Ibunya Raya langsung ngedumel ketika berkunjung ke rumah anaknya, tapi tidak di sambut dengan baik. Menantunya itu sangat menyebalkan sekali. Keinginannya untuk mendapatkan uang tidak tercapai. Alih-alih mendapat uang, sang menantu bersikap protektif pada istrinya. Menyebalkan sekali. Kini, tambang emasnya susah untuk dimanfaatkan seperti dulu. Sedangkan kedua anaknya yang lain, makin hari malah makin bersikap kurang ajar dan banyak maunya.
"Kita gimana ini, Pak, gagal dapat uang. Mana Raysa banyak kebutuhan," keluh ibunya.
Laki-laki tua itu tampak berpikir keras. Ia tidak tahu kemana lagi harus mencari uang. Nggak mungkin harus minjam lagi ke reternir yang di saat telat bayar, pusingnya bukan main. Setelah Raya menikah, kehidupan di rumah, makin terasa berat. Istrinya sering uring-uringan, karena tidak ada yang mau meringankan pekerjaannya. Biasanya, semua pekerjaan, Raya yang menghandel. Uang pemberian sang menantu juga sudah habis dibelikan istrinya sama kalung dan cincin.
"Jual saja kalung dan cincin Ibu," ujar suaminya.
"Enak saja! Apa kata tetangga kalau Ibu menjual emas-emas Ibu."
"Terus kita harus bagaimana? Raisya minta uang banyak buat biaya kuliahnya. Bapak nggak mau kuliahnya terputus di tengah jalan."
"Ya, Bapak bantu nyari uang lah," ketus istrinya.
"Bapak nggak tahu, Bu, kita harus cari uang ke mana. Cara yang lebih mudah, ya, kita minjam sama renternir."
Mata si ibu menyureng galak. Tidak ingin lagi harus minjam uang ke renternir. Bunganya itu sangat mencekik.