Sepuluh
Bu Rini menatap suaminya dengan perasaan tidak karuan. Kenapa ia yang berharap dapat keuntungan malah buntung. Calon menantunya ini, ternyata lebih cerdas.

"Sebelum melakukan tanda tangan di surat perjanjian, bolehkah saya mengajukan syarat ?" suami Bu Rini yang bernama Pak Bambang tidak mau kehilangan sumber tambang emasnya.

"Syarat apa ya, Pak?" tanya Ganesa sambil menautkan alisnya.

"Saya ingin saat kamu nanti menikahi putriku, kamu  memberikan uang bulanan pada istri saya sebesar sepuluh juta per bulan," ujar Pak Bambang.

Sudah bisa diduga, guman Ganesa dalam hati.

"Maaf Pak, uang segitu cukup besar bagi saya. Pekerjaan saya hanya seorang dosen honorer yang penghasilannya hanya cukup untuk keluarga. Jika saya bisa bayar hutang keluarga Bapak bukan karena saya banyak uang, itu semua adalah hasil saya menabung selama bertahun-tahun," ucap Ganesa dengan tenang.

"Ckk … jadi untuk apa kamu berani menikahi putri saya kalau tidak bisa membahagiakannya," sinis Bu Rini.

"Saya Insya Allah bisa membahagiakan putri Bapak dan Ibu dengan hidup sederhana, tapi jika saya sudah memiliki banyak uang, tentu saja akan memberikannya kemapanan. Namun, permintaan Bapak dan Ibu ini, di luar batas kemampuan saya. Dalam agama tidak ada kewajiban suami menafkahi keluarga istri, kewajiban suami adalah menafkahi istri. Jika suami berkecukupan, membantu keluarga istri dengan seikhlasnya, itu bagian dari sedekah. Sedang yang Bapak dan Ibu inginkan itu tidak lebih sebagai pemerasan, bukan begitu Pak Markus?" Ganesa menatap sahabatnya.

"Betul sekali dengan apa yang dikatakan Ganesa, Bu. Saya tahu kehidupan sahabat saya ini. Sepertinya permintaan Bapak dan Ibu dengan meminta jatah bukan sepuluh juta per bulan, sangat membebaninya. Sedangkan pernikahan itu kata Rasulullah harusnya pihak wanita meringankan. Bapak harusnya bersyukur, jika teman saya ini mau meminang putri Bapak dan Ibu, karena dia laki-laki yang baik."

"Ya sudah, kalau tidak mampu. Tidak usah jadi saja menikahnya," ujar Bu Rini.

Ganes benar-bebar kesal menghadapi sepasang suami istri yang matrealistis ini. Tapi tidak mungkin ia menyerah begitu saja. Pasti Raya mengalami banyak tekanan dalam hidupnya. Kalau ia punya orang tua seperti ini, bisa gila.

Markus menatap Ganesa dengan perasaan iba. Perjuangan sahabatnya ini luar biasa dalam mendapatkan cinta seorang gadis. Kalau ia punya calon mertua seperti ini, lebih baik mundur. Kelaurga toxic, narsistik, nggak ada bagus-bagusnya buat dipertahankan.

"Bagi saya tidak masalah tidak jadi juga, Bu. Masih banyak perempuan yang keluarganya lebih baik yang mau menerima saya. Tapi Ibu dan Bapak pasti menyesal setelah menolak saya. Karena utang riba itu, bunganya akan terus membengkak jika tidak bisa membayar. Bapak dan Ibu, nantinya malah akan berurusan dengan pihak berwajib. Bisa jadi akan berakhir di penjara," ujar Ganesa.

"Kemarin saya mengusut kasus pembunuhan. Ternyata berkaitan dengan utang piutang. Di zaman seperti ini, kalau berkaitan dengan hutang, itu sangat kejam, Bu, Pak. Dan tidak ada laki-laki yang mau menanggung untuk membayar hutang-piutang, kecuali teman saya ini. Jadi Bapak dan Ibu memilih bunga terus membengkak, lalu dilaporin ke pihak berwajib yang berujung penjara, atau bagaimana kalau kasus mengerikan menimpa kalian berdua?" Markus ikut membela Ganesa. Kasihan kalau sahabatnya ini, nggak jadi merit.

Suami istri itu saling pandang. Ada benarnya juga sih dengan apa yang dikatakan Markus. Hutang mereka saja sekarang sudah membengkak, kalau tidak bayar pasti akan berurusan dengan pihak kepolisian.