Saat terbangun dari tidurnya, Raya kaget ketika dirinya terbaring di sebuah ruangan yang serba putih. Bau obat menyeruak menusuk hidungnya, dan Raya tambah kaget ketika tangannya dipasang selang impus. Apa yang terjadi? Raya berusaha mengingat kejadian yang sudah menimpa dirinya. Ia ingat kalau dirinya pingsan saat berada di ruang Pak Ganes, saat akan bimbingan skripsi. Ini semua karena kelelahan. Beban keluarga, pekerjaan, skripsi yang memusingkan, membuatnya tidak memiliki banyak waktu istirahat. Tubuhnya terlalu diporsir.
Mata Raya mengitari seluruh ruangan, terlihat sepi. Di mana keluarganya? Tiba-tiba ada rasa sesak menyeruak. Bahkan di saat tidak berdaya pun, tidak ada satupun keluarganya yang mengulurkan tangan. Mereka memperlakukannya dengan semena-mena. Di rumah, ia hanya jadi anak, tapi rasa pembantu. Bahkan berjuang untuk bisa kuliah, ia harus bekerja keras, dengan mengambil kuliah kelas malam, yaitu kelas karyawan. Pagi sampai sore, ia bekerja di sebuah caffe, malamnya kuliah. Cukup melelahkan, tapi Raya ingin membuktikan pada keluarganya, kalau dirinya tidak serendah apa yang keluarganya labelkan pada dirinya, yatu 'sia anak bodoh yang tidak berguna'.
Raya ingat, saat mengutarakan keinginannya ingin kuliah, jawaban kedua orang tua dan saudara-saudaranya sangat menyakitkan. "Kamu itu bodoh, jadi percuma kuliah juga, hanya buang-buang biaya!" sinis ibunya.
"Iya, kamu harus mengukur diri, prestasi aja nggak ada, mimpi pingin kuliah." Mbak Fatma ikut-ikutan menghinanya.
"Mending uangnya buat biayain adikmu. Dia jelas pintar, selalu peringkat pertama terus. Kamu nggak pernah bikin Bapak dan Ibumu bangga." laki-laki yang diharapkan Raya jadi pembelanya, ternyata nggak jauh beda dengan ibu dan Mbak Fatma.
"Anak nggak berguna, nggak usah banyak mimpi." tambah ibu.
Ada luka yang menggangga di hati Raya. Ia merasa dirinya tidak bodoh, cuma tidak pernah menjadi juara kelas, atau ikut lomba apapun. Tapi, jika diberi kesempatan, dengan sedikit berusaha pasti bisa seperti Mbak Fatma atau Raisa. Dan kesempatan itu tidak pernah diberikan kepadanya. Dari kecil, ia sudah dibebani banyak pekerjaan untuk mengurus rumah. Di saat kakak dan adiknya belajar untuk ulangan, ia tidak bisa. Jika pun bisa belajar, itu pun pas larut malam, dalam kondisi tubuh sudah kelelahan. Paginya, ia juga harus bantu ibu rapi-rapi rumah dan menyiapkan sarapan sebelum pergi ke sekolah. Mbak Fatma dan Raisa jangan harap mau melakukannya. Mereka terbiasa di manja, dan di perlakukan seperti ratu dalam rumah.
"Kamu sudah bangun?" tanya sosok yang baru datang dengan membawa kresek makanan.
"Bapak kenapa ada di sini?" tanya Raya bingung melihat dosennya, ada di ruangan tempat dirinya di rawat. Apakah semalam, dia yang membawanya ke sini.
"Kamu sakit, jadi aku menungguimu."
Raya mendadak gelisah, dosen muda yang sudah ia tolak cintanya ini, masih tetap peduli. Ada perasaan tidak enak mengaliri dadanya.
"Makasih ya, Pak," lirih Raya.
"Sama-sama," jawab Pak Ganes. "Makan dulu, tadi saya beliin bubur buat kamu. Takutnya kamu nggak suka makanan rumah sakit."
Raya tampak sungkam menerima perhatian dosennya. Padahal, Pak Ganes terlihat kesal kepadanya, saat ia dengan halus menolak perasaan cintanya. Bukan tidak suka, dengan dosen ganteng itu. Tapi, ia merasa dirinya tidak layak menerima cinta seorang dosen. Dan Raya tidak mau jadi keirian teman-teman yang selama ini mengidolakannya. Tapi, penolakan itu berimbas pada skripsinya yang dipersulit. Kebetulan Pak Ganes adalah dosen pembimbing skripsinya. Raya sampai nangis-nangis karena pengajuan proposal skripsinya ditolak terus sama Pak Ganes, sedang teman-teman lainnya sudah mulai mengerjakan Bab satu. Dosen muda itu, seperti punya dendam pribadi kepadanya.