Tujuh
Dian juga menceritakan kalau sepupunya saat kuliah mengambil dua jurusan, di universitas yang berbeda. Satu di arsitektur dan satu lagi di manajemen bisnis. Penjelasan Dian, membuat Raya tambah inscure. Betapa pintarnya Pak Ganes bisa menempuh pendidikan double degree. Raya yang satu jurusan saja sudah ngos-ngosan, terutama di masalah biaya.

"Kenapa bisa Pak Ganes menyukaiku, Di, padahalkan aku itu jelek, bodoh, dan …"

"Udah ah, aku nggak mau dengar omongan kamu yang under ustime. Di mataku kamu itu cantik Raya, kamu juga tulus. Di dunia ini nggak ada yang jelek dan bodoh. Setiap orang cantik dengan caranya, dan pintar sesuai bidangnya. Kecerdasan intelektual akan percuma, kalau kecerdasan emosinya minus. Di mataku kamu punya banyak kelebihan, tapi kamu nggak sadar, karena kamu terlalu fokus memikirkan hinaan dari keluargamu. Mas Ganes aja bisa lihat kelebihan kamu, bahkan dia menyukai kamu dari sejak SMU."

"Dari SMU, kok bisa? Kapan aku bertemu dia saat SMU?"

"Untuk masalah itu, kamu tanya nanti kalau sudah menikah pada sepupuku ya?"

Raya mengerucutkan bibirnya sebal, karena nggak mendapatkan jawaban yang memuaskan.

"Eh, ngomong-ngomong mulai kapan Mas Ganes negelamar kamu, romantis nggak? Duh, kebayang manisnya dia saat ngelamar wanita yang dicintainya dari lama." Dian membayangkan adegan romantis saat sepupunya melamar sahabatnya.

"Kamu kurang-kurangi nonton drakor, bisa jadi ratu halu kalau terlalu menghayati jalan ceritanya. Mana ada Mas Ganes romantis, dia cuma ngajak nikah dengan bahasa yang formal." 

"Formal kayak gimana?"

Raya pun menceritakan waktu Pak Ganes melamarnya.

"Nggak asyik banget! Tapi aku senang akhirnya kamu mau menerima dia. Semoga setelah ini, kamu bisa hidup bahagia ya, Ray. Aku yakin Mas Ganes bisa jagain kamu, juga bisa bahagiain kamu. Kamu sudah terlalu lama banyak menangis, maka sudah waktunya kamu hidup bahagia.

Raya hanya mengaminkan dalam hati, dia belum memiliki chemistry pada dosennya itu, tapi melihat kesungguhan laki-laki itu, membuat dia berpikir ulang. Mungkin ia harus keluar dari rumah yang membuat dirinya tidak pernah dihargai. Raya berusaha meyakinkan dirinya, kalau keluarga Pak Ganes nggak akan sejahat keluarganya.

"Jadi, kapan kalian akan menikahnya?"

"Malam ini."

"Apa?! Kamu nggak salah, Ray, kalau malam ini akan menikah?" pengakuan Raya membuat Dian terkejut.

Raya mendesah, kalau bisa ia juga tidak ingin menikah hari ini, tapi sikap tegas Pak Ganes yang berhasil meyakinkan kedua orang tuanya, dan mau membayar hutang kedua orang tuanya, membuat ia tidak memiliki pilihan lain, selain menurut.

"Aku nggak punya pilihan Ray, tadi orang tuaku ke sini dan marah-marah di depan Pak Ganes, mungkin itu yang membuat sepupu kamu kasihan sama aku, sehingga dia bilang pada kedua orang tuaku, agar bisa menikahiku. Orang tuaku mengizinkan asal Pak Ganes mau membayar hutang kedua orang tuaku. Aku menyedihkan kan' Ray, katanya aku anak yang tidak berguna, tapi aku yang selalu dimanfaatkan oleh keluargaku." Raya menatap Dian dengan raut mendung, ada banyak beban kesedihan yang terlihat di wajahnya.

