Pilih kasih
Di pojokan kamar, gadis yang sekarang menempati kelas 3 SMA itu masih tergugu menelungkupkan wajahnya pada bantal di tekukan paha. Setelah kejadian di ruang tengah tadi, Tasya terus saja menangis, berhenti, lalu menangis lagi. Terngiang-ngiang semua perkataan Burhan di telinganya.
Tasya berfikir jika dia tak ada apa-apanya di mata Burhan. Selalu di anggap salah, dan Yusuf selalu benar.
Dulu, saat Tasya kelas dua SMP, ia mendapatkan ranking dua dari jumlah tiga puluh enam murid di kelasnya. Akan tetapi, saat ia menunjukkannya pada Burhan, responnya hanya biasa-biasa saja. Tak bahagia apalagi mengapresiasi prestasinya.
Sebaliknya, jika Tasya tidak mendapatkan peringkat, Burhan marah besar. Perkataannya melukai hati. Selalu menuntut anaknya pintar, tanpa ada sangkut pautnya.
Beda lagi saat Yusuf mendapat juara 3, ia begitu senang membangga-banggakan ke setiap orang yang ada di dekatnya.
Hal itu membuat Tasya down, semangat belajarnya berkurang. Ia berfikir, jika yang dilakukannya selalu salah dimata Burhan.
Mengingat itu, Tasya semakin menelungkupkan wajahnya, menangis dalam diam membuat dadanya naik turun di barengi suara cegukkan.
Saat keadaan rumah sepi, Tasya keluar kamar untuk ke kamar mandi, berwudhu menunaikan salat. Ia tak menyempatkan makan dan minum, membuat tubuhnya terlihat lemas.
Tasya bangkit dari pembaringan, berjalan menuju tempat rias.
"Kenapa Bapak gak menyukaiku? Semua yang aku lakukan selalu salah di mata Bapak." Lirihnya seraya melihat dirinya sendiri di cermin.
Akibat terlalu lama menangis, matanya begitu merah dan sembab. Rambut hitamnya yang basah menutupi pinggiran wajah.
"Hatiku sakit ... Hiks!" Tasya terisak seraya menghapus air mata dengan kedua tangannya.
"Yusuf. Ini semua gara-gara dia. Kenapa dia lahir ke dunia ini? Membuat Bapak tidak memperdulikanku!"
Wajahnya begitu memerah mengingat nama adiknya yang selalu mencari perhatian saat di depan Burhan. Tasya benci karena Burhan amat pilih kasih dalam hal kasih sayang.
Ya, selama ini, dirinya berasa di bedakan dengan Yusuf oleh Burhan. Entah itu soal perhatian, nada bicara, atau kedekatan. Tasya tidak begitu akrab dengan bapaknya. Ia selalu menginginkan duduk bersama dengan Burhan walaupun sebentar, itu sudah membuat hatinya senang.
Ingatan satu tahun yang lalu berputar di kepalanya.
"Kamu harus pintar ya, Nak. Harus bisa banggain Bapak. Jangan bikin Bapak kecewa terus." ujar Burhan saat itu kala sedang bersama Yusuf di sofa.
"Iya, Pak." sahut Yusuf seraya memainkan jimbot.
"Pinter." Burhan mengacak rambut Yusuf. "Pokoknya kamu harus juara tiap tahunnya, nanti Bapak kasih hadiah, deh!"
Yusuf mengangkat wajahnya menatap Burhan gembira. "Beneran, Pak?"
"Iya. Kamu 'kan, anak kesayangan Bapak."
Tasya yang sedang merapikan pakaian di lantai, memperhatikan dengan sudut mata obrolan bapak dan adiknya itu. Ia langsung bangkit menjauh berjalan ke belakang. Mengelus dadanya berulang kali menyabarkan agar dirinya untuk tidak mengambil hati perkataan Bapaknya.
Akan tetapi, dirinya memang bukan seperti anak lain yang selalu kuat mendengar sindiran orang. Tetap saja ia pasti menangis apalagi sindiran itu keluar dari mulut Burhan, bapaknya sendiri.
Rahang Tasya mengeras. Disimpannya kembali ke dua tangan bersejajar dengan paha. Mengepal kuat, giginya gemelutuk menahan kebencian.
