KUPERMALUKAN SUAMIKU DAN SELINGKUHANNYA SAAT PENYULUHAN DESA 7
Enam : pov Adi (Panik Nggak? Panik Nggak? Ya Paniklah, Masa Enggak?)
***
Kalau kamu melihat seorang suami rejekinya banyak, itu rejeki istrinya juga. Kalau tiba-tiba kamu datang dan merebut sang suami dari sang istri, jangan kaget kalau tiba-tiba apes dan rejeki seret. Karena mana ada rejeki maling yang berkah.
"Kenapa Sayang?" tanyaku iba.
"Warga demo di depan pagar Mas, meminta kita turun dari jabatan dan keluar dari desa ini!"
"Hahhh? apa?!" Aku terkejut dan buru-buru keluar dari ruanganku.
Tampak beberapa warga dari luar pagar merengsek maju mendekati balai desa.
Beberapa diantara mereka membawa tulisan yang membuat bulu kuduk merinding.
"Usir pak kades,"
"Usir pelakor,"
"Turunkan pak kades,"
"Jangan menjadi pengkhianat,"
"Turunkan harga sembako," eh gak ding!
Wah, ini rumit. Aku cuma pingin punya anak, kenapa sampai mengalami nasib seperti ini sih?" keluhku dalam hati.
"Tenang, tenang, para bapak dan ibu, mari kita selesaikan secara musyawarah," sahutku setelah mendekat ke arah kerumunan warga.
"Pak kades ini bagaimana, kenapa bapak malah selingkuh sama bu Emilia, lebih baik bapak keluar dari desa ini! daripada bikin apes desa dengan perbuatan bapak!" kata salah seorang warga.
"Begini saja, mari kita bermusyawah di dalam balai desa saja, biar 4 orang yang mewakili warga untuk menyampaikan aspirasinya," sahut sesepuh desa.
Terdengar gumaman disana sini. Akhirnya majulah 4 orang mendekat kearahku.
Dua orang sesepuh desa, pak Ibnu, pak Ismail, dan dua orang ketua RW, pak Fajar dan pak Dwi.
"Mari masuk ke ruangan saya saja, untuk bermusyawarah lebih lanjut," pintaku yang berencana menunjukkan foto-foto yang kucetak kemarin sore.
Saat kami hendak masuk ke dalam kantorku, tiba-tiba kami dikejutkan dengan serombongan mobil yang memasuki halaman balai desa.
Setelah mobil benar-benar berhenti, keluarlah pak camat dari mobil paling depan.
"Duh, kenapa pak camat sampai kesini segala. Mamp*s aku, ambyar tenan!" batinku.
"Pak camat, silakan masuk," ucapku sambil mempersilahkan pak camat dan rombongannya serta keempat wakil dari warga tersebut agar duduk di aula desa karena tidak muat kalau masuk ke ruanganku.
Setelah mereka semua duduk di kursi, pak camat terlihat memandangku tajam.
"Langsung saja ya pak Adi, saya mendapat mandat dari bupati agar menggantikan tugas pak Adi dan bu Emilia dengan orang-orang dari PLT sebelum masa pilkades selanjutnya." Kata pak camat.
Aku menelan ludah. "Tapi kenapa Pak?"tanyaku. Sebenarnya aku sudah bisa menebak alasan jabatanku dilepas paksa. Tapi tetap saja aku ingin membela diri.
"Kemarin bupati menerima tamu yaitu orang-orang dari desa ini yang memberikan bukti berupa video saat penyuluhan tentang perselingkuhan bapak dan bu Emilia. Mana boleh seorang pengayom masyarakat justru berbuat asusila." Kata pak camat.
"Tapi saya sudah menikahi Emilia, Pak," sahutku.
Seluruh orang-orang yang hadir di aula tampak mengerutkan dahi. Mereka pasti tidak percaya.
"Saya ada kok buktinya," sambungku kemudian bergegas ke ruanganku dan mengambil foto-foto pernikahan siriku dengan Emilia yang kucetak kemarin kemudian menyerahkannya pada pak camat.
Pak camat memeriksanya dengan seksama, sementara itu, hatiku berdebar.
"Kapan pernikahan ini dilaksanakan?" Tanya pak camat memandangku tajam.
"Sekitar 6 bulan lalu," jawabku. Tentu saja aku berbohong.
"Dimana pelaksanaan pernikahan ini?" Tanya pak camat kemudian.
"Di desa sebelah Pak, di tempat saudara Emilia,"
"Kenapa harus menikah di desa sebelah?"
