak durhaka, tapi kamu adalah korban kesewenang-wenangan orang tua kamu. Di dunia ini banyak orang tua zalim, yang tidak becus menyayangi dan mendidik anaknya dengan baik. Sehingga banyak melahirkan anak dengan mental yang sakit."

Raya membenarkan apa yang dikatakan oleh suaminya. Pengabaian bertahuan-tahun, ditambah kekerasan verbal dan fisik, membuat rumah seperti neraka. Ia pernah ingin bunuh diri, karena nggak kuat mengahadapi sikap keluarganya.

"Raya, kamu dengar kan, apa yang Mas katakan?"

"Dengar Mas, terimakasih sudah peduli sama aku," ujar Raya dengan mata berkaca.

Ganes mendekati istrinya, lalu menarik kepala istrinya untuk bersandar di dada bidangnya.