Tok!
Tok!
Suara ketukan di balik pintu membuyarkan lamunan Tasya.
"Nak ...." panggil Rani.
Tasya ingat saat kembali dari kamar mandi, dia tidak menguncinya lagi.
Dengan cepat tubuhnya ia rebahkan di atas ranjang dengan posisi membelakangi arah pintu.
Ceklek.
Pintu terbuka menampilkan sosok Rani memakai piyama berwarna biru dengan tangan membawa nampan berisi makanan dan segelas air putih.
Rani meletakan nampan itu di atas nakas samping ranjang. Dia duduk di sebelah Tasya.
"Nak, makan dulu, yuk. Sepulang dari sekolah kamu belum makan lagi 'kan?" Ucap Rani dengan tangan mengusap lembut rambut anaknya.
"Tasya gak lapar, Bu." sahut Tasya tanpa membalikkan tubuhnya.
"Jangan begitu, Nak. Perut kamu kosong, belum di isi. Kalo nanti sakit bagaimana?"
Tess.
Buliran bening dari pelupuk mata Tasya kembali mengalir membasahi bantal. Perhatian ini lah yang di harapkannya. Perhatian dan kasih sayang penuh dari kedua orang tuanya. Namun, Tasya hanya mendapatkan itu semua dari Rani, tidak dengan Burhan.
"Ayo, Nak. Ibu suapin, ya." Rani terus membujuk Tasya. Ia yakin kalau ia yang menyuapinya, Tasya tidak akan menolak.
Benar saja, Tasya mengangguk menyetujui. Rani membantunya bangun, menempatkan bantal di belakang punggung Tasya agar nyaman bersandar.
Rani mengambil Piring berisi nasi berlaukkan sayur sop.
Tasya membuka mulutnya saat sendok sudah dekat dengan bibir. Dia terus mengunyah dengan sesekali mengusap sudut mata.
Rani yang melihat itu bersuara. "Jangan di ambil hati perkataan Bapak, ya. Tasya 'kan tahu sendiri kalau ucapan Bapak memang begitu."
Dengan susah payah Tasya menelan. "Sebenarnya, Tasya itu anak Bapak bukan sih, Bu?"
Ucapan Tasya membuat sendok yang sedang Rani adukkan di nasi berhenti.
"Kok kamu ngomongnya gitu sih, sayang? Kamu itu anak kandung Ibu dan Bapak. Kami yang sudah membesarkanmu dari bayi sampai saat ini." Rani mengusap pipi Tasya yang basah.
"Kenapa Bapak selalu marah-marah sama Tasya?"
"Mungkin, suasana hati Bapak sedang tidak baik." Rani menatap putrinya nanar.
"Jika benar begitu, lalu kenapa Yusuf gak pernah Bapak marahin? Kenapa selalu Tasya yang selalu kena sama omelan Bapak? Ini gak adil, Bu!"
Rani tak berkutik. Ia bingung harus menjawab apalagi, dalam hatinya membenarkan apa yang di ucapkan Tasya bahwa Burhan memang pilih kasih.
Karena tak ada jawaban sama sekali dari Ibunya, dia meraih gelas lalu meminumnya hingga tandas.
"Tasya sudah kenyang, Bu." ucap Tasya. Padahal baru beberapa suapan.
"Tapi 'kan ...." ucapan Rani terhenti.
"Ibu keluar aja, ya. Tasya mau istirahat." Setelah mengucapkan itu, Tasya menarik selimut lalu membaringkan diri membelakangi tubuh Rani.
Dengan dipenuhi perasaan bersalah karena tak dapat menjawab ungkapan Tasya, Rani beranjak berjalan menuju pintu.
Sebelum seluruh tubuhnya berlalu dari balik pintu, Rani menatap Tasya seraya membatin.
'Karena Yusuf anak laki-laki, Nak.'
***
Pagi hari yang cerah untuk semua warga di Desa Suka Asri. Namun bagi diri Tasya tidak.
Sesedih dan semarah apapun dia pada orang tuanya, tidak mengurungkan niat untuk membantu aktivitas rutin setiap harinya.
