Dua Puluh Satu
Ganes menarik napas lega. Akhirnya kedua mertuanya itu pergi, setelah ia mengatakan akan pergi ke luar. Saat ini, dirinya memang sangat keterlaluan, bersikap kepada mertuanya. Tapi Ganes tidak akan bersikap seperti itu, kalau mertuanya itu bersikap baik kepada istrinya.

Raya tampak melamun, ketika kedua orang tuanya pergi. Entah apa yang dipikirkannya?

"Ayo bersiap, kita akan pergi ke puncak sekarang," Ganes menepuk bahu raya lembut.

Raya menatap suaminya, ada hal yang ingin diucapkan tapi sangat berat untuk dikatakan.

"Kenapa, sayang?"

"Mas, orang tuaku sepertinya butuh uang, makanya datang kemari," ungkap Raya pelan.

Ganes mendekati istrinya, lalu memegang kedua bahu Raya.

"Lalu kenapa? Kamu hanya diperlukan di saat susah. Tapi di saat orang tuamu bahagia, kamu dicampakan. Berhenti sejenak untuk tidak memikirkannya, bukan berarti kamu jahat, namun agar mereka berpikir bahwa kamu itu justeru yang paling berharga di keluargamu. Aku tahu kamu tidak pernah menyusahkan mereka, Raya."

"Tapi bagaimana kalau kedua orang tuaku kembali terjerat hutang lagi."

"Itu bukan salah kamu. Tapi salah kedua orang tua kamu yang terus memanjakan Raisa. Sehingga anak itu segala kemauannya harus dituruti. Padahal, dia tahu kondisi keuangannya seperti apa. Kamu bukan tameng dia. Hal yang harus kamu ketahui, aku dibesarkan dalam keadaan berkecukupan, tapi ayah dan ibuku tahu mana yang jadi skala prioritas dan mana yang tidak. Di saat aku meminta sesuatu, aku harus berjuang terlebih dahulu, itu adalah sebuah pendidikan agar aku menghargai yang namanya kerja keras."

Raya berusaha mencerna apa yang di ucapkan suaminya. Memang tidak salah. Jika sikap memnajakan ibu dan ayahnya pada Raisya terus berlangsung, maka gadis itu tidak mengerti apa arti berjuang, dan orang lain yang akan dijadikan beban. Ibunya akan tetap berhutang, dan menganggap akan ada orang lain yang akan membayarkan hutang-hutangnya. Lalu, dirinnya yang kembali dijadikan tameng untuk membayar hutang-hutangnya. 

"Kamu ngerti kan' apa yang Mas mau dari kamu. Jangan terlalu lembek jadi orang, sehingga mudah di manfaatkan oleh orang lain. Fokus kamu saat ini, bahagiakan diri kamu, dan kejar mimpi-mimpi kamu. Jika kemarin-kemarin kamu merasa tertekan, sedih, putus asa, sekarang ada Mas yang akan meringankan beban kamu."

"Makasih ya, Mas," mata Raya berkaca-kaca.

"Sudah nggak usah nangis, kita harus bahagia, makanya pergi ke puncak."

Jika Raya ingin ke puncak buat refreshing karena pikirannya yang kusut, lain dengan niat Ganes pergi ke puncak. Dia memang ingin melakukan bulan madu di sana. Berharap kali ini, tujuannya tidak mengalami kegagalan lagi. Wajah Ganes berubah sumringah, dia tidak sabar untuk bisa segera sampai di sana.