"Ya biar tidak ketahuan istri saya kalau saya nikah lagi Pak,"
"Nah, itu yang membuat bapak cacat moral, seandainya bapak benar-benar sudah menikahi Emilia sebelum Emilia hamil, bapak tetap saja bersalah, karena mengkhianati istri pertama bapak.
Apalagi saya curiga kalau foto ini baru saja dibuat mendadak, setelah bapak viral," sahut pak camat tersenyum tipis
"Jadi bapak tidak percaya sama saya!?"tanyaku berang.
"Sekarang saya tanya, mana surat pernikahan dari kelurahan tempat dilaksanakannya pernikahan ini?"
"Suratnya keselip Pak,"
"Hahahaha, kalau bapak mau bohong, setidaknya cerdas dikit dong, masak bisa surat nikah sepenting itu bisa keselip, walaupun hanya sekedar nikah siri. Jelas pernikahan ini terjadi setelah kejadian kemarin. Karena itu bapak tidak sempat mempersiapkan suratnya nikahnya. Ngaku saja pak Adi!
Sebenarnya kemarin warga desa ini menuntut agar bapak dan bu Emilia diusir dari desa ini, tapi mengingat ayah anda, dokter Radit yang bertahun-tahun mengabdi sebagai kepala puskesmas di sini, maka kami telah mempertimbangkan hanya melepas jabatan anda secara paksa," kata pak camat akhirnya.
"Bagaimana bapak-bapak disini setuju kan dengan keputusan saya?" Tanya pak camat pada perwakilan warga.
"Sebenarnya kami sangat ingin pak Adi dan bu Emilia diusir dari desa ini, tapi benar kata pak camat, kalau dokter Radit telah banyak membantu masyarakat di desa ini." Sahut pak Ismail.
"Ya sudah, saya setuju, apalagi mereka sudah menikah, walau mungkin terlambat," sahut pak Dwi setelah terdiam beberapa saat.
"Jadi, silakan bereskan perlengkapan anda di kantor desa ini karena tugas anda akan segera digantikan oleh PLT," ucapan pak camat singkat, padat, jelas dan menakutkan.
"Pak, maaf kalau saya sampai menikah diam-diam, anda tidak tahu bagaimana rasanya ingin sekali mempunyai anak tapi istri anda mengalami masalah kesuburan," kataku memelas.
Berharap pak camat mau mengundurkan pelepasan jabatan.
Paling tidak sampai sawah desa bagianku panen seminggu lagi, agar aku bisa menikmati uangnya.
"Banyak cara yang lebih mulia untuk memiliki anak walaupun ada kendala kesuburan dari istri, misalkan menemaninya berobat dengan sepenuh hati, menguatkan dan mensupport istri agar selalu optimis, bukannya selingkuh Pak," sahut pak camat.
Aku menghela nafas. Percuma juga membicarakan masalahku pada orang yang tidak pernah mengalaminya.
"Oh iya, karena anda sudah dicopot jabatannya, maka sawah bagian anda, akan diambil lagi oleh desa," kata pak camat.
Aku menelan ludah. Baru ingat bahwa sawah 4 hektar bagianku, sudah kusewakan 2 hektar sejak 3 bulan lalu untuk membangun rumah bersama Emilia.
Dan sampai sekarang rumah itu masih belum jadi karena Emilia yang ingin mempunyai rumah yang besar sementara dananya kurang.
Kalau sekarang aku dilengserkan dari kepala desa, berarti aku harus membayar uang sawah yang kusewakan selama 3 tahun sebanyak 150 juta pada desa. Mamp*s aku, duit dari mana ini.
Sementara uang yang kudapat dari panen sawah selama ini sebagian kugunakan untuk mengembangkan peternakan sapi, sebagian kusimpan di ATM yang dirampas Renata, dan sisanya untuk Emilia.
Gimana aku harus membayarnya? masak aku harus jual anak sapi? padahal anak sapiku masih belum cukup umur untuk dijual. Bisa jatuh ndelosor harganya kalau dijual sekarang.
"Aaaaarrghhhh..!"
Mendadak kepalaku pusing dan mataku berkunang-kunang.
Next?
Boleh banget baca karyaku yang lain :
1. Aku Lelah, Mas (tamat)
2. Saat Pasienku adalah Istri Mantan (tamat)
3. Ternyata Pasienku adalah Istri Kedua suamiku (tamat)
4. Kupermalukan Suamiku di Penyuluhan Desa (on going)
5. Mua Pengantin Istri Mantan (On going)