Dian menepuk punggung sahabatnya untuk memberikan kekuatan, Raya sudah terlalu lama menahan kesedihan, mungkin sudah waktunya ia hidup bahagia. "Mas Ganes itu sayang kamu Ray, dia ingin membuat kamu bahagia, bukan kasihan. Jadi, pilihan kamu menikah dengan sepupuku adalah pilihan terbaik."

Raya menghela napasnya. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Dian. Tapi ia belum siap menikah. Masih ingin mengejar mimpi-mimpinya. Ia ingin membuktikan pada keluarganya, bahwa ia bisa sesukses kakak dan adiknya. Secara akademik boleh dikatakan bodoh, tapi srcara materi ia bisa memgungguli kedua saudaranya itu. Ia ingin membungkam mulut sinis di keluarganya.

"Percayalah, dengan kamu menikah dengan Mas Ganes, aku yakin bisa bahagia, dan lebih leluasa untuk mengejar impian kamu, dibanding kamu sendirian mengejarnya agar bisa membuktikan pada keluargamu,  bahwa kamu tidak sebodoh yang orang tua dan saudaramu kira. Mas Ganes bukan laki-laki kaku yang akan memenjarakan impian istrinya."

"Semoga aja apa yang kamu katakan itu benar," ucap  Raya lemah.

"Kamu harus semangat dong, Ray, apalagi akan menikah dengan sepupuku yang cerdas dan ganteng. Kamu sangat beruntung dia jatuh cinta sama kamu. Kalau aku berada diposisi kamu, kayaknya nggak bakal mikir lagi, langsung terima." Dian menyemangati sahabatnya.

Bagi Dian mungkin tidak bakal berpikir panjang, karena mereka setara, baik secara ekonomi atau prestasi akademik. Dian selain anak orang kaya, dia langganan dapat juara kelas, sering menang ikut lomba pidato bahasa inggris dan juga pernah jadi pelajar teladan se-provinsi Jawa Barat. Pernah ikut olimpiade Matematika juga di Singapura. Sedangkan  Raya cuma remahan rengginang. Ia tidak ada apa-apanya dibanding Dian. Apalagi Pak Ganes. Hal ini, yang membuat ia inscure. Hanya mahasiswa yang menempuh pendidikan di fakultas biasa, yang mengambil kelas karyawan, karena harus mencari segenggam recehan buat bisa membiayai kuliahnya. Dan sedihnya recehan itu, diembat juga sebagian oleh ibunya, katanya buat membayar hutang ibu ke beberapa renternir. 

Raya benar-benar sedih jika mengingat perbedaan yang terjadi dalam keluarganya. Kakaknya yang sudah punya gaji melebihi dirinya, tidak pernah dibebankan untuk membayar hutang. Adiknya yang masih kuliah tentu belum bisa membantu kedua orang tuanya, tapi permintaannya selangit dan harus dituruti kalau tidak dia bakalan menghancurkan barang-barang yang ada di rumah. Raya benar-benar stres jika melihat keadaan keluarganya. Lama-lama ia bisa gila jika hidupnya penuh dengan tekanan. Semoga setelah menikah nanti, ia tidak dibebani lagi dengan******bengek masalah keluarganya. Ia ingin bahagia. Ia ingin mengakhiri semua penderitaan dan air mata yang sudah keluarganya berikan jika ia tidak ingin mengalami mental illnes.

"Ya udah, sekarang kamu makan, ya. Aku bikinin bubur sebelum ke sini. Kamu harus bahagia mau menikah dengan sepupuku." Dian menyodorkan rantang yang berisi bubur.

Sebenarnya Raya ia ingin menolak karena masih kenyang dengan memakan bubur pemberian Pak Ganes tadi. Tapi ia tidak tega melihat Dian yang sudah bersusah payah membuat bubur dengan pinuh cinta.