Sembilan Belas
Pergi ke Puncak telah siap, namun hambatan datang tidak diduga, saat mereka akan keluar dari kamar, bel rumahnya berbunyi.

"Siapa ya, Mas?" tanya Raya.

"Mas nggak tahu, ya udah, kamu tunggu aja disini. Ngeselin tuh, orang, kalau kita ini pengantin baru. Main datang aja!" Ganes terlihat kesal. Wajahnya mengkerut kayak jeruk purut. Kalau sampai gagal lagi hari ini ke puncak, ia bakal melakuin sesuatu.

Tamu yang datang ternyata orang tua Raya. Wajah Ganes langsung masam. Nggak jadi bulan madu! Itulah yang bikin dirinya kesal.

"Bapak dan Ibu mau apa datang ke sini?" tanya Ganes dingin.

"Saya mau nengok anak saya, masa tidak boleh," jawab ibunya Raya.

Ganes tersenyum sinis. Mau menengok anak katanya, lalu dulu-dulu keberadaannya tidak dianggap, bahkan dijadikan pembantu di rumah orang tuanya sendiri.

"Silakan jika mau menengok. Tapi, jika meminta Raya pulang untuk membantu pekerjaan orang tuanya di rumah. Maaf, saya melarang. Saya sebagai suami, lebih punya hak untuk memerintahnya. Dan saya tidak ingin istri saya diperlakukan sebagai budak di rumah orang tuanya sendiri. Ibu masih punya dua anak, kenapa tidak mereka saja yang disuruh? Atau jangan-jangan Ibu sendiri diperlakukan seperti pembantu oleh mereka, karena kesalahan dalam mendidik."

Ibu Raya terlihat tidak nyaman melihat sifat menantunya yang bersikap tidak ramah kepadanya. Tadinya, ia ingin menginap di rumah anaknya ini. Biar ia tidak direpotkan dengan pekerjaan di rumah. Tapi sikap sang menantu sungguh tidak mengenakan.

"Ibu kangen sama Raya, dan menyesal sudah memperlakukannya tidak baik. Makanya, datang kemari. Ya, kan, Pak?" wanita paruh baya itu menatap suaminya.

"Kangen? Bukannya tadi saat menelpon meminta istri saya untuk pulang ke rumah? Untung saya mendengar obrolannya telepon. Besok-besok, jangan menelpon istri saya, jika hanya untuk diperas tenaganya."

Ibu Raya menyikut tangan suaminya, meminta laki-laki itu tidak diam saja. 

"Betul kata istri saya. Saya datang kemari memang untuk meminta maaf. Sebagai orang tua, saya sering menyakiti perasaan anak saya."

Ganes merasa tidak percaya jika kedatangan mereka murni untuk meminta maaf. Ia mendengar ucapan mertuanya ini, saat dia mengantar kedua orang tuanya pulang seteleh selesai acara akad pernikahan, ketika balik lagi ke ruangan istrinya dirawat, mertuanya ini, meminta putrinya untuk mengirimkan uang bulanan yang lebih besar dari biasanya. Dan Ganes tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Bukan dia pelit. Tapi orang tua seperti itu, kalau tidak sadar-sadar, akan menjadi lintah yang terus menghisap darah.

Tidak lama Raya muncul menemui kedua orang tuanya, dia hanya bersalaman setelah itu memilih diam. Hal yang biasa dilakukan jika berada ditengah keluarganya. Keberadaannya yang tidak pernah dianggap, membuat ia tidak memiliki kedekatan dengan ibu atau pun ayahnya.

"Silakan, jika kedatangan Ibu dan Bapak untuk meminta maaf pada istri saya. Karena setelah ini, kami akan pergi," ujar Ganes.

Ibu Raya kembali memandang suaminya. Menantuny a ini sangat menyebalkan sekali, ia jadi tidak bisa memeras putrinya, baik secara tenaga maupun financial. Ganes bersikap seperti bodyguard yang siap menjaga Raya dari gangguan siapapun. Padahal, sebagai orang tua, ia juga memiliki hak untuk melakukan apapun pada putrinya, karena ia sudah melahirkannya dengan bertaruh nyawa.

Ibu Raya merasa berat sekali untuk meminta maaf.  Lidahnya kaku untuk berucap. Hingga ruangan pun menjadi hening.