Setelah mencuci pakaian, Tasya mengambil sapu lidi untuk menyapu halaman yang sudah menanti. Baru setengahnya ia menyapu, Rani datang menghampiri.
"Nak, tolong beliin penyedap rasa, ya. Ibu mau pake sekarang, di dapur sudah habis." Ujar Rani seraya menyodorkan uang lima ribu.
Aktivitas Tasya terhenti. Ia mengangkat kepala menatap Rani.
'Kalo bukan Ibu yang nyuruh, aku malas pergi ke warung. Apalagi yang punya warung mulutnya ember banget.' Batinnya
"Iya." Jawabnya singkat seraya mengambil uang dari tangan Rani.
Mau tidak mau, Tasya harus pergi ke warung membeli pesanan Ibunya. Jika tidak, Burhan sepanjang hari akan mengoceh berceramah.
'Jadi anak jangan malas, di suruh sama orang tua itu nurut.' Begitulah setiap Tasya lambat melakukan perintah.
Tasya menggerutu dalam hati, bukannya tak ikhlas untuk ke warung. Akan tetapi, ia malas bertemu dengan pemilik warung tersebut. Karena apa? Karena pemiliknya adalah Bi Elih, Ibunya Dea.
Setiap Tasya ke warungnya, Elih selalu membanding-bandingkan dengan Dea. Itu yang membuat Tasya malas bertemu dengannya.
Sesampainya di warung.
"Beli." Tasya berteriak memanggil Elih.
Tergopoh-gopoh, Elih berlari dari dalam menghampiri Tasya.
"Eh, Tasya. Mau beli apa?" Tanya Elih dengan tatapan menyusuri tubuh Tasya dari atas sampai bawah.
"Beli mas*ako, garam, sama mic*n, Bi."
"Sebentar, ya." Tasya mengangguk mengiyakan.
Tak lama, Elih kembali dengan membawa pesanan Tasya.
"Ngomong-ngomong, kamu juara berapa?" Tanya Elih seraya memberikan pesanan.
"Gak juara, Bi." Sahut Tasya yang juga memberikan uang.
"Lah, kirain saya kamu juara kaya Dea. Dea juara satu, loh."
"Tanpa diberitahu pun, Tasya sudah tahu." Ucap Tasya datar.
"Ya, iya lah. Secara ya, Dea itu belajarnya rajin banget, pantas dapat juara. Apapun yang Dea minta, pasti saya berikan."
"Kecuali pacaran, saya melarang keras. Apalah pacar-pacaran, ngeganggu sekolah." Lanjutnya.
Dea yang baru sampai di halaman sembari membawa ember cucian berhenti seraya menatap penuh arti pada Tasya.
Sudut bibir Tasya terangkat menyunggingkan senyum sinis.
'Kenyataannya tidak seperti itu!' Batin Tasya.
"Tasya harap, semua yang di ucapkan bibi benar." Tasya memberikan senyum manisnya.
"Loh, kok kamu ngomongnya begitu?" Elih terheran-heran.
"Gak papa kok, Bi, hehe. Tasya permisi ya, Bi. Sudah di tungguin Ibu." Tasya mengakhiri obrolan tidak penting itu.
Sebelum meninggalkan warung, ia menghentikkan langkahnya mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Dea.
"Yang di status kamu siapa sih, De? Pacar baru, ya? Cepet amat gantinya. Kemarin 'kan masih sama Dika." Lirihnya seraya mengangkat satu alis.
Setelah mengatakan itu, Tasya melanjutkan langkah meninggalkan Dea yang menatapnya tajam.
Mungkin, Dea mengubah setelan privasi status agar keluarganya tidak ada yang mengetahui hubungannya. Secara, terlihat jelas kalau di statusnya, dia sedang duduk menyadarkan kepalanya di bahu pacarnya. Pikir Tasya.
'Pintar, tapi pembohong!'
****
Tes! Tinggalkan jejak😁
",
];
document.getElementById(
"render-text-chapter"
).innerHTML = `
${myData}
`;
const myWorker = new Worker("https://kbm.id/js/worker.js");
myWorker.onmessage = (event) =>
(document.getElementById("render-text-chapter").innerHTML = event.data);
myWorker.postMessage(myData);
-->
Login untuk melihat komentar!